Kamis, 27 September 2012

Efektivitas Publikasi dan Pemasaran ala Jokowi-Ahok


Efektivitas Publikasi dan Pemasaran ala Jokowi-Ahok
Safrita Ayu Hermawan ; Penulis dan Praktisi PR, Jakarta
SINDO, 26 September 2012


Semendaratnya di Jakarta dalam rangka memboyong keluarga pindah, setelah “mengambil” mayoritas suara pemilih dalam Pilkada DKI, Jokowi segera menyapa kerumunan sopir taksi di Bandara Soekarno-Hatta. Ia menemui teman-temannya, para sopir taksi tersebut. Bahasa yang digunakan sederhana: menempatkan para supir taksi itu sebagai teman. Para supir taksi pun, sebagai pihak yang ditengarai sering dibuat kesal oleh kondisi lalu lintas Jakarta, tentu akan menjadi teman baik bagi Jokowi yang menjanjikan akan mengurai macet Jakarta apabila ia terpilih sebagai gubernur. Jokowi cenderung dekat dengan berbagai kalangan di level menengah bawah.

Dalam salah satu suasana kampanye yang ditayangkan televisi,tampak Jokowi tak canggung menyapa rakyat jelata. Ia luwes masuk keluar gang sempit dan kumuh. Dia juga makan dengan santai di salah satu warteg yang dijumpainya. Dengan cara demikian Jokowi, yang berpasangan dengan Ahok,secara psikologis sudah menang merebut hati kaum bawah.Selanjutnya para kaum bawah ini yang lalu bertindak sebagai juru kampanye secara tidak langsung,terlepas dari juru kampanye resmi yang dibentuk oleh tim suksesnya.

Pola Klasik 

Merujuk pada definisi klasik, aksi public relations (PR) dianggap sukses bekerja dengan baik apabila atas objek yang dipublikasikan tersebut si objek tidak perlu melakukan aksi sendiri. Sebagai gantinya, pihak lainlah yang akan bekerja dengan memublikasikan kelebihan si objek. Dalam kasus Jokowi, definisi ini terbukti mumpuni. Bila iseng menengok Youtube, semua aksi mendukung Jokowi-Ahok mudah dijumpai. Muncul pula dalam beragam versi.

Dari versi serius ala talkshow hingga gubahan aneka lagu populer berbagai versi, dalam dan luar negeri, yang diadopsi dan diubah liriknya menjadi lagu dukungan bagi Jokowi-Ahok. Gangnam Style, tarian kuda dari Korea yang sedang in juga tampil di Youtube dengan kemeja kotak-kotak. Jahilnya lagi, lagu Warteg Boys, Okelah Kalau Begitu, yang sejak awal diubah liriknya untuk mendukung Foke-Nara, dibuatkan cover versionnya oleh pihak lain untuk mendukung Jokowi-Ahok.

Demam, euforia, atau memang dukungan sesungguhnya, sedemikian kentalnya, tidak dapat lagi dielakkan .Masyarakat marginal, kaum urban, kaum muda, menjadi tenaga PR sukarela bagi Jokowi-Ahok. Militansi yang terbentuk bermuara pada satu semangat, Jokowi-Ahok harus menang dengan kesadaran bahwa merekalah yang akan menjadi roda gulir menuju kemenangan tersebut.

Prinsip Marketing 

Selain melakukan aksi PR, kubu Jokowi-Ahok juga menerapkan dengan baik prinsip marketing. Baik marketing klasik maupun multi level marketing. Kubu ini pun tidak berkeberatan bila tenaga marketing-nya melepaskan diri dari kelompok karena tidak teruji. Uji petik kelompok marketing kubu ini adalah melalui statement sejak awal bahwa tidak akan ada honor atau pamrih bagi mereka. Bagi tenaga marketing dengan harapan tinggi pada upah, sudah tentu hal ini sangat tidak menarik.

Sebaliknya bagi tenaga marketing yang memang terobsesi pada upaya “memasarkan” produk secara baik dan tepat sasaran, tugas yang dibebankan kepada mereka adalah tantangan luar biasa menarik. Adrenalin pun tertantang naik. Materi yang mereka jajakan pun cukup menggiurkan. Segudang prestasi Jokowi-Ahok layak jual dan seksi diperbincangkan dalam setiap kesempatan berjualan.

Perpaduan antara tenaga marketing yang terseleksi oleh alam dan materi yang layak jual inilah yang kemudian mengantarkan “dagangan” diserap pasar dengan baik. Masih bisa dijumpai satu hal lagi yang memudahkan Jokowi-Ahok dipasarkan. Yakni simbol yang diambil melalui kemeja kotak-kotak merah hitam. Warna kuat, model simpel dan merespons keseharian serta kekinian, dengan mudah diterima pasar.

Kemeja yang mereka kenakan tidak memberikan gambaran keberpihakan terhadap satu golongan atau satu kelompok secara spesifik. Kemeja ini juga menjadi “merchandise” yang dijual para relawan untuk mencari dana atau membiayai langkah mereka. Dan ajaibnya, laku! Kemeja kotak-kotak dengan lengan digulung selain memberikan kesan trendi secara simbolis berbicara lebih jauh tentang makna kerja keras.

Coba sedikit kita ingat bagaimana kemeja kotak-kotak ini pada sekitar beberapa abad lalu di tanah Amerika Utara identik dengan kostum para koboi. Para koboi sendiri adalah kelas pekerja keras. Secara tidak langsung kemeja kotak-kotak menyiratkan kesiapan Jokowi-Ahok untuk bekerja keras. Pasangan lain ada juga yang mengambil simbol pakaian sebagai “seragam” mereka. Hanya saja kostum yang diambil cenderung beraroma priyayi. Bukan berarti priyayi tak siap bekerja keras, hanya saja mind set dan keberpihakan masyarakat tentang pekerja keras adalah pada kelompok yang berpeluh dan berdebu.

Kekuatan Komunikasi 

Sudah beberapa kali media sosial yang sekitar satu dekade ini menyeruak ke permukaan sebagai wacana gaul generasi digital membuktikan keandalannya. Mediasosialinimemaksa generasi non-digital untuk juga melakukan migrasi kemari. Hasilnya adalah efektivitas komunikasi digital kelas tinggi. Batas wilayah, bahkan batas negara, menjadi kabur. Hilang sama sekali. Efeknya banyak hal bisa dilakukan dengan kerja ujung jari di atas keyboard komputer.

Kisah spektakuler kekuatan dunia digital ini di Indonesia diawali oleh kasus Prita dengan RS Omni. Di Mesir, kejatuhan Presiden Hosni Mubarak juga karena kekuatan media sosial di dunia digital. Dan dalam versi terkini, ya kita lihat sendiri pada kemenangan Jokowi-Ahok. Belum ada pernyataan resmi, akan tetapi peran Twitter di kalangan generasi muda berhasil menjadi corong komunikasi kelompok ini. Sebagaimana diketahui Twitter amat efektif bekerja sebagai media komunikasi dan ekspresi kaum muda.

Telaah sederhana dari sisi komunikasi dan pemasaran ini menemukan dengan jelas sinergi kekuatan komunikasi, pemasaran dan media yang dipilih. Pilihan yang diambil mengantarkan Jokowi-Ahok ke kemenangan. Euforia kini masih tersisa. Akan tetapi pekerja keras hendaknya tidak berlama-lama larut di dalamnya. Jakarta itu kompleks. Solusinya pun multisektoral dengan beragam faktor yang harus dipertimbangkan. Pastikan kekuatan komunikasi itu terus bekerja, bergulir demi kesejahteraan semua kalangan, terutama rakyat yang termarginalkan.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar