Selasa, 14 Mei 2013

Robert Shiller dan Imam Syatibi


Robert Shiller dan Imam Syatibi
Adiwarman A Karim  ;  Peneliti di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
REPUBLIKA, 13 Mei 2013


Robert Shiller, guru besar ekonomi Yale University, salah satu dari 100 ekonom yang paling berpengaruh di dunia karena analisisnya tentang financial market volatility dan dynamics of asset prices dalam buku barunya, Finance and the Good Society, mengingatkan kita semua agar segala kreativitas yang selama ini telah membawa kemajuan dan kemaslahatan bagi perekonomian dunia tidak disalahgunakan untuk melakukan berbagai inovasi keuangan yang malah merusak semua kebaikan yang telah dicapai.

Shiller juga mengajak kita agar tidak menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengutuk berbagai inovasi keuangan yang telah menciptakan krisis yang dalam dan panjang karena yang keliru bukanlah kreativitasnya. Yang keliru adalah kreativitas tersebut tidak digunakan untuk melakukan inovasi yang membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Shiller mengajak kita semua untuk kembali memosisikan semua kreativitas inovasi keuangan sebagai alat untuk menjaga harta masyarakat, bukan sebagai alat manipulasi uang dengan segala pengelolaan risikonya.

Shiller menegaskan, dunia akan terus membutuhkan berbagai inovasi keuangan yang menjaga harta masyarakat karena tujuan dari semua kreativitas inovasi itu adalah untuk membawa kesejahteraan masyarakat. Buku Shiller ini mengingatkan kita pada seorang ahli ushul fikih bermazhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid.

Dalam kitab itu Imam Syatibi merumuskan lima tujuan utama syariah (maqasid syariah), yaitu menjaga agama (hifzh ad-din), menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga akal (hifzh al-'aql), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), dan menjaga harta (hifzh al-mal). Dalam konteks menjaga harta inilah, buku Shiller patut diacungi jempol karena mengingatkan kembali tujuan utama ilmu ekonomi, sekaligus mengingatkan kita betapa jauh visi Imam Syatibi dan relevansi kitab yang ditulis ratusan tahun lalu itu terhadap persoalan ekonomi saat ini.

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi hidup pada masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi, dan hukum yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum al-Syatibi. 

Masyarakat Granada yang heterogen bersikap fleksibel dalam relasi sosialnya dengan interaksi intensif antara orang Islam dengan orang Yahudi dan berbagai golongan Kristen, baik dalam relasi sosial maupun bisnis. Hal ini dimungkinkan karena adanya hubungan diplomatik dan bisnis dengan kerajaan Kristen, Ferdinand III penguasa Castille, berdasarkan perjanjian perdamaian pada 643 H. Berbagai inovasi terjadi cepat di Granada saat itu. Berbagai fatwa muncul tanpa arah yang jelas, baik yang dilatarbelakangi kepentingan politik maupun yang dilatarbelakangi perbedaan mazhab fikih.

Penggunaan prinsip mura'ah al-khilaf atau inklusivitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai wujud penghargaan atas perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama justru membuat masalah menjadi semakin kompleks. Semua pendapat sama kuat kebenarannya. Al-Syatibi menganggap penggunaan prinsip mura'ah al-khilaf yang tidak tepat ini menjadikan hukum seperti tanpa jiwa. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari realitas kebutuhan akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan hidup.

Kegelisahan Syatibi, juga kegelisahan Shiller terhadap melencengnya inovasi ilmu dari tujuan ilmu itu sendiri, juga terdengar bergema di Annual Meeting AAOIFI ke-12 di Bahrain pertengahan April yang lalu. Lebih dari seratus ulama dari berbagai negara hadir dalam acara tahunan itu, lima di antaranya ahli ekonomi syariah Indonesia yang menjadi pengajar di berbagai universitas di Bahrain.

Rapat Dewan Syariah IIFM di Bahrain, satu hari sebelum Annual Meeting AAOIFI itu, juga menyuarakan hal yang sama. Dewan Syariah dari berbagai negara, termasuk satu orang dari Indonesia, berupaya memastikan ruh syariah melekat pada produk keuangan syariah global IIFM, lebih dari sekadar sesuai syariah. 

Adanya kecenderungan meniru produk keuangan konvensional, memilah-milah produk tersebut dalam suatu rangkaian proses, dan merangkaikan kembali produk itu dengan rangkaian akad-akad syariah menimbulkan kegelisahan yang sama dengan yang dirasakan Imam Syatibi dan Shiller. 

Ironisnya lagi, ketika Shiller mengkritik inovasi-inovasi keuangan yang melenceng dari tujuannya, beberapa pemain industri malah mendorong para ulama untuk mengadopsinya menjadi produk syariah. Annual Meeting AAOIFI di Bahrain kembali mengingatkan perlunya kembali pada metode yang digunakan Imam Syatibi, yaitu metode ulum al-wasa`il wa `ulum al-maqasid atau metode esensi dan hakikat.

Shiller bukan satu-satunya guru besar ekonomi yang gelisah akan perkembangan ilmu yang melenceng jauh dari tujuannya. John Quiggin, guru besar ekonomi University of Queensland, menulis buku barunya Zombie Economics: How Dead Ideas Still Walk Among Us. Ekonomi liberal yang ditopang oleh tiga pilar sudah seharusnya ditinggalkan. Pilar pertama, deregulasi ekonomi dapat mengatasi siklus keuangan. Pilar kedua, mekanisme pasar merupakan cara terbaik. Pilar ketiga, kebijakan ekono mi yang ditujukan untuk ke maslahatan kelompok kaya akan membuat masyarakat keseluruhan pada akhirnya akan merasakan manfaatnya.

Quiggin mempertanyakan ide yang jelas telah membawa kerusakan ekonomi berupa krisis ekonomi yang dalam dan berkepanjangan, namun anehnya ide ini masih saja diusung oleh banyak ekonom dan pemimpin politik. Keyakinan buta (unthinking faith) bahwa mekanisme pasar dapat menyelesaikan masalahnya sendiri membutakan pasar sehingga mereka melihat investasi spekulatif sebagai suatu investasi yang aman secara fundamental. Kembali ke ilmu ekonomi tradisional Keynesian dan ekonomi kesejahteraan (Welfare State) tidak cukup untuk menjawab tantangan ekonomi yang ada, tulis Quiggin.

Ini saatnya Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa ekonomi syariah di Indonesia dapat menjawab tantangan itu. Ini saatnya kita menunjukkan ekonomi syariah di Indonesia bukan sekadar me niru dan meng ikuti inovasi keuangan konvensional. Ini saatnya kita mengembangkan ekonomi Indonesia dengan merujuk pada metode 'ulum al-wasa'il wa `ulum al-maqasid atau metode esensi dan hakikat. Hanya ekonomi syariah yang memiliki ruh Islam yang mampu masuk ke relung-relung jiwa manusia, Muslim maupun non-Muslim, mengembalikan ekonomi pada tujuan awalnya, yaitu menjaga harta (hifz al-mal) untuk membawa kesejahteraan masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar