Krisis KPK,
Bayangan Negara Gagal
Joko Wahyono ; Peneliti
pada Center for Indonesian Political Studies
(CIPS)
Jogjakarta
|
JAWA
POS, 27 September 2012
TAK henti-hentinya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) disudutkan pada krisis. Beberapa pekan lalu Polri
menarik 20 penyidiknya yang ditugaskan di KPK. Ini merupakan salah satu
penarikan penyidik terbesar sepanjang sejarah sejak lembaga antikorupsi
tersebut berdiri.
Seperti ramai diberitakan, penarikan penyidik Polri berkaitan dengan masa tugasnya di KPK yang telah berakhir. Namun, alasan yang dikemukakan pihak Polri adalah paradoks terhadap semangat pemberantasan korupsi. Di tengah medan peperangan melawan korupsi yang membutuhkan energi extra ordinary, sumber daya manusia (penyidik) justru dikurangi. Wajar jika fakta paradoksal ini memunculkan beragam analisis publik.
Penarikan sejumlah penyidik Polri ini sarat dengan nuansa politis. Tak ada yang menyangkal bahwa upaya recall tersebut adalah buntut silang sengketa penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri beberapa bulan lalu.
Pasalnya, salah satu perwira Polri diketahui menjadi penyidik kasus yang menyeret mantan Kepala Korlantas Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka. Mencermati beban kerja KPK yang kian berat (overburden), penarikan penyidik oleh Polri jelas menjadi bukti otentik bahwa ada upaya-upaya pelemahan kinerja KPK.
Kini manuver pengkrisisan KPK datang dari Komisi III DPR. Mereka berencana merevisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Meski suara anggota komisi III masih terbelah dalam pro dan kontra, draf usul revisi UU KPK telah sampai ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Sejumlah usul ditengarai dapat melemahkan KPK. Misalnya, penyadapan yang diperumit dengan izin ketua pengadilan negeri, penuntutan yang diserahkan kepada kejaksaan agung, dan adanya wewenang KPK mengeluarkan SP3, plus ada dewan pengawas yang ditunjuk DPR. Tampaknya, ada keinginan beramai-ramai untuk mengamputasi kinerja KPK. Selain dari sisi sumber daya melalui penarikan sejumlah penyidik Polri, pemberangusan KPK juga dilakukan dari sisi regulasi oleh DPR.
Tanda Tak Meyakinkan
Beberapa upaya bentuk pelemahan kinerja KPK ini semakin meneguhkan bahwa sikap elite politik tidak konsisten dalam memberantas korupsi. Jihad para penyelenggara negara untuk memutus spiral-spiral korupsi di negeri ini minus komitmen. Tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan (convincing sign) adanya penguatan keberadaan KPK. Mereka tidak punya inisiasi serius untuk menguatkan komitmen formal dalam memerangi korupsi melalui KPK. Sebaliknya, jarak antara komitmen formal dan pilihan tindakan kekuasaan dalam menangani akutnya korupsi semakin menganga.
Komitmen formal melalui injeksi sumber daya yang kredibel dan penguatan kewenangan serta kelembagaan KPK melalui regulasi absen. Lalu bagaimana komitmen aksi mereka untuk memastikan bahwa orkestra pemberantasan korupsi benar-benar berjalan konkret? Kewenangan KPK mestinya diperluas, anggaran didukung, dan mekanisme operasional pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut diefektifkan melalui pembentukan perwakilan KPK di daerah-daerah. Yang terjadi, para penyelenggara negara (Polri dan DPR) justru lebih mengedepankan ego sektoral masing-masing. Dalam hal ini tidak ada alasan rasional yang bisa diterima.
Penarikan penyidik Polri dan revisi UU KPK saat ini tidak kondusif di tengah korupsi yang semakin marak dan keadilan yang tak kunjung tegak. Publik bisa membandingkannya dengan lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong. Jumlah seluruh pegawai Independent Commission Against Corruption of Hongkong (ICAC) 5.000 orang dengan penyidik hampir 3.000 orang. Padahal, ukuran Hongkong sangat kecil.
Sementara KPK di negeri berpenduduk 230 juta ini hanya memiliki penyidik tak kurang dari 100 orang. Ini bisa menjadi tolok ukur bagi keberadaan KPK untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Meski bersifat ad hoc dan emergency, kontribusi KPK dalam memberantas korupsi telah menyentuh wilayah birokrasi yang selama ini tak tersentuh, seperti partai politik, lembaga eksekutif, yudikatif, hingga lembaga legislatif atau DPR itu sendiri.
Tinggallah Ilusi
KPK boleh dikatakan adalah satu-satunya lembaga yang masih tepercaya dalam hal pemberantasan korupsi. Namun, jika sumber daya manusia didefisitkan dan beberapa kewenangan KPK dipangkas, sudah dapat dipastikan korupsi akan semakin merajalela. Sejarah bangsa tidak akan pernah berjalan menuju masa depan yang gilang gemilang, tetapi tersaruk-saruk di gelimang korupsi tak tersentuh.
Lebih ekstrem lagi, upaya melemahkan institusi para pemburu koruptor ini semakin mengonfirmasi hasil survei lembaga Fund for Peace AS beberapa waktu lalu yang menempatkan Indonesia berada di tubir negara gagal (failed states). Pasalnya, KPK merupakan manifestasi demokrasi dan tuntutan Reformasi 1998. Keberadaan KPK makin penting, karena kepolisian dan kejaksaan belum juga pulih dari impotensi terhadap korupsi. Sementara, menurut Noam Chomsky (2006), salah satu karakter utama negara gagal adalah jika negara sudah tidak memiliki kemauan dan kemampuan menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi demokrasi, seperti KPK.
Demikian pula Michael Johnston (2005) telah mengingatkan bahwa korupsi melemahkan negara karena menggerogoti institusi sosial politik yang notabene menjadi tiang negara. Karena itu, pengkrisisan KPK akan menjadi sumber petaka yang melanggengkan praktik-praktik korupsi.
Adanya gejala pengkrisisan melalui sumber daya manusia dan revisi UU KPK untuk memereteli kewenangan KPK, maka semangat pemerintahan SBY yang getol menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi bisa tinggal ilusi. ●
Seperti ramai diberitakan, penarikan penyidik Polri berkaitan dengan masa tugasnya di KPK yang telah berakhir. Namun, alasan yang dikemukakan pihak Polri adalah paradoks terhadap semangat pemberantasan korupsi. Di tengah medan peperangan melawan korupsi yang membutuhkan energi extra ordinary, sumber daya manusia (penyidik) justru dikurangi. Wajar jika fakta paradoksal ini memunculkan beragam analisis publik.
Penarikan sejumlah penyidik Polri ini sarat dengan nuansa politis. Tak ada yang menyangkal bahwa upaya recall tersebut adalah buntut silang sengketa penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri beberapa bulan lalu.
Pasalnya, salah satu perwira Polri diketahui menjadi penyidik kasus yang menyeret mantan Kepala Korlantas Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka. Mencermati beban kerja KPK yang kian berat (overburden), penarikan penyidik oleh Polri jelas menjadi bukti otentik bahwa ada upaya-upaya pelemahan kinerja KPK.
Kini manuver pengkrisisan KPK datang dari Komisi III DPR. Mereka berencana merevisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Meski suara anggota komisi III masih terbelah dalam pro dan kontra, draf usul revisi UU KPK telah sampai ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Sejumlah usul ditengarai dapat melemahkan KPK. Misalnya, penyadapan yang diperumit dengan izin ketua pengadilan negeri, penuntutan yang diserahkan kepada kejaksaan agung, dan adanya wewenang KPK mengeluarkan SP3, plus ada dewan pengawas yang ditunjuk DPR. Tampaknya, ada keinginan beramai-ramai untuk mengamputasi kinerja KPK. Selain dari sisi sumber daya melalui penarikan sejumlah penyidik Polri, pemberangusan KPK juga dilakukan dari sisi regulasi oleh DPR.
Tanda Tak Meyakinkan
Beberapa upaya bentuk pelemahan kinerja KPK ini semakin meneguhkan bahwa sikap elite politik tidak konsisten dalam memberantas korupsi. Jihad para penyelenggara negara untuk memutus spiral-spiral korupsi di negeri ini minus komitmen. Tidak terlihat tanda-tanda meyakinkan (convincing sign) adanya penguatan keberadaan KPK. Mereka tidak punya inisiasi serius untuk menguatkan komitmen formal dalam memerangi korupsi melalui KPK. Sebaliknya, jarak antara komitmen formal dan pilihan tindakan kekuasaan dalam menangani akutnya korupsi semakin menganga.
Komitmen formal melalui injeksi sumber daya yang kredibel dan penguatan kewenangan serta kelembagaan KPK melalui regulasi absen. Lalu bagaimana komitmen aksi mereka untuk memastikan bahwa orkestra pemberantasan korupsi benar-benar berjalan konkret? Kewenangan KPK mestinya diperluas, anggaran didukung, dan mekanisme operasional pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut diefektifkan melalui pembentukan perwakilan KPK di daerah-daerah. Yang terjadi, para penyelenggara negara (Polri dan DPR) justru lebih mengedepankan ego sektoral masing-masing. Dalam hal ini tidak ada alasan rasional yang bisa diterima.
Penarikan penyidik Polri dan revisi UU KPK saat ini tidak kondusif di tengah korupsi yang semakin marak dan keadilan yang tak kunjung tegak. Publik bisa membandingkannya dengan lembaga pemberantasan korupsi di Hongkong. Jumlah seluruh pegawai Independent Commission Against Corruption of Hongkong (ICAC) 5.000 orang dengan penyidik hampir 3.000 orang. Padahal, ukuran Hongkong sangat kecil.
Sementara KPK di negeri berpenduduk 230 juta ini hanya memiliki penyidik tak kurang dari 100 orang. Ini bisa menjadi tolok ukur bagi keberadaan KPK untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Meski bersifat ad hoc dan emergency, kontribusi KPK dalam memberantas korupsi telah menyentuh wilayah birokrasi yang selama ini tak tersentuh, seperti partai politik, lembaga eksekutif, yudikatif, hingga lembaga legislatif atau DPR itu sendiri.
Tinggallah Ilusi
KPK boleh dikatakan adalah satu-satunya lembaga yang masih tepercaya dalam hal pemberantasan korupsi. Namun, jika sumber daya manusia didefisitkan dan beberapa kewenangan KPK dipangkas, sudah dapat dipastikan korupsi akan semakin merajalela. Sejarah bangsa tidak akan pernah berjalan menuju masa depan yang gilang gemilang, tetapi tersaruk-saruk di gelimang korupsi tak tersentuh.
Lebih ekstrem lagi, upaya melemahkan institusi para pemburu koruptor ini semakin mengonfirmasi hasil survei lembaga Fund for Peace AS beberapa waktu lalu yang menempatkan Indonesia berada di tubir negara gagal (failed states). Pasalnya, KPK merupakan manifestasi demokrasi dan tuntutan Reformasi 1998. Keberadaan KPK makin penting, karena kepolisian dan kejaksaan belum juga pulih dari impotensi terhadap korupsi. Sementara, menurut Noam Chomsky (2006), salah satu karakter utama negara gagal adalah jika negara sudah tidak memiliki kemauan dan kemampuan menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi demokrasi, seperti KPK.
Demikian pula Michael Johnston (2005) telah mengingatkan bahwa korupsi melemahkan negara karena menggerogoti institusi sosial politik yang notabene menjadi tiang negara. Karena itu, pengkrisisan KPK akan menjadi sumber petaka yang melanggengkan praktik-praktik korupsi.
Adanya gejala pengkrisisan melalui sumber daya manusia dan revisi UU KPK untuk memereteli kewenangan KPK, maka semangat pemerintahan SBY yang getol menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi bisa tinggal ilusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar