Selasa, 14 Mei 2013

Sensus Pertanian


Sensus Pertanian
Purbayu Budi Santosa  ;  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis      Universitas Diponegoro (Undip)
REPUBLIKA, 13 Mei 2013


Sensus Pertanian (ST) merupakan kegiatan rutin Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilakukan dengan interval waktu 10 tahun, dengan berakhiran angka 3. ST dilakukan sejak 1963, yang dilanjutkan tahun 1973, 1983, 1993, dan sebelum tahun ini dilakukan tahun 2003. Pemutakhiran dan pencacahan lengkap dilaksanakan tanggal 1-31 Mei 2013.

Cakupan populasi dalam ST 2013 meliputi perusahaan berbadan hukum, perusahaan tidak berbadan hukum atau bukan usaha rumah tangga (pesantren, seminari, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain yang mengusahakan pertanian), dan usaha pertanian di rumah tangga. Adapun cakupan subsektor pertanian meliputi (1) tanaman pangan (padi dan palawija), (2) Tanaman hortikultura (sa yuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat), (3) tanaman perkebunan, (4) peternakan, (5) budidaya dan penangkapan ikan, serta (6) tanaman kehutanan, perburuan, penangkapan, atau penangkaran satwa liar dan pemungutan hasil hutan.

Kegiatan ST 2013 yang ditengarai menghabiskan dana Rp 1,59 triliun diharapkan benar-benar menghasilkan data yang akurat, yang dapat dipakai untuk menyejahterakan para petani. Demikian juga hasil ST kiranya dapat digunakan sebagai angka patokan (benchmark) untuk memperbaiki perkiraan produksi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.

Prasarat keberhasilan

Perkiraan produksi berbagai subsektor pertanian menjadi begitu penting dalam rangka dilakukan kebijakan yang menguntungkan baik produsen maupun konsumen produk pertanian. Selama ini data produksi dan konsumsi pertanian dianggap kurang akurat, yang pada akhirnya berujung pada kegiatan impor berbagai produk pertanian. Terlebih lagi, kalau kegiatan impor berbasis perburuan rente, maka apa artinya sebuah data, yang penting sekelompok pihak dapat diuntungkan.

Pameo "data itu mahal", apalagi pembangunan akan lebih mahal kalau tanpa data, tidak akan berlaku. Kalau kartel impor pangan tidak dapat dihapus, maka biaya mahal ST 2013 akan ter buang percuma. Bisa jadi pihak yang harus mengambil kebijakan pembangunan pertanian, yang semestinya menguntungkan petani, justru berbalik arah menjadi merugikan. Data yang diperoleh dari ST dapat tidak dipakai karena ulah pihak kartel. 

Tahun 2012 pernah dilakukan Sensus Ternak yang meliputi tenak sapi dan kerbau yang anggarannya cukup mahal, yaitu menelan dana sebesar Rp 203 miliar. Tetapi, yang terjadi justru tidak lama setelah pelaksanaan Sensus Ternak, harga daging sapi di negara kita menjadi pemecah rekor tertinggi di dunia.
Mungkin data yang diperoleh dari sensus tersebut bernilai penting, tetapi akibat ulah mafia kartel impor pangan, maka keberartian data yang ada menjadi percuma.

Di samping perlu ditegakkan hukum yang adil terhadap pelaku kartel impor, keakuratan data menjadi sangat penting. Kalau diingat relatif berhasilnya pemerintah Orde Baru dibandingkan sekarang dalam bidang pertanian, salah satunya adalah ketersediaan data pertanian yang relatif valid untuk pengambilan keputusan. 
Kalau dipakai sebagai target pemerintah pada tahun 2014, yang akan mencapai swasembada lima komoditas strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi, sepertinya secara statistik yang sudah swasembada adalah padi. Meski begitu, ada berbagai pihak yang meragukan keakuratan data tersebut. Bustanul Arifin sebagai pengamat ekonomi pertanian termasuk salah satunya.
Khusus untuk padi, data sementara produksinya sebesar 68,9 juta ton gabah atau setara 37 juta ton beras. Jika konsumsi beras nasional mencapai 113,5 kg per kapita. Berarti total konsumsi beras untuk 237,6 juta penduduk sebesar 27 juta ton. Dengan produksi 37 juta ton beras, harusnya terjadi surplus beras.
Menurutnya, data tersebut overestimate sekitar 9-10 persen. Akibatnya, Bulog tetap mengimpor beras untuk menjaga agar tidak terjadi gejolak harga. 

Terlepas dari kontroversi data produk padi, yang penting dalam ST 2013 di temukan data pertanian yang benar-benar apa adanya. Hasil penelitian FEB Undip dan Dinas Ketahanan Pangan Jawa Tengah menemukan, pada waktu tertentu dan juga daerah tertentu, komoditas strategis pertanian ada yang surplus dan defisit. Aliran produk pertanian terkadang tidak hanya terjadi pada wilayah tertentu, akan tetapi mengalir ke wilayah lainnya yang harganya lebih menguntungkan. 

Keadaan ini menggambarkan pantauan produksi dan aliran distribusi menjadi sangat penting. Kapan musim kelebihan produksi dan kekurangan produksi menjadi demikian vital, sehingga pasokan produksi selalu tersedia memadai. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat menghilangkan lonjakan harga tidak terjadi di luar kewajaran.

Sarana dan prasarana pertanian menjadi sangatlah berarti dalam rangka memajukan pertanian. Selama ini kondisi infrastruktur seperti jalan raya dan irigasi sangatlah memprihatinkan dibandingkan dengan negara lainnya.
Kendala jalan yang jelek tentunya akan menghambat aliran produk barang dan jasa pertanian sehingga sampai konsumen harganya dapat mahal. Termasuk kelangkaan solar pada akhir-akhir ini, ikut menyumbang naiknya harga-harga produk pertanian sehingga memacu inflasi.

Penjualan produk pertanian di Indonesia kebanyakan dalam bentuk aslinya tanpa proses pengolahan, sehing- ga nilai tambahnya begitu rendah. Sangatlah ironis, Singapura menduduki pe ringkat atas produksi olahan rempah-rempah, yang tentunya bahan bakunya berasal dari Indonesia. Guna meningkatkan nilai tambah produk pertanian, memang dibutuhkan dana besar untuk membangun agroindustri sebagai subsistem agrobisnis.

Banyak harapan dari kegiatan ST 2013 guna memajukan pertanian Indonesia yang mandiri, yang dapat menyejahterakan para pelaku usaha pertanian.
Indikatornya adalah perolehan data yang akurat sehingga dapat dipakai sebagai perencanaan dan pengimplementasian pembangunan pertanian yang benar-benar mengembalikan citra Indonesia sebagai negara agraris sejati yang adil dan makmur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar