|
REPUBLIKA,
13 Mei 2013
Sensus Pertanian (ST) merupakan
kegiatan rutin Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan dengan interval waktu
10 tahun, dengan berakhiran angka 3. ST dilakukan sejak 1963, yang dilanjutkan
tahun 1973, 1983, 1993, dan sebelum tahun ini dilakukan tahun 2003. Pemutakhiran
dan pencacahan lengkap dilaksanakan tanggal 1-31 Mei 2013.
Cakupan populasi dalam ST 2013
meliputi perusahaan berbadan hukum, perusahaan tidak berbadan hukum atau bukan
usaha rumah tangga (pesantren, seminari, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain
yang mengusahakan pertanian), dan usaha pertanian di rumah tangga. Adapun cakupan
subsektor pertanian meliputi (1) tanaman pangan (padi dan palawija), (2)
Tanaman hortikultura (sa yuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat),
(3) tanaman perkebunan, (4) peternakan, (5) budidaya dan penangkapan ikan,
serta (6) tanaman kehutanan, perburuan, penangkapan, atau penangkaran satwa
liar dan pemungutan hasil hutan.
Kegiatan ST 2013 yang ditengarai
menghabiskan dana Rp 1,59 triliun diharapkan benar-benar menghasilkan data yang
akurat, yang dapat dipakai untuk menyejahterakan para petani. Demikian juga hasil
ST kiranya dapat digunakan sebagai angka patokan (benchmark) untuk memperbaiki perkiraan produksi tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.
Prasarat keberhasilan
Perkiraan produksi berbagai subsektor
pertanian menjadi begitu penting dalam rangka dilakukan kebijakan yang
menguntungkan baik produsen maupun konsumen produk pertanian. Selama ini data
produksi dan konsumsi pertanian dianggap kurang akurat, yang pada akhirnya
berujung pada kegiatan impor berbagai produk pertanian. Terlebih lagi, kalau
kegiatan impor berbasis perburuan rente, maka apa artinya sebuah data, yang
penting sekelompok pihak dapat diuntungkan.
Pameo "data itu mahal",
apalagi pembangunan akan lebih mahal kalau tanpa data, tidak akan berlaku.
Kalau kartel impor pangan tidak dapat dihapus, maka biaya mahal ST 2013 akan
ter buang percuma. Bisa jadi pihak yang harus mengambil kebijakan pembangunan
pertanian, yang semestinya menguntungkan petani, justru berbalik arah menjadi
merugikan. Data yang diperoleh dari ST dapat tidak dipakai karena ulah pihak
kartel.
Tahun 2012 pernah dilakukan Sensus
Ternak yang meliputi tenak sapi dan kerbau yang anggarannya cukup mahal, yaitu
menelan dana sebesar Rp 203 miliar. Tetapi, yang terjadi justru tidak lama
setelah pelaksanaan Sensus Ternak, harga daging sapi di negara kita menjadi
pemecah rekor tertinggi di dunia.
Mungkin data yang diperoleh dari sensus tersebut bernilai penting, tetapi
akibat ulah mafia kartel impor pangan, maka keberartian data yang ada menjadi
percuma.
Di samping perlu ditegakkan hukum
yang adil terhadap pelaku kartel impor, keakuratan data menjadi sangat penting.
Kalau diingat relatif berhasilnya pemerintah Orde Baru dibandingkan sekarang dalam
bidang pertanian, salah satunya adalah ketersediaan data pertanian yang relatif
valid untuk pengambilan keputusan.
Kalau dipakai sebagai target pemerintah
pada tahun 2014, yang akan mencapai swasembada lima komoditas strategis, yaitu
padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, sepertinya secara statistik yang
sudah swasembada adalah padi. Meski begitu, ada berbagai pihak yang meragukan
keakuratan data tersebut. Bustanul Arifin sebagai pengamat ekonomi pertanian
termasuk salah satunya.
Khusus untuk padi, data sementara produksinya sebesar 68,9 juta ton gabah atau
setara 37 juta ton beras. Jika konsumsi beras nasional mencapai 113,5 kg per
kapita. Berarti total konsumsi beras untuk 237,6 juta penduduk sebesar 27 juta
ton. Dengan produksi 37 juta ton beras, harusnya terjadi surplus beras.
Menurutnya, data tersebut overestimate sekitar 9-10 persen. Akibatnya, Bulog tetap mengimpor beras untuk menjaga agar tidak terjadi gejolak harga.
Menurutnya, data tersebut overestimate sekitar 9-10 persen. Akibatnya, Bulog tetap mengimpor beras untuk menjaga agar tidak terjadi gejolak harga.
Terlepas dari kontroversi data produk
padi, yang penting dalam ST 2013 di temukan data pertanian yang benar-benar apa
adanya. Hasil penelitian FEB Undip dan Dinas Ketahanan Pangan Jawa Tengah
menemukan, pada waktu tertentu dan juga daerah tertentu, komoditas strategis
pertanian ada yang surplus dan defisit. Aliran produk pertanian terkadang tidak
hanya terjadi pada wilayah tertentu, akan tetapi mengalir ke wilayah lainnya
yang harganya lebih menguntungkan.
Keadaan ini menggambarkan pantauan
produksi dan aliran distribusi menjadi sangat penting. Kapan musim kelebihan
produksi dan kekurangan produksi menjadi demikian vital, sehingga pasokan produksi
selalu tersedia memadai. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat
menghilangkan lonjakan harga tidak terjadi di luar kewajaran.
Sarana dan prasarana pertanian menjadi
sangatlah berarti dalam rangka memajukan pertanian. Selama ini kondisi
infrastruktur seperti jalan raya dan irigasi sangatlah memprihatinkan dibandingkan
dengan negara lainnya.
Kendala jalan yang jelek tentunya akan menghambat aliran produk barang dan jasa
pertanian sehingga sampai konsumen harganya dapat mahal. Termasuk kelangkaan
solar pada akhir-akhir ini, ikut menyumbang naiknya harga-harga produk
pertanian sehingga memacu inflasi.
Penjualan produk pertanian di Indonesia
kebanyakan dalam bentuk aslinya tanpa proses pengolahan, sehing- ga nilai
tambahnya begitu rendah. Sangatlah ironis, Singapura menduduki pe ringkat atas
produksi olahan rempah-rempah, yang tentunya bahan bakunya berasal dari
Indonesia. Guna meningkatkan nilai tambah produk pertanian, memang dibutuhkan
dana besar untuk membangun agroindustri sebagai subsistem agrobisnis.
Banyak harapan dari kegiatan ST
2013 guna memajukan pertanian Indonesia yang mandiri, yang dapat menyejahterakan
para pelaku usaha pertanian.
Indikatornya adalah perolehan data yang akurat sehingga dapat dipakai sebagai
perencanaan dan pengimplementasian pembangunan pertanian yang benar-benar
mengembalikan citra Indonesia sebagai negara agraris sejati yang adil dan
makmur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar