|
KOMPAS,
13 Mei 2013
Pada
sistem demokrasi, salah satu ciri pengelolaan konflik politik yang buruk adalah
mobilisasi kekerasan sampai pada level perusakan, teror, dan pembunuhan.
Contoh
aktual: kekerasan dalam konflik politik dengan isu pemekaran wilayah di Muara
Rupit, Sumatera Selatan, pada akhir April 2013 yang menewaskan empat warga.
Konflik
politik yang sering melibatkan sentimen identitas dan heterogonitas kepentingan
mampu menciptakan eskalasi ketegangan yang berlanjut pada praktik kekerasan,
terutama pada situasi di mana komunikasi inklusif sebagai metode untuk
mengungkapkan aspirasi dan negosiasi tak tersedia. Alhasil, konflik kekerasan
di Muara Rupit mengindikasikan bahwa komunikasi inklusif telah gagal
dikonstruksikan oleh para aktor berkonflik di dalamnya, baik aktor negara
maupun non-negara.
Kelembagaan
dialog
Komunikasi
inklusif merupakan proses dinamis dari berbagai kepentingan untuk melakukan
transformasi konflik, yaitu mengubah konflik menjadi pemecahan masalah yang
konstruktif. Pada komunikasi inklusif, setiap aktor berkonflik berada pada
relasi kuasa yang setara dan berpeluang sama dalam beraspirasi tanpa penggunaan
kekerasan. Komunikasi inklusif sendiri butuh dua materi dasar: kelembagaan
dialog dan kesadaran subyektif para aktor berkonflik.
Pada
sistem demokrasi, kelembagaan dialog jadi bagian dari fungsi lembaga negara. Kelembagaan
dialog secara normatif telah diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan
sehingga negara harus menyediakan kelembagaan dialog untuk mengelola konflik
politik secara konstruktif. Kelembagaan dialog memasukkan setiap aktor
berkonflik ke dalam aturan main, yang salah satu substansi pentingnya adalah
praktik nir-kekerasan.
Praktik
nir-kekerasan selalu memungkinkan terjadi pertukaran informasi dan saling
memahami tentang cara menyelesaikan masalah secara diskursif. Fase
kesalingpahaman akan diikuti oleh kondisi konsensus di mana para aktor
berkonflik harus mengikuti dan melaksanakan isi pemecahan masalah. Namun, dalam
konteks konflik politik, kelembagaan dialog butuh niat baik dari kepemimpinan
dalam struktur kekuasaan negara. Sebab, kelembagaan dialog pada dasarnya
mengorbankan kepentingan sempit elitis dengan mengutamakan kepentingan umum.
Sayangnya,
salah satu paradoks politik demokrasi Indonesia sesungguhnya terlihat dari
keengganan kepemimpinan dalam struktur kekuasaan negara menyediakan kelembagaan
dialog. Kuatnya kepentingan sempit para elite sering kali menghalangi
kelembagaan dialog diciptakan dalam rangka mengelola konflik.
Akibatnya,
konflik-konflik politik terkait isu sumber daya alam, tata ruang perkotaan, dan
pemekaran wilayah disarati oleh mobilisasi kekerasan aktor negara. Hanya
beberapa kasus kepemimpinan negara, terutama di level daerah, yang berani
menyediakan kelembagaan dialog untuk mengelola konflik politik.
Kesadaran
subyektif
Setelah
kelembagaan dialog, materi kedua untuk mengonstruksi komunikasi inklusif adalah
kesadaran subyektif berkonflik dalam sistem demokrasi. Sesungguhnya demokrasi
menyediakan kebebasan sekaligus mengisi kesadaran subyektif dengan nilai
kebaikan, seperti toleransi, keadilan, dan kesetaraan yang memihak praktik
perdamaian.
Nilai
kebaikan dalam kesadaran subyektif, meminjam istilah Hannah Arend dalam The
Life of the Mind (1978), membangun kecerdasan berpikir dan bertindak. Dengan
begitu, demokrasi secara ideal membentuk kesadaran subyektif masyarakat yang cerdas
mengelola konflik secara demokratis. Suatu kecerdasan yang ditandai oleh
reproduksi nilai kebaikan demokrasi yang damai.
Akan
tetapi, runtutan konflik penuh adegan kekerasan di Indonesia mengindikasikan
masyarakat masih tidak cerdas mengelola konflik. Masyarakat, dengan berbagai
kelompok kepentingan di dalamnya, mudah merusak bangunan publik, menyerang
tetangga desa, bahkan membunuh anggota komunitas lain. Praktik kekerasan
menyebabkan masyarakat kian bodoh dan kehilangan kemampuan mendeteksi pemecahan
akar masalah konflik.
Ketika
ketidakhadiran kelembagaan dialog dan ketidakcerdasan mengelola konflik
menyublim sebagai fakta sosial, komunikasi inklusif hanya fatamorgana. Oleh
karena itu, sejarah konflik dalam kehidupan berbangsa-bernegara dalam rentang demokratisasi
cenderung sarat oleh kekerasan. Laporan Sistem Nasional Pemantau Kekerasan
periode Mei-Agustus 2012 di sembilan provinsi memperlihatkan 1.516 insiden
konflik kekerasan, menyebabkan 192 orang tewas, 1.958 cedera, dan 261 bangunan
rusak.
Laporan
ini suatu peringatan: aktor negara dan non-negara telah gagal berkonflik secara
demokratis. Untuk itu, kepemimpinan dalam struktur kekuasaan negara dan
masyarakat perlu bekerja sama mengonstruksi komunikasi inklusif. Negara harus
memasang niat politik lebih kuat dalam menyediakan kelembagaan dialog,
sedangkan masyarakat mengisi kesadaran subyektif dengan nilai kebaikan
demokrasi agar cerdas mengelola konflik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar