Selasa, 21 Mei 2013

Antara Negarawan dan Wakil Rakyat


Antara Negarawan dan Wakil Rakyat
Rakhmat Hidayat ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) & 
Kandidat PhD Bidang Sosiologi Université Lumière Lyon 2 France
KORAN SINDO, 21 Mei 2013

Pemilu 2014 semakin dekat pelaksanaannya. Seluruh partai politik sudah menyerahkan Daftar Calon Sementara (DCS) kepada Komisi Pemilihan Umum dengan tenggat terakhir Senin, 22 April 2013. 

Awal Mei 2013, semua berkas dikembalikan kepada masingmasing partai untuk dilengkapi dan diperbaiki hingga diserahkan kembali ke KPK pada 9-22 Mei 2013. Finalisasi proses tersebut akan menghasilkan Daftar Calon Tetap yang akan diumumkan kepada publik pada 23-25 Agustus 2013. Perkembangan baru politik Indonesia sudah memasuki tahap penting berikutnya dalam melahirkan calon wakil rakyat yang akan berkontestasi dalam Pemilu Legislatif 2014. 

Ada berbagai catatan dalam proses penjaringan DCS dari berbagai partai. Dari segi kuntitatif, tentu jumlah DCS tersebut akan disaring lebih selektif dengan parameter rekam jejak dan performa kapasitas yang mumpuni. Dari segi kualitas, ini menjadi pertanyaan besar dalam memetakan DCS dari berbagai partai. Salah satu masalah krusial dalam DCS adalah masih bertahannya politik dinasti yang mempertahankan silsilah kekerabatan, baik dari keluarga inti (istri, suami, anak) maupun dari keluarga besar (adik ipar, sepupu, paman, dsb). 

Rezim dinasti menjadi kontraproduktif dalam transisi politik yang sedang berlangsung karena tidak berbasiskan merrit systemdalam pentas politik. Sekaligus ini menjadi kemunduran dalam panggung politik sebagaimana menjadi ciri khas dalam setiap pemilu sepanjang sejarah Orde Baru. Semua parpol sudah menjaring calegnya dari berbagai latar belakang. Tidak sedikit mereka membuka lowongan pendaftaran caleg ibarat lowongan kerja di media massa. 

Fenomena ini menjadi ruang artikulasi politik warga. Meskipun juga tidak bisa dimungkiri jika dominasi politisi lama di semua parpol masih sangat besar pengaruhnya. Sebagaimana kita ketahui, pasca-Orde Baru, seiring dengan dibukanya kerandemokrasi, munculpuluhan partai politik. Kehadiran parpol tersebut memberikan beberapa makna bagi kepentingan pembangunan demokrasi Indonesia. Ruang politik semakin terbuka lebar bagi setiap individu untuk mengartikulasikan hak politiknya. Pada Orde Baru, mereka harus menahan hasrat politiknya karena sistem politik yang otoriter. 

Kehadiran parpol juga melahirkan aktor politik baru yang meramaikan pentas politik nasional. Mereka adalah politisi produk reformasi. Sebagian di antara mereka adalah politisi era Orde Baru yang meneruskan karier politiknya setelah Soeharto tumbang. Kehadiran puluhan parpol menjadikan referensi politik bagi setiap warga negara untuk mengagregasikan kepentingan politiknya sesuai orientasi politik dan ideologinya. 

Pada Orde Baru, ruang politik hanya dibatasi pada PPP, Golkar, dan PDI (kemudian menjadi PDIP). Kehadiran politisi pasca- Orde Baru dapat ditelusuri pada beberapa tipologi. Pertama, politisi yang didasarkan pada basis idealisme dengan dukungan berbagai kapital, seperti kapital politik, kapital finansial, kapital intelektual maupun kapital jaringan. Mereka memandang politik sebagai ruang politik sebagai aktualisasi dan perjuangan idealisme. 

Di antara mereka adalah dengan berbagai latar belakang seperti aktivis ormas, aktivis mahasiswa/kepemudaan, jurnalis, akademisi, aktivis LSM. Kedua, kelompok politisi yang memandang politik sebagai kebutuhan instan dan pragmatis untuk kepentingan diri dan kelompok mereka. Mereka memaknai politik sebagai penyaluran kebutuhan ekonomi mereka. Orientasi mereka lebih pada politik transaksional. 

Mereka tanpa didukung kapasitas organisasi, intelektual, dan jaringan yang memadai dalam gerak politik mereka. Tipologi ini sering disebut politisi instan atau politisi karbitan. Mereka hadir dalam pentas politik tanpa memiliki visi politik. Sayangnya, kedua tipologi politisi ini akrab bersinggungan dengan perilaku-perilaku politik tercoreng. Korupsi adalah penyakit utama yang dihadapi politisi di republik ini. Politisi kita terjebak dalam perilaku korupsi yang sudah semakin parah dan merajelala. 

Tipikal Negarawan 

Kita punya harapan melahirkan wakil rakyat yang menjadi cermin dan sosok negarawan sebagaimana termanifestasi dalam sejarah bangsa ini. Melihat paradoks tersebut, kita mendambakan sosok-sosok seperti Tjokroaminto, Natsir, Hatta, Sjahrir, I.J Kasimo, dan tokoh-tokoh republik lainnya. Tentu tidak mudah dan tidak mungkin melahirkan kloningnya tokoh-tokoh tersebut. Yang mendesak dan penting adalah menghidupkan kembali dan merawat ideologi, semangat dan napas mereka bagi reproduksi wakil rakyat produk Pemilu 2014. 

Beberapadiantaramereka adalah pemimpin politik. Tjokroaminoto memiliki pengaruh besar di Sarekat Islam (SI). Pada 10 September 1912, SI berubah haluan menjadi partai politik. SI kemudian berkembang menjadi parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai Islam yang sukses saat itu. 

Natsir adalah pemimpin Masyumi. Sjahrir adalah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kasimo adalah pendiri Partai Katolik. Mereka adalah tipe negarawan par excellent. Pemikiran dan perilaku mereka menunjukkan kapasitas negarawan republik. Ada beberapa hal yang mendukung kapasitas negarawan mereka. Pertama, kerangka berpikir mereka borderless. Visi politik mereka melampaui batasbatas ideologis, kepentingan politik, ideologi, etnis, ras, teologis. 

Mereka tidak terjebak kepentingan pragmatis faksional. Akar sosial pemikiran mereka adalah menjaga republik. Republik ini menjadi sesuatu yang mengikat alur pikir dan alur gerak mereka. Kedua, sumbangan peran mereka sangat kuat dengan ketokohan personal. Mereka dikenal sebagai sosok yang sederhana, rendah hati, dan bersahaja. Kesederhanaan mereka dapat dilihat dari penampilan mereka yang jauh dari kesan kemewahan. 

Sebuah kisah menarik disampaikan George McTurman Kahin, profesor politik Cornell University. Kahin pada 1948 mengunjungi Yogyakarta dan berjumpa dengan seorang pria berusia 40 tahun. Kahin menggambarkan sosok pria tersebut berwajah teduh dan berkacamata bulat. Hal menarik dari Kahin adalah, dia melihat pria tersebut menggunakan baju dan pentalon yang sangat murah harganya dan sederhana. 

Setelah diperkenalkan, Kahin baru tahu ternyata sosok pria tersebut adalah Natsir yang menjabat menteri penerangan. Pengalaman menarik ini tentu menjadi ironis dengan suasana politisi pasca-Orde Baru yang hidup bergelimang dengan kemewahan harta. Kita melihat sosok negarawan seperti mereka adalah figur yang lurus, konsisten antara ucapan dan perilakunya. Arti penting mereka bagi republik ini adalah memberikan fondasi kehidupan sosial politik yang humanis dan transformatif. 

Pemikiran mereka visioner melampaui zamannya. Kehadiran negarawan seperti mereka adalah sesuatu yang dirindukan oleh republik ini. Mereka adalah negarawan altruistik. Orang yang altruist adalah orang yang lebih mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Orang yang mau mengorbankan (kepentingan) dirinya sendiri demi kebaikan orang lain. Orang yang punya motivasi untuk menolong orang lain dan berbuat kebaikan tanpa pamrih. 

Negarawan altruistik selalu mendasarkan geraknya dalam kepentingan republik melewati kepentingan faksional. Suatu hal yang menjadi kekuatan moral negarawan seperti mereka. Republik ini sangat beruntung memiliki negarawan par excellent seperti mereka. Mereka menjadi moral bangsa yang tak ternilai harganya. Mereka menjadi “beyond of republic”. Atas dasar posisi ini, kontribusi mereka sangat besar dalam mengintegrasikan republik ini menjadi negara yang kuat. 

Kita memiliki pengayaan sejarah moral yang sangat berharga sebagai elan vital menjaga keutuhan republik. Negarawan seperti mereka berdebat dalam suasana kebangsaan yang kondusif dan visioner. Generasi memang silih berganti. Konteks politik juga berubah. Dalam tradisi Jerman, disebut zeitgeist atau era zaman terus berputar. Pemikiran mereka melampaui zamannya. Namun, pemikiran mereka selalui relevan dan kontekstual. 

Ada baiknya pemimpin dan politisi di republik ini sering melakukan refleksi pemikiran negarawan seperti mereka sebagai referensi sosial politik saat ini. Gagasan dan pemikiran negarawan terus terjaga selama Indonesia masih berdiri tegak. Politisi bisa muncul dan tenggelam setiap saat. Namun, negarawan adalah sosok yang sulit dicari. Indonesia merindukan lahirnya wakil rakyat baru dengan semangat negarawan seperti mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar