|
KOMPAS,
18 Mei 2013
Dalam
kearifan lama, ternak memiliki posisi yang amat mulia. Kitab suci dengan sangat
bergairah menating nama-nama ternak untuk mengidentifikasi surat-surat Tuhan.
Sebutlah semisal sapi betina (al-baqarah),
semut (an-naml), gajah (al-fil), lebah (an-nahl), dan sebagainya.
Tentu,
ketika memasuki kosmologi akal budi manusia, kehadirannya mengandaikan untuk
ditafsirkan secara metaforis. Ia sebagai simbol dengan jaringan makna yang
sangat luas, terbentang mulai dari citra negatif sampai gambaran positif. Juga
tentang kesetiaan sekaligus kelicikan, tentang kecerdikan dan kedunguan.
Setiap
kebudayaan, di mana pun, punya cara sendiri dalam menghadirkan dongeng-dongeng
seputar ternak. Dongeng ini biasanya disampaikan sang ibu sebagai pengantar
tidur anaknya yang masih kecil, sampai kemudian mereka terlelap dan ”dunia
binatang” menyerbu masuk dalam mimpi-mimpinya.
Politik
ternak
Dalam
konteks politik, ternyata ternak hari ini hadir dalam citra beragam, dan
sayangnya, serba negatif karena boleh jadi sebagai bias dari politik yang telah
kehilangan adab. Karena politisinya sebagian besar telah bermetamorfosis
menjadi kerumunan ternak, idiom yang tumbuh subur pun mencerminkan ihwal ternak
yang serba gelap itu.
Sebut
saja, misalnya, dagang sapi, kambing hitam, memilih kucing dalam karung, anjing
menggonggong kafilah berlalu, kacamata kuda, muka badak, tikus (korupsi), dan
celengan babi. Entahlah, apa dosa sapi, kucing, anjing, tikus, babi, kuda, dan
badak sehingga dihadirkan untuk menggambarkan tindakan sengkarut politik yang
serba licik, transaksional, rakus, korup, dan manipulatif.
Ketika
”ternak” sudah mendominasi politik, inilah yang dibilang Hannah Arendt sebagai
banalitas politik. Politik banal seperti ini dapat mengalirkan kekerasan yang
memiliki daya destruktif dahsyat, termasuk kekerasan simbolis.
Yang
dihancurkan bukan hanya ”anggaran” dan ”penyelewengan keuangan”, tetapi yang
lebih mengerikan adalah kemanusiaan. Sebab, yang dipertaruhkan tidak saja masa
depan partai, tetapi juga nilai-nilai luhur dan kearifan sebuah negara yang
cepat atau lambat akan mengalami degradasi.
Dan,
yang paling rusak adalah ketika agama yang diselewengkan. Kata Michel Foucault,
dari sekian banyak simbol, agamalah sesungguhnya yang berada pada stadium
teratas yang bisa ”menghipnosis” seseorang dalam ketaatan absolut dibandingkan
dengan simbol lain seperti etnik, budaya, sosial, dan ekonomi. Agama yang telah
ditafsirkan salah kaprah untuk kepentingan politik dan kaumnya akan mampu
membuat para pengikutnya, simpatisan, dan kadernya gelap mata. Mereka akhirnya
melihat berbagai penyimpangan yang dilakukan ”elite kaumnya” dengan tidak
obyektif dan apologetik: mereka memakai ”kacamata kuda”.
”Kacamata
kuda”, lagi-lagi diksi yang digunakan secara geneologis diacukan kepada ternak.
Kacamata kuda, inilah sejatinya salah satu akar mencuatnya fundamentalisme
fanatik. Tak harus dalam domain agama, tetapi juga politik, budaya, dan etnik.
Fanatisme itu jangkarnya adalah keyakinan buta, kepatuhan mutlak, hilangnya
akal sehat, dan selalu melihat persoalan secara hitam putih: bipolar.
Fenomena
”jouissance”
Mengikuti
telaah filsuf urakan Eropa Timur, Slavoj Zizek (Robertus Robet, 2010), model
politik ternak adalah titik artikulasi dalam medan politik yang menyimpang. Ia
”penanda kosong” yang kemudian diisi sentimen keagamaan yang tafsirnya telah
dibajak elite partai tanpa menghiraukan militansi akar rumput partai yang
berjuang dengan ikhlas dan lillahi ta’ala.
Inilah
yang dibilang Zizek sebagai fenomena
jouissance: ekspresi hilangnya sentuhan kasih sayang ”ibu” yang telah
menyiraminya diganti dengan kecintaan buta kepada partai. Arus utama anak
bangsa tercerabut dari aura ”ibu” (akar budaya dan religiositas iman yang
murni) diganti pesona kapitalisme dan gelombang gelegak nafsu kebendaan yang
kelewat batas. Alhasil, jangankan berpijak pada rawayan (jalan) kebenaran,
bahkan menafsirkan kebenaran pun mereka mengalami kesulitan sebab harus
disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.
Pada
gilirannya, kian menjadi tidak jelas antara wilayah publik dan domain privat.
Partai tidak lagi mentransformasikan kita menjadi manusia yang menemukan jati
diri dan membebaskan. Juga tidak mencerahkan dan menawarkan sebuah percakapan
diskursif yang berada dalam kesetaraan, demokratis, dan menjunjung tinggi
kohesivitas sosial dalam semangat pluralitas. Hari ini, yang ada dalam ingatan
sosial tentang partai, ya, itu tadi: politik serupa ternak.
Kasus
sapi yang menerpa bekas Presiden PKS dan orang kepercayaannya, Ahmad Fathanah,
yang kiprah ”bisnisnya” dikelilingi perempuan-perempuan wangi, jangan dibaca
secara pragmentaris. Namun, saya memosisikannya sebagai sebuah metafor, yakni
bagaimana pesona ternak ”sapi” menjungkalkan moralitas yang
justru—tragisnya—menerpa sebuah partai yang dengan riil mengusung tema ini.
”Sapi” dapat menerpa siapa pun.
Politik
Leviathan Thomas Hobbes akan mudah menjangkiti bangsa yang berada dalam
transisi demokrasi. Yang salah bukan demokrasi (dan agama), tetapi atmosfer
(dan sistem) berbangsa yang tidak ubahnya di rimba raya: siapa yang kuat akan
keluar sebagai pemenang. Jika tidak merasa kuat, dia berupaya mencari doping
dengan jalan pintas. Caranya? Di antaranya dengan ”dagang sapi” itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar