Selasa, 18 September 2012

Menjerat Sang Advokat


Menjerat Sang Advokat
Imam Subandi ;  Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang
KORAN TEMPO, 18 September 2012


Baru-baru ini ada fenomena menarik mengenai Twitter Denny Indrayana yang menyatakan bahwa advokat pembela koruptor sama dengan koruptor. Para advokat, terutama yang merasa mempunyai rekor banyak membela para tersangka korupsi, seperti O.C. Kaligis, Gani Djemat, dan Hotma Sitompul, tidak terima. Bahkan O.C. Kaligis melaporkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut ke polisi. 
Menyamakan advokat pembela koruptor dengan koruptor memang merupakan sesuatu yang butuh penjelasan. Tapi, untuk sekadar berandai-andai, mungkinkah tersangka koruptor "berkolaborasi" atau bersekongkol dengan pengacara untuk menyelamatkannya dengan segala cara dan berapa pun harganya? Atau, kalau tidak mungkin meloloskan dari jerat hukum, mungkinkah tersangka korupsi berupaya menyelamatkan harta hasil korupsinya? 

Sebab, tindak pidana korupsi sudah pasti selalu diikuti dengan penelusuran aset. Maka, pilihan terakhir dari para koruptor adalah, berapa pun hukuman yang harus dijalani, asalkan harta kekayaannya bisa diselamatkan, mereka akan melakukan upaya apa pun yang memungkinkan untuk menyelamatkan hartanya tersebut. Dan ketika jumlah honorarium jasa advokat itu hanya didasari kesepakatan dan tidak diatur lebih lanjut oleh undang-undang advokat maupun kode etik advokat, kemungkinan uang hasil jarahan koruptor tersebut dititipkan kepada advokat dengan dalih merupakan uang honorarium sangat mungkin terjadi. Toh selama ini tidak ada publik yang tahu, berapa sih sebenarnya honorarium yang diterima advokat hebat. 

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, besarnya jumlah honorarium yang diterima advokat hanyalah ditentukan berdasarkan kesepakatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 undang-undang tersebut, yakni (1) Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya; (2) Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

Yang dimaksud dengan "wajar" dalam penjelasan undang-undang mengenai advokat tersebut memang hanya memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien. Tidak ada penjelasan lain mengenai besarnya. Di sini sebenarnya prinsip kehati-hatian pengacara dituntut dengan maksud agar tidak membebani kliennya dengan menetapkan honorarium melebihi kemampuannya. Diharapkan pula seorang advokat dapat menilai kemampuan kliennya berdasarkan kepatutan. Sebagai ilustrasi, misalnya ada seorang pegawai negeri, dengan gaji yang secara umum bisa ditaksir besarannya, tetapi mampu membayar ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah kepada advokat. Maka, dalam situasi seperti inilah sang advokat patut menduga bahwa uang yang akan dijadikan honorarium untuk membayarnya tersebut merupakan hasil dari korupsi atau kegiatan lain yang tidak sah. Kecuali si advokat patut meyakini sebaliknya. 

Dalam kode etik advokat, berkali-kali kata advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) itu disebutkan. Maka, wajar-wajar pula ketika profesi advokat diharapkan lebih mengedepankan penegakan hukum dan keadilan, memastikan agar proses hukum yang dijalani oleh tersangka adalah benar, dan tetap menghargai hak-hak tersangka ketimbang sekadar memanfaatkan posisi keuangan tersangka yang mampu membayar seberapa pun besar honor yang ditetapkan. 

Kembali ke permasalahan semula, mengapa harus repot-repot menyamakan advokat dengan koruptor? Bukankah masih ada perangkat undang-undang yang dapat memaksa advokat agar menggunakan prinsip kehati-hatiannya dalam berhubungan dengan klien. Khususnya klien tersangka kasus korupsi? Pasal 5 Undang-Undang tentang Pencucian Uang sebenarnya sangat jelas bisa diterapkan karena, dengan ketentuan pasal tersebut, tidak ada satu pun subyek hukum, baik individu, kelompok, maupun termasuk pengacara, yang tidak bisa dijerat dengan pasal pencucian uang apabila memenuhi unsur-unsur tertentu, yakni menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010. Berdasarkan pasal tersebut, advokat tidak bisa berdalih bahwa uang yang diterima dari terpidana korupsi, misalnya, merupakan honorarium dari jasa pendampingannya. 

Dalam upaya pemberantasan korupsi dengan fokus "follow the money", maka upaya pelacakan melalui kegiatan transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilakukan PPATK tidak boleh berhenti ketika transaksi itu mengarah kepada advokat. Sebab, sebagai praktisi hukum, advokat sangat tidak mungkin tidak memahami makna pasal 5 tersebut. Dengan menggunakan pasal 5 itu pula sebenarnya penyidik KPK, termasuk Polri dan juga kejaksaan, dapat menjadikan advokat sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang. Melalui PPATK, penyidik dapat meminta laporan analisis transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan advokat. Sebab, menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, PPATK dalam melaksanakan kewenangannya tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. 

Akhirnya, sekalipun advokat tidak sama dengan koruptor, sebenarnya tidak serta-merta berarti advokat tidak bisa dijadikan tersangka korupsi apabila memenuhi unsur-unsur tertentu. Tetapi mungkin Twitter Denny Indrayana tersebut berniat menggugah kita semua, khususnya penegak hukum, untuk "kreatif" dalam menerapkan pasal-pasal tindak pidana yang memungkinkan untuk "menyemangati" para advokat agar senantiasa menjunjung tinggi kode etik advokat sebagai officium nobile. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar