Regulasi
Memihak Petani Tembakau
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
|
SUARA
MERDEKA, 18 September 2012
"Ada baiknya pemerintah memberi asuransi, bantuan dana ataupun
kredit lunak guna membantu petani tembakau"
KEMEROSOTAN tajam harga tembakau
menyebabkan petani komoditas itu menghadapi kesulitan dengan hasil
produksinya. Salah satu penyebab adalah ketakutan industri rokok terkait dengan
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tembakau. Rancangan regulasi itu
memang banyak mengatur tentang tata niaga, standardisasi produk, iklan, dan
pengenaan cukai yang tinggi (SM, 10/09/12).
Draf peraturan itu juga mengundang
kontroversi apakah murni bertujuan melindungi kesehatan masyarakat (termasuk
perokok pasif) atau ada kepentingan pihak asing. Tinjauan dari aspek kesehatan
hanya mendasarkan pada pandangan bahwa merokok membahayakan kesehatan. Saat ini
lebih dari 57% pria dan 5% wanita dewasa di Indonesia menjadi perokok aktif.
Angka itu belum terhitung perokok pasif, yang juga menerima dampak negatif.
Peningkatan jumlah perokok
berarti perlu lebih besar biaya penyembuhan penyakit akibat merokok. Keadaan
ini menjadi timpang bila kita hanya melihat pemasukan dari cukai rokok sekitar
Rp 77 triliun (2011), sementara prediksi biaya penyembuhan penyakit akibat
merokok Rp 186 triliun. Fakta itu bertentangan dengan pandangan yang menyebut
bahwa industri rokok menguntungkan secara nasional karena banyak menyumbang
pendapatan negara.
Sekiranya ada motif kepentingan
asing dalam bisnis tembakau, pandangan itu bisa ditebak karena berkaitan dengan
bisnis besar komoditas itu. Salamuddin Daeng dalam buku Kriminalisasi Berujung Monopoli (2011) menyatakan secara
keseluruhan pasar tembakau global 378 miliar dolar AS, dan tahun 2007 tumbuh
4,6%. Tahun 2012 nilai pasar global diproyeksikan meningkat 23%, mencapai 464
miliar dolar AS. Jika seluruh industri besar tembakau digabungkan dan
diibaratkan sebuah negara maka posisinya menduduki peringkat dunia ke-23 dalam
hal produk domestik bruto (PDB), melebihi PDB Norwegia dan Arab Saudi.
Indonesia merupakan salah satu
dari 10 negara penghasil besar tembakau di dunia. Produksi negara kita 2,2%
dari total produksi tembakau global. Indonesia berada di urutan ke-7, di bawah
AS, Uni Eropa, China, India, dan Brasil. Perekonomian tiga negara terakhir yang
penulis sebut saat ini sedang menggeliat.
Perusahaan asing terkemuka
seperti British American Tobacco dan Philip Morris adalah pelaku utama
kegiatan penanaman modal di sektor tembakau dan rokok di Indonesia. Mereka
mengakuisisi PT Bentoel dan Sampoerna. Selain itu ada perusahaan lokal yang
cukup kuat seperti PT Djarum dan Gudang Garam.
Kalau kita menyimak buku Wanda
Hamilton, Nicotine War (2010) memang
ada fakta menarik di balik seluruh agenda perang global terhadap
tembakau. Salah satunya adalah kepentingan industri farmasi yang berusaha
menikmati porsi pasar nikotin dunia yang selama ini hanya dinikmati industri
rokok.
Hamilton berpendapat bahwa gerakan filantropis (kampanye
antitembakau) dan karakter ekspansi kapitalisme global, tidak berdiri sendiri
tapi bergerak menuju ke muara yang sama, yaitu kepentingan pemodal dunia. Pembenaran ini tampak dalam ratifikasi Konvensi Pembatasan
terhadap Pengendalian Tembakau (FCTC) yang diprakarsai oleh WHO dan terbukti
dibiayai oleh perusahaan farmasi multinasional.
Kepentingan Rakyat
Di balik penurunan harga tembakau
sekarang ini karena perusahaan rokok masih menunggu RPP tentang Tembakau,
pemerintah tetap harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak yang terkait
dengan sektor itu, baik petani tembakau, buruh pabrik rokok maupun pedagang.
Langkah itu berkait dengan kepentingan nasional mengingat masih tingginya angka
pengangguran dan kemiskinan.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Nurtantio Wisnu Brata
(2012) berpendapat bahwa tujuan RPP tentang Tembakau seolah-olah mulia
tetapi sebenarnya bisa membunuh kelangsungan hidup industri tembakau dari hulu
ke hilir. Menurut APTI, banyak pasal dalam
rancangan itu yang justru mematikan industri tembakau. Dia mencontohkan
substansi Pasal 10-12 yang mengatur standardisasi produk. Pasal ini justru
menjadi pintu masuk tembakau dan rokok impor di Indonesia.
Regulasi lain yang menyangkut
petani tembakau adalah Pasal 58 (Penjelasan). Ayat 1 pasal itu menyebutkan
bahwa pemerintah, kementerian terkait, dan pemda didorong melakukan
diversifikasi produk tanaman. Namun Ayat 2 pasal yang sama menyebutkan bahwa
produk tembakau digunakan untuk bahan pestisida dan sebagainya. Artinya,
tembakau tak lagi digunakan untuk bahan rokok.
Belum lagi bila dikaitkan dengan
persyaratan kerendahan kandungan nikotin maka banyak petani tembakau Indonesia
yang tak bisa memenuhi persyaratan itu, dan hanya bisa dipenuhi oleh tembakau
asing. Karena itu, pemerintah harus tetap memberikan perlindungan kepada petani
tembakau. Terlebih hingga saat ini berbagai negara maju di dunia masih
memberikan subsidi untuk petani di negara mereka guna meningkatkan produksi
tembakau (Daeng, 2011).
Sambil menunggu keputusan RPP
Tembakau yang kita harapkan lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat
banyak, ada baiknya pemerintah memberikan asuransi, bantuan dana ataupun kredit
lunak guna membantu petani tembakau yang kini berada dalam keputusasaan yang
tinggi. Bila pemerintah lebih memihak rakyat banyak, barulah kita bisa
menyatakan bahwa pemerintahan berjalan secara amanah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar