|
KORAN SINDO, 11 Mei 2013
Akhir Mei tahun ini Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dikabarkan akan menerima penghargaan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation
(ACF).
ACF sendiri merupakan sebuah lembaga yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965 dan bermarkas di New York, Amerika Serikat. Misi dari lembaga ini adalah mempromosikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Dalam website lembaga ini, www. appealofconscience.org, tertulis slogan yang sangat menarik: “A crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion”.
Penghargaan ini biasa diberikan secara berkala kepada sejumlah kepala negara yang dipandang berhasil mengembangkan perdamaian, toleransi, dan resolusi konflik. Sudah tentu Presiden SBY merasa senang dengan penghargaan itu karena hal itu dianggap sebagai pengakuan internasional akan keberhasilan pemerintahannya dalam melindungi kebebasan beragama dan toleransi.
Penghargaan seperti itu mestinya menjadikan rakyat Indonesia bangga. Anehnya, sejumlah aktivis kebebasan beragama dan hak asasi manusia justru mempertanyakan penghargaan tersebut. Presiden SBY dianggap tidak layak untuk menerima penghargaan itu. Alasannya jelas, selama masa pemerintahannya, terutama periode ke-2, banyak sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan konflik keagamaan yang tidak mendapatkan penyelesaian yang tuntas dan memuaskan.
Kelompokkelompok minoritas keagamaan yang dituduh sebagai “kelompok sesat” juga dibiarkan terus dipersekusi tanpa perlindungan yang jelas. Laporan monitoring sejumlah lembaga baik dari dalam maupun luar negeri juga menunjukkan situasi kebebasan beragama yang terus memburuk dari waktu ke waktu. Jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi terus bertambah, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Sekadar menyebutkan, beberapa jemaah Ahmadiyah masih terus hidup dalam ancaman kekerasan, komunitas Syiah Sampang masih hidup dalam pengungsian bahkan terancam akan dipaksa keluar dari Pulau Madura; penutupan tempat ibadah masih terus terjadi di sejumlah wilayah dan pemerintah pusat terkesan cuci tangan karena itudianggapsebagaiurusanpemerintah daerah. Singkatnya, dalam situasi di mana warga negara butuh perlindungan untuk mendapatkan hak dasarnya sebagai warga negara, pemerintah justru absen.
Hal yang lebih menyedihkan, dalam kasus tertentu, aparat pemerintah justru terlibat aktif dalam menyuburkan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama. Korban yang mestinya mendapat perlindungan justru dijadikansebagaipihakyangdipersalahkan, dijadikan tersang-ka, diadili, dan dimasukkan penjara. Seperti biasa, pemerintah selalu bersikap defensif. Persoalan tersebut tidak dianggap persoalan serius.
Bahkan, sejumlah NGO dianggap terlalu membesarbesarkan persoalan karena situasi kehidupan beragama di Indonesia masih kondusif. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrian Pasha misalnya mengatakan, sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi yang terjadi akhir-akhir ini tidak bisa digeneralisasi. Kasus tersebut tidak mencerminkan kondisi keseluruhan Tanah Air.
Karena itu, dia yakin, SBY sangat layak menerima penghargaan dari ACF tersebut. Hal yang justru patut dipertanyakan adalah mengapa ACF memberikan penghargaan tersebut kepada Presiden SBY? Apa prestasi Presiden SBY sehingga ACF merasa perlu memberi penghargaan khusus padanya? Terkait dengan ini, ada beberapa kemungkinan alasan.
Pertama, bisa jadi ACF tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai situasi mutakhir kehidupan beragama di Indonesia. Namun, hal ini rasanya tidak mungkin karena dalam era seperti sekarang ini tidak ada yang bisa ditutup-tutupi. Kedua, ACF tahu dengan situasi yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama.
Namun, Presiden SBY dianggap telah melakukan upaya-upaya luar biasa yang dilihat sebagai prestasi. Argumen ini tampaknya juga tidak mungkin karena tidak ada prestasi luar biasa yang dilakukan SBY. Ketiga, hal itu sebagai bukti keberhasilan pencitraan diplomasi luar negeri Indonesia untuk meyakinkan ACF bahwa Presiden SBY memang Kepala Negara yang berhasil melindungi kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Hal ini yang paling mungkin terjadi.
Dengan penghargaan ini SBY akan mendapatkan keuntungan ganda. Di satu sisi Presiden SBY ingin memperbaiki citranya dalam fora internasional yang terus disoal tentang kekerasan terhadap minoritas dan intoleransi, di sisi lain ambisi dia untuk berkiprah di dunia internasional setelah selesai masa jabatannya sebagai presiden pada 2014 bisa kembali terbuka.
Andai SBY Menolak
Setelah para aktivis mempertanyakan dan menunjukkan sejumlah fakta tentang kegagalan SBY menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, apakah ACF akan membatalkan penghargaan tersebut? Saya kira ini tidak mungkin. ACF pasti sudah melakukankomunikasidenganperwakilan Pemerintah Indonesia di AS dan memperhitungkan berbagai implikasi dan kemungkinan-kemungkinan politik yang akan terjadi.
Meski demikian, ada baiknya SBY mempertimbangkan kembali penerimaan award ini. Menerima penghargaan ini hanya akan menyakiti warga negaranya sendiri, terutama kelompok- kelompok yang selama ini sudah menjadi korban dari tindakan intoleransi dan kekerasan agama. Jika Presiden SBY menolak penghargaan ini, apakah akan menurunkan reputasi politiknya; atau sebaliknya, jika SBY menerima akan menaikkan pamor politiknya?
Untuk menjawab pertanyaan ini bisa dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut internal terkait dengan politik dan situasi dalam negeri dan sudut eksternal terkait dengan politik luar negeri. Dari sudut internal, penghargaan ini sama sekali tidak akan dampak positif, bahkan akan menjadi cemooh banyak kalangan, terutama para aktivis. Presiden SBY juga bisa dianggap tidak mempunyai sensitivitas atas penderitaan korban pelanggaran kebebasan beragama, intoleransi dan kekerasan.
Alih-alih mendapat perlindungan, mereka justru dikriminalisasi, di mana Presiden SBY tidak mengambil langkah politik signifikan. Demikian juga secara eksternal, penghargaan ini tidak mempunyai dampak signifikan terhadap popularitas politik internasionalnya. Bahkan, bukan tidak mungkin penghargaan ini akan menjadi lelucon di kalangan dunia internasional karena mereka memahami apa yang terjadi di Indonesia.
Dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB Tahun 2012 lalu misalnya, delegasi Indonesia mendapat pertanyaan bertubi tubi tentang berbagai pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia dan langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, sebaiknya Presiden SBY mempertimbangkan kembali penghargaan tersebut.
Saya membayangkan Presiden SBY berpidato dan mengatakan begini: “Terima kasih atas penghargaan tersebut, tapi saya belum bisa menerima karena masih banyaknya persoalan dalam negeri terkait dengan agama yang harus diselesaikan.” Jika langkah ini dilakukan, Presiden SBY justru akan banyak menerima simpatik dari dalam negeri, dan sama sekali tidak akan merusak reputasi internasionalnya.
Sebaliknya, jika Presiden SBY memaksakan diri untuk tetap menerima, maka dia bisa dikatakan sebagai pemimpin yang hanya mementingkan pencitraan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan penderitaan rakyatnya. Saya yakin Presiden SBY masih punya hati. ●
ACF sendiri merupakan sebuah lembaga yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965 dan bermarkas di New York, Amerika Serikat. Misi dari lembaga ini adalah mempromosikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Dalam website lembaga ini, www. appealofconscience.org, tertulis slogan yang sangat menarik: “A crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion”.
Penghargaan ini biasa diberikan secara berkala kepada sejumlah kepala negara yang dipandang berhasil mengembangkan perdamaian, toleransi, dan resolusi konflik. Sudah tentu Presiden SBY merasa senang dengan penghargaan itu karena hal itu dianggap sebagai pengakuan internasional akan keberhasilan pemerintahannya dalam melindungi kebebasan beragama dan toleransi.
Penghargaan seperti itu mestinya menjadikan rakyat Indonesia bangga. Anehnya, sejumlah aktivis kebebasan beragama dan hak asasi manusia justru mempertanyakan penghargaan tersebut. Presiden SBY dianggap tidak layak untuk menerima penghargaan itu. Alasannya jelas, selama masa pemerintahannya, terutama periode ke-2, banyak sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan konflik keagamaan yang tidak mendapatkan penyelesaian yang tuntas dan memuaskan.
Kelompokkelompok minoritas keagamaan yang dituduh sebagai “kelompok sesat” juga dibiarkan terus dipersekusi tanpa perlindungan yang jelas. Laporan monitoring sejumlah lembaga baik dari dalam maupun luar negeri juga menunjukkan situasi kebebasan beragama yang terus memburuk dari waktu ke waktu. Jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi terus bertambah, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Sekadar menyebutkan, beberapa jemaah Ahmadiyah masih terus hidup dalam ancaman kekerasan, komunitas Syiah Sampang masih hidup dalam pengungsian bahkan terancam akan dipaksa keluar dari Pulau Madura; penutupan tempat ibadah masih terus terjadi di sejumlah wilayah dan pemerintah pusat terkesan cuci tangan karena itudianggapsebagaiurusanpemerintah daerah. Singkatnya, dalam situasi di mana warga negara butuh perlindungan untuk mendapatkan hak dasarnya sebagai warga negara, pemerintah justru absen.
Hal yang lebih menyedihkan, dalam kasus tertentu, aparat pemerintah justru terlibat aktif dalam menyuburkan intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama. Korban yang mestinya mendapat perlindungan justru dijadikansebagaipihakyangdipersalahkan, dijadikan tersang-ka, diadili, dan dimasukkan penjara. Seperti biasa, pemerintah selalu bersikap defensif. Persoalan tersebut tidak dianggap persoalan serius.
Bahkan, sejumlah NGO dianggap terlalu membesarbesarkan persoalan karena situasi kehidupan beragama di Indonesia masih kondusif. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrian Pasha misalnya mengatakan, sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi yang terjadi akhir-akhir ini tidak bisa digeneralisasi. Kasus tersebut tidak mencerminkan kondisi keseluruhan Tanah Air.
Karena itu, dia yakin, SBY sangat layak menerima penghargaan dari ACF tersebut. Hal yang justru patut dipertanyakan adalah mengapa ACF memberikan penghargaan tersebut kepada Presiden SBY? Apa prestasi Presiden SBY sehingga ACF merasa perlu memberi penghargaan khusus padanya? Terkait dengan ini, ada beberapa kemungkinan alasan.
Pertama, bisa jadi ACF tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai situasi mutakhir kehidupan beragama di Indonesia. Namun, hal ini rasanya tidak mungkin karena dalam era seperti sekarang ini tidak ada yang bisa ditutup-tutupi. Kedua, ACF tahu dengan situasi yang terjadi di Indonesia, termasuk kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama.
Namun, Presiden SBY dianggap telah melakukan upaya-upaya luar biasa yang dilihat sebagai prestasi. Argumen ini tampaknya juga tidak mungkin karena tidak ada prestasi luar biasa yang dilakukan SBY. Ketiga, hal itu sebagai bukti keberhasilan pencitraan diplomasi luar negeri Indonesia untuk meyakinkan ACF bahwa Presiden SBY memang Kepala Negara yang berhasil melindungi kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Hal ini yang paling mungkin terjadi.
Dengan penghargaan ini SBY akan mendapatkan keuntungan ganda. Di satu sisi Presiden SBY ingin memperbaiki citranya dalam fora internasional yang terus disoal tentang kekerasan terhadap minoritas dan intoleransi, di sisi lain ambisi dia untuk berkiprah di dunia internasional setelah selesai masa jabatannya sebagai presiden pada 2014 bisa kembali terbuka.
Andai SBY Menolak
Setelah para aktivis mempertanyakan dan menunjukkan sejumlah fakta tentang kegagalan SBY menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, apakah ACF akan membatalkan penghargaan tersebut? Saya kira ini tidak mungkin. ACF pasti sudah melakukankomunikasidenganperwakilan Pemerintah Indonesia di AS dan memperhitungkan berbagai implikasi dan kemungkinan-kemungkinan politik yang akan terjadi.
Meski demikian, ada baiknya SBY mempertimbangkan kembali penerimaan award ini. Menerima penghargaan ini hanya akan menyakiti warga negaranya sendiri, terutama kelompok- kelompok yang selama ini sudah menjadi korban dari tindakan intoleransi dan kekerasan agama. Jika Presiden SBY menolak penghargaan ini, apakah akan menurunkan reputasi politiknya; atau sebaliknya, jika SBY menerima akan menaikkan pamor politiknya?
Untuk menjawab pertanyaan ini bisa dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut internal terkait dengan politik dan situasi dalam negeri dan sudut eksternal terkait dengan politik luar negeri. Dari sudut internal, penghargaan ini sama sekali tidak akan dampak positif, bahkan akan menjadi cemooh banyak kalangan, terutama para aktivis. Presiden SBY juga bisa dianggap tidak mempunyai sensitivitas atas penderitaan korban pelanggaran kebebasan beragama, intoleransi dan kekerasan.
Alih-alih mendapat perlindungan, mereka justru dikriminalisasi, di mana Presiden SBY tidak mengambil langkah politik signifikan. Demikian juga secara eksternal, penghargaan ini tidak mempunyai dampak signifikan terhadap popularitas politik internasionalnya. Bahkan, bukan tidak mungkin penghargaan ini akan menjadi lelucon di kalangan dunia internasional karena mereka memahami apa yang terjadi di Indonesia.
Dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB Tahun 2012 lalu misalnya, delegasi Indonesia mendapat pertanyaan bertubi tubi tentang berbagai pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia dan langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, sebaiknya Presiden SBY mempertimbangkan kembali penghargaan tersebut.
Saya membayangkan Presiden SBY berpidato dan mengatakan begini: “Terima kasih atas penghargaan tersebut, tapi saya belum bisa menerima karena masih banyaknya persoalan dalam negeri terkait dengan agama yang harus diselesaikan.” Jika langkah ini dilakukan, Presiden SBY justru akan banyak menerima simpatik dari dalam negeri, dan sama sekali tidak akan merusak reputasi internasionalnya.
Sebaliknya, jika Presiden SBY memaksakan diri untuk tetap menerima, maka dia bisa dikatakan sebagai pemimpin yang hanya mementingkan pencitraan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan penderitaan rakyatnya. Saya yakin Presiden SBY masih punya hati. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar