Rabu, 22 Mei 2013

(De)Ideologisasi Partai Politik?


(De)Ideologisasi Partai Politik?
W Riawan Tjandra ;  Pengamat Filsafat Hukum, 
Dosen di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO, 21 Mei 2013

Mencermati perkembangan kasus-kasus korupsi politik yang nyaris melanda semua parpol di negeri ini, sulit untuk tidak memberikan penilaian bahwa parpol-parpol saat ini telah mengalami banalitas makna ideologi. 

Dari partai sekuler sampai partai yang berjubah agama tak lepas dari belitan korupsi politik yang berakar dari kegelapan siklus pendanaan parpol. Parpol hanya menjelma menjadi mesin politik dan kendaraan sewaan bagi kepentingan pencalo(n)an anggota legislatif saat menjelang pemilu. Istilah ”ideologi” pertama kali dipergunakan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) pada abad ke-18 meskipun pada hakikatnya akar maknanya dapat dirunut ke belakang pada masa Francis Bacon (1561- 1626), Niccolo Machiavelli (1469-1520), dan Plato (429- 347 SM). 

De Tracy memaknai ideologi sebagai ilmu pengetahuan tentang ide-ide. Ideologi, menurutnya, adalah dasar bagi pendidikan dan ketertiban moral (moral order). Ideologi dalam kacamata positif dilihat sebagai suatu ilmu yang melampaui prasangka-prasangka agama dan metafisika, serta menjadi landasan bagi penentuan aturan moral. Kosakata ideologi yang dipergunakan oleh de Tracy memiliki akar historis dari tradisi pencerahan Prancis yang menganut pandangan bahwa akal adalah alat untuk mewujudkan kebahagiaan yang utama. 

Parpol yang konsisten memegang basis ideologis seharusnya mampu bertahan terhadap berbagai pengaruh hegemoni kapital maupun friksi internal karena masing-masing anggota partai memiliki basis utama untuk mempertahankan moralitas partai politik dalam merespons berbagai tuntutan politik maupun dalam berkontestasi secara politik. Pada awalnya memang kebanyakan elite maupun aktivis parpol akan mengedepankan simbol-simbol ideologis yang diklaim sebagai ruh yang menentukan jati diri parpol dalam visi dan misi parpol tersebut. 

Seharusnya klaim ideologis yang menjadi penentu arah perjuangan parpol dalam kontestasi politis maupun memengaruhi kebijakan publik dapat menjadi perekat bagi dinamika parpol maupun anggota-anggotanya. Namun, sistem politik yang dikonstruksi atas nama liberalisasi politik yang diperparah dengan lemahnya moralitas/mentalitas para elite politik yang gagap dalam merespons kuasa yang diperoleh melalui kursi demokrasi perwakilan telah mereduksi secara sistematis nilai-nilai ideologis yang diklaim sebagai karakteristik masing-masing parpol. 

Pada level yang kronis dari kerusakan sistem politik di era liberalisasi politik, deideologisasi parpol tanpa disadari telah terjadi secara masif. Parpol telah menjelma sekadar sebagai mesin politik dan kendaraan kepentingan yang bisa disewa untuk mengorbitkan calon legislatif yang tak jarang hanya merupakan tokoh karbitan atau cangkokan dan tak sungguhsungguh memahami apa yang selama ini diklaim sebagai ”ideologi” parpol. 

Pada titik inilah kritik ideologis Marx mendapat ruang untuk ditampilkan. Marx setelah melihat keterasingan manusia akibat dinamika sosial politik yang kapitalistik meyakini bahwa ideologi sejatinya tak lebih dari sebuah ”kesadaran palsu”. Artinya, ideologi dalam pemahaman Marx terbentuk karena kesadaran manusia tak mampu menangkap realitas secara benar. Pemalsuan itu terjadi pada tataran masyarakat bukan pada tataran individu sebagai akibat adanya pengaruh sosial yang menyebabkan manusia memperoleh informasi/ pemahaman yang salah mengenai realitas. 

Ideologi dalam situasi tersebut, menurut Marx, telah mencekoki manusia dengan kesadaran palsu karena manusia hanya mampu menangkap topeng realitas, bukan realitas yang sesungguhnya. Fenomena maraknya korupsi politik yang terjadi melibatkan nyaris hampir semua parpol dan rendahnya kapasitas pengaderan ideologis di tubuh parpol niscaya bisa membenarkan tesis Marx. 

Proses pendaftaran caleg yang banyak diwarnai tokoh-tokoh dari luar parpol tanpa melewati proses panjang pengaderan dalam sistem masing-masing parpol pada gilirannya akan semakin memperparah proses deideologisasi parpol. Parpol tak mampu lagi memiliki pengaruh signifikan terhadap sistem politik maupun lembaga-lembaga politik karena parpol telah kehilangan kontrol secara institusionalideologis terhadap para elite politik maupun politisi yang duduk di parlemen. 

Padahal, secara formal undang-undang yang mengatur parpol telah memberikan ruang bagi persemaian ideologi parpol sebagai ruh bagi bekerjanya sistem politik setiap parpol. Pada saat ini diperlukan langkah-langkah untuk melakukan revitalisasi basis ideologi perjuangan parpol karena bagaimanapun parpol merupakan salah satu pilar demokrasi sipil untuk mempertahankan eksistensi sistem demokrasi konstitusional dan pemerintahan terbatas (limitedgovernment). 

Guna merevitalisasi ideologi parpol sangat penting untuk memperhatikan tesis George Lukacs (1885-1971) yang masih meyakini bahwa ideologi juga memiliki makna positif. Ideologi memiliki pengaruh positif jika kandungannya bersifat positif dan memberikan pengaruh yang baik. Benak manusia memiliki kemampuan untuk secara aktif dan kreatif membentuk suatu pemahaman. Pikiran harus mampu membimbing pemaham manusia terhadap realitas. 

Lukacs meminjam pandangan Hegel mengenai pentingnya rasio dalam menggerakkan pemahaman manusia untuk menangkap realitas. Mengacu pada pemahaman tersebut, parpol harus mampu merekonstruksi sistem pengaderan internal secara rasional dengan parameterparameter kualitas mengacu pada basis ideologis masing-masing parpol. 

Hal ini diperlukan untuk menggerakkan kemampuan aktif dan kreatif masing-masing kader parpol dalam menginternalisasikan makna ideologis parpol dalam langkah-langkah konkret guna memperjuangkan visi dan misi partai yang bermuara pada memperjuangkan kepentingan rakyat/konstituen dan menjaga tegaknya sistem demokrasi. Tidak ada langkah terlambat untuk kembali pada pemahaman sejati mengenai makna ideologis yang diyakini oleh masing-masing parpol dan aktualisasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar