Jumat, 28 September 2012

Menangkap Ikan di Air Jernih

Menangkap Ikan di Air Jernih
Taufiequrachman Ruki ; Ketua KPK periode 2003-2007
MEDIA INDONESIA, 27 September 2012


APA ada hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Cristiano Ronaldo pemain Real Madrid yang sebelumnya bermain untuk Manchester United? Apakah Ronaldo jadi tersangka kasus korupsi? Jelas tidak, dan tidak ada hubungan sama sekali. Kita menyaksikan betapa digdaya MU pada Liga Primer 2010–2011 sehingga tampil sebagai juara Liga Inggris.

Kehadiran Ronaldo dan pemain profesional lainnya yang berasal dari luar Inggris memotivasi berkembangnya pemain lokal MU seperti Rooney yang kemudian melambungkan Rooney menjadi pemain yang disegani di Liga Inggris dan di dunia. 

Demikian yang kita harapkan dari kehadiran pemain sepak bola profesional dari negara lain di Indonesia, mereka akan meramaikan liga PSSI dan meningkatkan mutu persepakbolaan di Indonesia, walau kenyataannya yang ramai baru pengurus dan boneknya, belum sampai kepada mutu pemain dan ramainya lapangan permainan.

Saya ingin melihat kehadiran Ronaldo dan pemain profesional di bidang olahraga pada perspektif lain, yaitu meningkatnya profesionalisme dan kualitas para pelaku dari sebuah ‘permainan’.

Profesionalisme dan Prestasi
Jika dimisalkan permainan sepak bola, KPK ialah pemain profesional dari negeri antahberantah yang diharapkan mampu meningkatkan peringkat indek persepsi korupsi (IPK) Indonesia dan diharapkan memberi motivasi untuk meningkatnya profesionalisme dan prestasi para pemain dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu Polri, jaksa, dan hakim, sebagai pemain lokal dan pemain lama yang boleh dikatakan berada pada titik nadir dalam kepercayaan publik di Indonesia.

Pemangku kepentingan utama dalam pemberantasan korupsi, yaitu masyarakat Indonesia, jelas menghendaki hadirnya ‘pemain asing’, yaitu KPK, untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi, walau dengan setengah hati, diterima juga oleh pemangku kepentingan lainnya, yaitu pemerintah dan DPR. Namun, penolakan di lapangan atas kehadiran KPK sangat kentara ditampilkan para pemain lokal tadi.

Penolakan itu dirasakan sekali oleh para ‘Ronaldo’, ketika mereka mulai main sepak bola dalam satu tim, jangankan dioperi bola, mereka harus mencari bola sendiri, malah kadang bola yang sudah di kaki pun dirampas kawan satu tim, bahkan kadang-kadang dihadang dengan keras oleh pemain lokal yang satu tim tadi. Penolakan itu terasa sekali ketika KPK jilid pertama sulit sekali mendapatkan tenaga penyidik dan penuntut umum dari Kejaksaan Agung dan tenaga penyidik dari Kepolisian RI.

Komunikasi Meredam Ketersinggungan
Walaupun Polri itu polisi sipil, karakter dasar mereka ada TNI (baca ABRI), dengan kulturnya yang khas, yaitu l'esprit de corps, semangat dan kekompakan korps. Satu saja simbol korps tersinggung maka seluruh korps meradang.

Korps Polri sempat tersinggung ketika Dubes R yang mantan Kapolri ditetapkan sebagai tersangka, tetapi tidak sempat melebar ke mana-mana karena sebelum pelaksanaan penyidikan dan penetapannya sebagai tersangka telah dilakukan komunikasi yang intens antara pimpinan KPK dan Polri sehingga suasana tetap dingin.

Ketersinggungan yang membuat korps Polri meradang juga muncul ketika telepon Kabareskrim Polri disadap KPK dan SD terinformasikan akan ditangkap KPK lewat operasi tertangkap tangan, muncullah kasus `cecak buaya' yang klimaksnya ialah penetapan pimpinan KPK Bibit dan Chandra sebagai tersangka kemudian mereka masuk tahanan. Korps KPK pun meradang, tetapi meradangnya `cecak' mana ada daya melawan `buaya'. Karena itu, massa simpatisan pun ikut meradang. Sebagai pensiunan ‘cecak’ saya pun harus berhadapan dengan korps asal saya untuk mendinginkan suasana. Akhirnya kasus itu pun berakhir dengan tidak jelas karena suasana sudah keburu keruh.

Suasana panas penuh ketersinggungan juga pernah terjadi antara kejaksaan dan KPK ketika jaksa Urip terkena operasi tertangkap tangan oleh KPK. Namun, karena jaksa dan KPK berkultur sipil, suasana sepertinya dingin, padahal seperti api dalam sekam yang tiba-tiba ‘bummmmmm’, meledak, yaitu ketika AA yang pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri, untuk kasus terbunuhnya NZ. Atas tuntutan hukuman maksimal untuk AA, sulit dihindari tuduhan bahwa hal itu tidak ada hubungan dengan ketersinggungan korps kejaksaan atas kasus jaksa Urip.

Pada kasus penggeledahan markas Korps Lalu Lintas Polri oleh KPK, dengan 1.001 dalih dan argumen yang sah dan legal seperti apa pun tidak akan mampu membuat suasana dingin. Apalagi yang digeledah secara terbuka ialah sebuah markas korps. Suasana panas terus merebak dan bersinggungan pada penarikan penyidik Polri dari KPK yang walaupun disebutkan sesuai dengan aturan dan keputusan yang sah, tetap saja tidak bisa dihindari pendapat bahwa keputusan itu dilatarbelakangi ketersinggungan tadi.

Jaga Profesionalisme
Penanganan kasus apa pun tidak akan menimbulkan masalah dan hiruk pikuk serta suasana panas yang memboroskan energi kalau semua pihak, baik Polri, kejaksaan, maupun KPK, dalam hal ini pimpinan, mampu membangun komunikasi yang intens tanpa adanya apriori, skeptisisme, stigma, arogansi, sok kuasa, dan merasa paling benar dan paling berwenang. Sesekali belajarlah dari karuhun orang Sunda yang mengatakan, “Caina herang, laukna beunang,” yang artinya ikannya kena, airnya tetap jernih. Itulah yang saya maksudkan ‘menangkap ikan di air jernih’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar