|
REPUBLIKA,
13 Mei 2013
Robert
Shiller, guru besar ekonomi Yale University, salah satu dari 100 ekonom yang
paling berpengaruh di dunia karena analisisnya tentang financial market volatility dan dynamics
of asset prices dalam buku barunya, Finance and the Good Society,
mengingatkan kita semua agar segala kreativitas yang selama ini telah membawa
kemajuan dan kemaslahatan bagi perekonomian dunia tidak disalahgunakan untuk
melakukan berbagai inovasi keuangan yang malah merusak semua kebaikan yang
telah dicapai.
Shiller juga mengajak kita agar tidak menghabiskan waktu dan
tenaga untuk mengutuk berbagai inovasi keuangan yang telah menciptakan krisis
yang dalam dan panjang karena yang keliru bukanlah kreativitasnya. Yang keliru
adalah kreativitas tersebut tidak digunakan untuk melakukan inovasi yang
membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Shiller mengajak kita semua
untuk kembali memosisikan semua kreativitas inovasi keuangan sebagai alat untuk
menjaga harta masyarakat, bukan sebagai alat manipulasi uang dengan segala
pengelolaan risikonya.
Shiller menegaskan, dunia akan terus membutuhkan berbagai
inovasi keuangan yang menjaga harta masyarakat karena tujuan dari semua
kreativitas inovasi itu adalah untuk membawa kesejahteraan masyarakat. Buku Shiller ini mengingatkan kita pada seorang ahli ushul fikih
bermazhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w 790 H).
Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau
namakan kitab al-Maqashid.
Dalam kitab itu Imam Syatibi merumuskan lima
tujuan utama syariah (maqasid syariah),
yaitu menjaga agama (hifzh ad-din),
menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga
akal (hifzh al-'aql), menjaga
keturunan (hifzh an-nasl), dan
menjaga harta (hifzh al-mal). Dalam
konteks menjaga harta inilah, buku Shiller patut diacungi jempol karena
mengingatkan kembali tujuan utama ilmu ekonomi, sekaligus mengingatkan kita betapa jauh visi Imam Syatibi dan relevansi
kitab yang ditulis ratusan tahun lalu itu terhadap persoalan ekonomi saat ini.
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi
hidup pada masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14
mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi,
dan hukum yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran
hukum al-Syatibi.
Masyarakat Granada yang heterogen bersikap fleksibel dalam
relasi sosialnya dengan interaksi intensif antara orang Islam dengan orang Yahudi
dan berbagai golongan Kristen, baik dalam relasi sosial maupun bisnis. Hal ini
dimungkinkan karena adanya hubungan diplomatik dan bisnis dengan kerajaan
Kristen, Ferdinand III penguasa Castille, berdasarkan perjanjian perdamaian
pada 643 H. Berbagai inovasi terjadi cepat di Granada saat itu. Berbagai fatwa
muncul tanpa arah yang jelas, baik yang dilatarbelakangi kepentingan politik
maupun yang dilatarbelakangi perbedaan mazhab fikih.
Penggunaan prinsip mura'ah
al-khilaf atau inklusivitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai
wujud penghargaan atas perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama
justru membuat masalah menjadi semakin kompleks. Semua pendapat sama kuat
kebenarannya. Al-Syatibi menganggap penggunaan prinsip mura'ah al-khilaf yang tidak tepat ini menjadikan hukum seperti tanpa
jiwa. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari realitas kebutuhan
akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan hidup.
Kegelisahan Syatibi, juga kegelisahan Shiller terhadap
melencengnya inovasi ilmu dari tujuan ilmu itu sendiri, juga terdengar bergema
di Annual Meeting AAOIFI ke-12 di
Bahrain pertengahan April yang lalu. Lebih dari seratus ulama dari berbagai
negara hadir dalam acara tahunan itu, lima di antaranya ahli ekonomi syariah
Indonesia yang menjadi pengajar di berbagai universitas di Bahrain.
Rapat Dewan Syariah IIFM di Bahrain, satu hari sebelum Annual Meeting AAOIFI itu, juga menyuarakan
hal yang sama. Dewan Syariah dari berbagai negara, termasuk satu orang dari
Indonesia, berupaya memastikan ruh syariah melekat pada produk keuangan syariah
global IIFM, lebih dari sekadar sesuai syariah.
Adanya kecenderungan meniru produk keuangan konvensional,
memilah-milah produk tersebut dalam suatu rangkaian proses, dan merangkaikan
kembali produk itu dengan rangkaian akad-akad syariah menimbulkan kegelisahan
yang sama dengan yang dirasakan Imam Syatibi dan Shiller.
Ironisnya lagi, ketika Shiller mengkritik inovasi-inovasi
keuangan yang melenceng dari tujuannya, beberapa pemain industri malah mendorong
para ulama untuk mengadopsinya menjadi produk syariah. Annual Meeting AAOIFI di Bahrain kembali mengingatkan perlunya
kembali pada metode yang digunakan Imam Syatibi, yaitu metode ulum al-wasa`il wa `ulum al-maqasid atau
metode esensi dan hakikat.
Shiller bukan satu-satunya guru besar ekonomi yang gelisah
akan perkembangan ilmu yang melenceng jauh dari tujuannya. John Quiggin, guru
besar ekonomi University of Queensland,
menulis buku barunya Zombie Economics: How
Dead Ideas Still Walk Among Us. Ekonomi
liberal yang ditopang oleh tiga pilar sudah seharusnya ditinggalkan. Pilar
pertama, deregulasi ekonomi dapat mengatasi siklus keuangan. Pilar kedua,
mekanisme pasar merupakan cara terbaik. Pilar ketiga, kebijakan ekono mi yang
ditujukan untuk ke maslahatan kelompok kaya akan membuat masyarakat keseluruhan
pada akhirnya akan merasakan manfaatnya.
Quiggin mempertanyakan ide yang jelas telah membawa kerusakan
ekonomi berupa krisis ekonomi yang dalam dan berkepanjangan, namun anehnya ide
ini masih saja diusung oleh banyak ekonom dan pemimpin politik. Keyakinan buta
(unthinking faith) bahwa mekanisme pasar
dapat menyelesaikan masalahnya sendiri membutakan pasar sehingga mereka melihat
investasi spekulatif sebagai suatu investasi yang aman secara fundamental. Kembali
ke ilmu ekonomi tradisional Keynesian dan ekonomi kesejahteraan (Welfare State) tidak cukup untuk
menjawab tantangan ekonomi yang ada, tulis Quiggin.
Ini saatnya Indonesia menunjukkan pada dunia bahwa ekonomi
syariah di Indonesia dapat menjawab tantangan itu. Ini saatnya kita menunjukkan
ekonomi syariah di Indonesia bukan sekadar me niru dan meng ikuti inovasi
keuangan konvensional. Ini saatnya kita mengembangkan ekonomi Indonesia dengan
merujuk pada metode 'ulum al-wasa'il wa
`ulum al-maqasid atau metode esensi dan hakikat. Hanya ekonomi syariah yang memiliki ruh
Islam yang mampu masuk ke relung-relung jiwa manusia, Muslim maupun non-Muslim, mengembalikan ekonomi pada tujuan
awalnya, yaitu menjaga harta (hifz al-mal)
untuk membawa kesejahteraan masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar