Selasa, 21 Mei 2013

Pendidikan dan Jati Diri Bangsa


Pendidikan dan Jati Diri Bangsa
Syahripal Putra ;  Dosen FKIP UMSU, Wakil Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Batubara
KORAN SINDO, 21 Mei 2013

Pendidikan, selain sandang, pangan, dan papan, adalahkebutuhanprimer yang harus dimiliki manusia. Suatu bangsa yang ingin mencapai kemajuan menganggap pendidikan sebagai salah satu dari berbagai kebutuhan vital. 

Bangsa Indonesia telah melihat bahwa dunia pendidikan adalah salah satu pilar kunci membangun fondasi bangsa yang kuat dalam menyongsong era globalisasi. Hal ini ditandai dengan memberikan porsi budget lebih yakni 20% untuk pembangunan pendidikan Indonesia. Apakah pendidikan itu? Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai secara beragam, bergantung sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya. 

Untuk mengetahui definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 

Berdasarkan UU itu, kita melihat bahwa definisi tersebut tidak hanya sekadar menggambarkan apa pendidikan itu. Tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas tentang siapa sesungguhnya pendidik itu, siapa peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan. Mengapa pendidikan begitu penting? Karena pendidikan adalah kata kunci untuk memutus mata rantai kebodohan, ketertinggalan, dan keterbelakangan dengan bangsa yang terdidik akan menjadikan sebuah bangsa menjadi bangsa mandiri dan maju. 

Di lain hal, ada beberapa permasalahan yang menjadi perhatian berkenaan dengan dunia pendidikan Indonesia. Pertama, sudahkah sistem pendidikan yang telah dirancang pemerintah sesuai kesejatian bangsa Indonesia yang juga akan mengentaskan kemiskinan bangsa ini? Kedua, bagaimanakah konsep pendidikan yang baik sesuai nurani dan nilai luhur bangsa? Pertanyaan tersebut menjadi landasan penulis dalam memaparkan artikel ilmiah ini. 

Pendidikan dari Nilai Luhur Bangsa 

Dewasa ini banyak fenomena yang menerpa dan menampar dunia pendidikan Indonesia sekaligus mencoreng hakikat pendidikan itu sendiri. Betapa tidak, pendidikan yang hakikatnya memanusiakan manusia dan sebagai sarana internalisasi peradaban manusia tiba-tiba ditohok dengan banyaknya aksi anarkisme yang notabene dilakukan insan pendidikan itu sendiri. 

Tawuran antarpelajar, tawuran antarmahasiswa baik sesama atau antaruniversitas, pelecehan seksual, video porno, aksi bullying (penindasan), adalah segelintir bentuk peradaban yang bukan harapan dari proses mengedukasi peserta didik dan bukan output yang diidamkan oleh dunia pendidikan. Fenomena-fenomena di dunia pendidikan di atas, mirisnya dilakukan beberapa oknum insan pendidikan, baik siswa, mahasiswa, guru, dosen, maupun pejabat di d e p a r t e - men pendidikan. 

Selain itu, pendidikan Indonesia sekarang ini b e l u m mampu menanamkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Lebih parahnya, para koruptor yang menjarah uang untuk menyejahterakan rakyat ternyata berasal dari insan terdidik dan memiliki gelar pendidikan tinggi. Nilai gotong-royong tidak lagi menjadi nilai luhur yang dipraktekkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai individualis menjadi trend yang mengalahkan gotong-royong. Masyarakat cenderung bersikap individualis dengan menafikan dan lebih memprioritaskan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. 

Sebagai contoh kecil, banyak pengendara tanpa merasa bersalah menerobos rambu lalu lintas dengan alasan sudah telat. Kemudian bangsa Indonesia dari dahulu terkenal dengan bangsa yang ramah. Banyak warga negara asing yang datang ke Indonesia baik dengan tujuan berdarmawisata, bisnis, atau yang lainnya memiliki asumsi positif dengan keramah-tamahan masyarakat Indonesia. Namun, kerusuhan horizontal (perang antarsuku, tawuran masyarakat, demonstrasi yang anarkis, anarkisme massa, dan sebagainya) seakan mencoreng wajah cantik masyarakat Indonesia, dan menempatkan I n d o n e s i a dalam blacklist negara yang berbahaya untuk dikunjungi lewat travel warning mereka. 

Karena itu, pendidikan harus kembali pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang diwariskan the founding fathers (pendiri-pendiri bangsa) ini. Bangsa Indonesia terlahir dari bangsa yang menghargai nilai gotong-royong, menebarkan keramah-tamahan, menghargai pendapat orang lain, dan memiliki toleransi yang baik. 

Harapan untuk Dunia Pendidikan 

Pada era global sekarang muncul kesadaran baru tentang pentingnya pendidikan yang memberikan kepedulian pada ekologi. Kesadaran ini didasari sebuah fakta, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan yang bersifat positif muncul terutama pada abad ke-20, ternyata dinilai telah membawa implikasi sangat serius, berupa kehancuran ekosistem, baik lingkungan alam maupun sosial. 

Kalau kita melihat proses pendidikan yang berlangsung, terdapat kesan kuat bahwa proses pembelajaran kurang memperhatikan potensi individual dan potensi serta kinerja otak dan emosi. Kinerja otak itu ibarat bohlam. Jika dilatih, bisa mengeluarkan sinar pengetahuan ke segala penjuru karena jaringan saraf otaknya berkesinambungan membentuk bola yang dihubungkan oleh sel-sel saraf yang miliaran jumlahnya. 

Pendidikan yang bagus harus mengaktifkan, tidak hanya otak kiri tetapi juga otak kanan. Otak kanan memiliki kemampuan berpikir imajinatif, holistik, kreatif, dan bisa menghasilkan ide-ide “subversif” di luar pakem yang biasa dianut otak kiri yang berciri linier dan analisis. Jadi, yang bagus memang menciptakan keseimbangan. Hal lain yang membuat kita sadar adalah beberapa percobaan di negara-negara maju yang mengembangkan apa yang disebut sebagai learning community, learning societyatau masyarakat belajar. 

Dimana sekolah tidak terfokus di ruang kelas, melainkan siswa diajak membangun kehidupan dalam bentuk sebuah komunitas yang mencerminkan semua aspek kehidupan, nantinya akan dihadapi dalam masyarakat. Di situ anak-anak belajar hidup dan mempersiapkan masa depannya secara terarah dan terpadu sehingga apa yang dijalani dalam proses pendidikan bukanlah sebuah kehidupan yang lain. Melihat kenyataan itu, dunia pendidikan harus memberi perhatian pada aspek kultural dan ekologi, bukannya berfokus pengajaran kognitif dan pelatihan keterampilan teknis. 

Dengan ungkapan lain, salah satu agenda penting pendidikan di masa depan adalah bagaimana mengatasi krisis kemanusiaan, termasuk persoalan krisis makna hidup. Tragedi peperangan, kudeta berdarah, dan serangkaian konflik bersenjata di berbagai belahan dunia telah menghentakkan kesadaran kita dan juga dunia pendidikan bahwa ternyata kemajuan ilmu dan teknologi modern tidak serta-merta menyelesaikan problem kehidupan. Fakta ini bagaimanapun juga harus dijadikan sebuah agenda pemikiran menyangkut filosofi dan arah pendidikan yang tengah berlangsung. 

Pengajaran dan pendidikan adalah dua hal berbeda, sementara kita lebih menitikberatkan pengajaran sehingga menyampingkan pendidikan. Jadi, proyek besar negara kita adalah bagaimana menjadikan jumlah penduduk yang demikian besar bukan menjadi burden(beban), melainkan harus diubah menjadi aset negara yang produktif. Pemikiran ini tidak berarti pendidikan terfokus untuk menjadikan siswa sebagai tukang, melainkan bagaimana menjadikan putraputri bangsa yang kreatif-inovatif memiliki komitmen kebangsaan dan kemanusiaan demi mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar