|
REPUBLIKA,
13 Mei 2013
Pada
tanggal 28 April 2013 yang lalu, Indonesia dibuat heboh dengan dibukanya Kantor
Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris. Pembukaan kantor ini
dihadiri oleh Wali Kota Oxford Moh Niaz Abassi, anggota Parlemen Inggris Andrew
Smith, dan mantan wali kota Oxford Elise Benjamin serta koordinator kantor
tersebut, Benny Wenda.
Setelah
Duta Besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning mendapat pernyataan cukup keras
dari Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, Canning menyatakan bahwa
dirinya memahami tentang isu yang sensitif tersebut. Intinya, Inggris mengakui
integritas wilayah Indonesia dan tidak mendukung Papua merdeka.
Pernyataan
Mark Canning selanjutnya juga perlu disimak secara cermat perihal kantor OPM di
Inggris tersebut, sebagai berikut: "Such
an office does not therefore reflect the British Government's views regarding
Papua as being part of Indonesia. That has always been our view, and has not
changed."
Inti dari
pernyataan Mark Canning dapat diartikan bahwa kantor tersebut tidak merefleksikan
pandangan pemerintah Inggris berkaitan dengan Papua sebagai bagian dari
Indonesia.
Di
samping itu kita perlu juga mengetahui bahwa anggota Parlemen Inggris Andrew
Smith yang ikut hadir pada acara tersebut adalah ketua dan salah satu pendiri
dari International Parliamentarians for
West Papua, yang diresmikan pada Oktober 2008 di Inggris. Dengan
demikian, Andrew Smith memiliki hubungan emosional tertentu dengan masyarakat
Papua.
Indonesia
perlu mengirim nota protes kepada pemerintah Inggris, namun di dalam negeri
sendiri kita harus benahi Papua lebih baik lagi.
Selama 50
tahun, sejak 1 Mei 1963 hingga 1 Mei
2013, argumen bahwa proses integrasi Papua ke dalam Indonesia merupakan "suatu kehendak rakyat Papua dan
panggilan sejarah masa lalu," menurut penulis, sudah tidak memadai
lagi. Demikian juga argumentasi lainnya, mulai dari sejarah penguasaan Papua
oleh kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, hingga Sultan Tidore, sudah tidak
valid lagi. Apalagi klaim atas Papua yang didasarkan proklamasi pemerintah
Belanda pada tahun 1828 dan menyatakan bahwa wilayah Hindia-Belanda (Nederlands Indie) termasuk Papua mulai
dari Sabang hingga Merauke (950 BT--1410 BT). Hal ini juga tidak banyak membantu
dalam meyakinkan orang Papua bahwa mereka adalah bagian sah dari Republik
Indonesia.
Semua
argumentasi tersebut sudah tidak bermakna lagi dan sirna karena tidak berakar
pada pengalaman nyata yang dialami oleh masyarakat Papua sejak 1 Mei 1963
hingga 1 Mei 2013. Sejak awal integrasi hingga Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) pada tahun 1969, masyarakat Papua terus dihadapkan dengan masalah
kekerasan, ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang buruk (K5).
Reformasi
dan demokrasi yang mulai berkembang, memberi harapan pada rakyat Papua untuk
mempersoalkan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua kepada
pemerintah. Pemerintah telah berupaya dengan memberi otonomi khusus
(otsus) bagi Papua, namun ditolak rakyat Papua.
Alasan penolakan itu karena otsus tidak dilaksanakan secara konsisten sesuai amanat Undang-Undang Otsus tersebut dan belum dapat memberikan kesejahteraan yang memadai.
Alasan penolakan itu karena otsus tidak dilaksanakan secara konsisten sesuai amanat Undang-Undang Otsus tersebut dan belum dapat memberikan kesejahteraan yang memadai.
Banyak
pihak, termasuk Presiden SBY, terus mengimbau tentang pendekatan kesejahteraan
di Papua, namun masih saja belum ada perubahan. Lebih ironis lagi, salah satu
tolok ukur ketidakberhasilan pemerintah di Papua selama ini adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang paling rendah di Indonesia berada di Papua. Kita
harus mau introspeksi diri tentang apa yang pemerintah telah lakukan bagi
rakyat Papua selama ini. Indonesia justru harus heboh karena selama 50 tahun
ini tidak berhasil "merebut hati dan pikiran" orang Papua dan negara
gagal "mengindonesiakan" masyarakat Papua. Pemerintah justru
harus heboh untuk berbenah diri dan serius melakukan evaluasi guna menemukan
solusi terbaik bagi kompleksitas permasalahan yang ada di Papua.
Penulis
yakin, melalui "Dialog Damai Papua-Jakarta" kita dapat menyelesaikan
masalah Papua secara tuntas dan bermartabat, seperti apa yang telah pemerintah
lakukan terhadap kasus "Gerakan Aceh Merdeka". Indonesia harus
berbenah diri, karena OPM itu muncul sebagai akibat dari masalah-masalah
kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu hingga saat ini, dan menjadi "amunisi"
bagi dunia international untuk terus menyoroti Indonesia. Hanya dengan
berbenah diri dan menghilangkan cara-cara yang selama ini membuat rakyat Papua
menderita, penulis yakin, pemikiran-pemikiran rakyat Papua untuk "merdeka"
akan sirna.
Negara
harus bisa meyakinkan rakyat Papua bahwa dengan Indonesia mereka memiliki
harapan (hope) untuk menyongsong masa
depan Papua yang lebih baik, adil, makmur, sejahtera, aman, dan damai serta
menghormati HAM demi terwujudnya Papua Tanah Damai dalam bingkai NKRI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar