|
KOMPAS,
18 Mei 2013
Gejala
pemusatan kekuasaan partai politik di satu tangan menjadi gejala umum dalam
politik Indonesia.
Partai
Demokrat, PDI-P, Gerindra, Nasdem, PKS, dan PKB di zaman Gus Dur, semua
mengalami hal itu.
Dalam
literatur perbandingan politik, gejala itu disebut gejala presidensialisasi.
Karena terjadi di parpol, kita menyebutnya presidensialisasi partai politik.
Gejala ini, dalam jangka menengah dan panjang, akan menimbulkan masalah dalam
pelembagaan dan keberlangsungan partai politik.
Mengapa
presidensialisasi?
Pemusatan
kekuasaan dalam suatu parpol dapat terjadi karena beberapa hal. Dalam sebuah
partai yang dikuasai faksi mayoritas, pemusatan kekuasaan terjadi karena faksi
mayoritas sama sekali tidak memberi toleransi kepada faksi minoritas untuk
tumbuh. Caranya, antara lain, tak memberikan sedikit pun posisi strategis
partai kepada faksi minoritas. Posisi strategis itu baik di tingkat organisasi
partai di kala pemilu maupun ketika partai memiliki posisi di pemerintahan
(eksekutif dan legislatif). Pemusatan kekuasaan juga terjadi ketika kekuatan
faksi minoritas masih terlalu kecil untuk berkompetisi dengan faksi mayoritas.
PDI-P
dapat dikategorikan sebagai partai yang pusat kekuasaannya ada di satu faksi
mayoritas, yakni Megawati. Faksi minoritas di partai ini tidak dapat tumbuh,
atau bibit-bibitnya segera dihalangi. Faksi minoritas yang cukup besar di
partai ini telah keluar. Contohnya adalah faksi atau kelompok Laksamana Sukardi
yang keluar membentuk Partai Demokrasi Pembaruan. Faksi yang lebih kecil,
seperti kelompok Pramono Anung, dengan cepat tersingkir karena tidak lagi
diberi jabatan strategis di partai. Suara faksi minoritas di PDI-P, seperti di
partai lain, adalah suara mempertanyakan pemusatan kekuasaan di tangan satu
figur itu sendiri.
Kekuasaan
di satu partai dapat juga dipegang kelompok atau faksi minoritas. Ini terjadi
karena ketiadaan faksi mayoritas dalam partai. Dalam kasus ini, pemusatan
kekuasaan di satu tangan terjadi melalui proses munculnya pemimpin yang
dianggap sebagai simbol sekaligus satu-satunya pemersatu berbagai faksi yang
ada. Tanpa kehadiran sang pemimpin ini, faksi-faksi yang ada tak dapat bekerja
sama (berkoalisi). Keadaan Demokrat sebelum KLB Bali bisa masuk kategori ini.
Menjelang
dan setelah Kongres Partai Demokrat di Bandung 2010, faksi mayoritas di partai
ini sebetulnya faksi Anas Urbaningrum dan faksi Marzuki Alie. Faksi SBY
sebetulnya faksi minoritas karena kalah sejak awal dalam perebutan posisi ketua
umum DPP. Namun, karena SBY pendiri dan masih menjadi simbol partai, kekuasaan
terbesar dipegang faksi SBY. Pola pengelolaan kekuasaan yang berlangsung di
partai ini sejak 2010 adalah pola koalisi tiga faksi, yakni faksi SBY, Marzuki,
dan Anas.
Dalam
perjalanannya, faksi Anas, melalui konsolidasi internal yang terus dilakukan,
makin menguat, sedangkan kekuasaan faksi SBY makin melemah. Perlahan tetapi
pasti, simbol atau wajah Demokrat mulai menjadi dua: SBY dan Anas. Pemusatan
kembali kekuasaan di satu tangan SBY, seperti ketika partai ini pertama
didirikan, menjadi kebutuhan faksi SBY. Fenomena terus menurunnya elektabilitas
partai dan penetapan Anas sebagai tersangka kasus korupsi menjadi momentum
upaya pemusatan kembali kekuasaan ini. Puncak proses pemusatan kekuasaan
terjadi saat KLB di Bali.
Pemusatan
kekuasaan partai di satu tangan juga terjadi karena imbas gejala presidensialisasi
di tingkat yang lebih luas. Sistem presidensial yang dianut Indonesia, ditambah
lemahnya hubungan ideologis antara pemilih/rakyat dengan partai, memunculkan
presidensialisasi politik. Gejala ini ditandai dengan menguatnya peran
figur/personal dalam proses politik.
Dalam
konteks Indonesia kini, peran figur seperti Megawati, Prabowo, dan SBY menjadi
lebih penting bagi daya tarik pemilih. Di tingkat daerah, hal sama juga
terjadi. Misalnya, aspek personal atau figur lebih penting saat warga Jakarta
memilih Jokowi-Basuki, atau ketika rakyat Jawa Barat memilih Ahmad
Heryawan-Deddy Mizwar. Menghadapi situasi ini, pemusatan kekuasaan partai di
satu tangan lebih menjamin kemampuan partai bertarung di pemilu. Banyaknya
faksi di partai juga lebih mudah diatasi bila kekuasaan terpusat di satu
tangan.
Apa
akibatnya?
Presidensialisasi
parpol dalam jangka pendek mungkin berdampak positif. Dalam kasus Demokrat,
presidensialisasi akan menjamin soliditas partai ini terutama menghadapi Pemilu
2014. Faksi-faksi yang ada, terutama faksi Anas dan faksi Marzuki, untuk
sementara menghentikan pertarungan dan fokus pada proses administratif dan
kampanye untuk pemenangan partai dan setiap calon anggota legislatif.
Namun,
dalam jangka menengah dan panjang, presidensialisasi bisa berakibat buruk.
Presidensialisasi menunjukkan ketiadaan mekanisme kelembagaan yang dapat
dipakai untuk penyelesaian konflik secara demokratis. Termasuk di dalamnya
kesediaan setiap faksi untuk menang atau kalah dalam konflik tanpa perlu keluar
dari partai.
Dengan
kata lain, yang diperlukan partai sebetulnya proses pelembagaan atau
institusionalisasi. Ironisnya, kebutuhan akan institusionalisasi ini, akibat
tuntutan jangka pendek, dijawab dengan proses de-institusionalisasi melalui
proses presidensialisasi. Akibatnya, partai akan bergantung terus pada simbol
personal dan/atau figur. Faksi-faksi di dalam partai akan terus memiliki
potensi konflik, dan bila ada picunya dapat meledak dan merusak soliditas
partai itu sendiri.
Soliditas
adalah kebutuhan mutlak sebuah partai untuk terus bertahan dalam politik. Maka,
dalam jangka menengah dan panjang, partai yang mengalami presidensialisasi
mungkin akan melakukan dua hal. Pertama, figur yang berkuasa terus
mempertahankan koalisi antar-faksi sambil pelan-pelan melakukan pelembagaan.
Pada akhirnya, partai akan memiliki mekanisme yang diterima semua faksi yang
ada untuk menyelesaikan konflik secara terbuka dan demokratis.
Namun,
karena proses pelembagaan memakan waktu lebih dari satu masa pemilu, partai
seperti ini akan terjebak kembali pada proses presidensialisasi ketika
menghadapi pemilu. Partai yang mengalami presidensialisasi mungkin akan
melakukan proses pemusatan kekuasaan yang dapat bertahan lama. Cara yang lazim
adalah keluarga dekat dari figur penguasa partai dilibatkan secara penuh dan
diberi posisi strategis. Proses pelembagaan partai akan terus berhadapan dengan
proses presidensialisasi.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar