Penyakit
Sosial Bernama Haji Ulang
Ali Mustafa Yaqub ; Imam
Besar Masjid Istiqlal
|
KOMPAS,
28 September 2012
Seorang kawan bercerita kepada kami bahwa
masyarakat di daerahnya punya anggapan unik. Apabila ada seorang lelaki yang
sudah berhaji dua kali, ia akan mudah mendapatkan istri yang kedua.
Anggapan ini berasal dari persepsi masyarakat
setempat bahwa orang yang sudah berhaji ulang itu adalah orang yang baik
ibadahnya dan baik pula kantongnya. Maka, dari persepsi itu, status sosial
seorang yang sudah berhaji ulang jadi semakin tinggi. Oleh karena itu, di
lingkungan masyarakat ia jadi rebutan para wanita yang siap jadi istri kedua.
Apabila persepsi seperti itu benar menurut
ajaran agama, Nabi Muhammad SAW bukanlah orang yang baik. Karena selama
hidupnya, beliau hanya berhaji satu kali. Padahal, beliau punya kesempatan tiga
kali untuk berhaji. Beliau juga punya kesempatan berumrah sunah ratusan, bahkan
ribuan kali, tetapi beliau hanya berumrah sunah dua kali. Bandingkan dengan
kita, masyarakat Muslim di Indonesia, yang rata-rata ingin berhaji setiap tahun
dan berumrah setiap bulan.
Mengapa Nabi Muhammad SAW berhaji hanya
sekali dan berumrah sunah hanya dua kali? Apakah beliau tak punya uang? Apabila
beliau tak punya uang, bukankah beliau tinggal berkata saja kepada sejumlah
sahabat yang kaya raya, seperti Abdurahman bin Auf dan Abu Ayyub al-Anshari.
Tentu kedua sahabat akan segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan Nabi.
Namun, Nabi tak pernah meminta-minta untuk kepentingan pribadi beliau seperti
itu.
Setelah Nabi menetap di Madinah,
sekurang-kurangnya terjadi tiga hal penting. Pertama, Nabi menghadapi
orang-orang yang memusuhi dan memerangi beliau, maka Nabi menginfakkan hartanya
untuk kepentingan jihad fisabilillah melawan orang- orang itu. Kedua, akibat
perang atau jihad fisabilillah gugurlah para syuhada yang kemudian menimbulkan
janda-janda dan anak-anak yatim. Maka, harta Nabi diinfakkan untuk menyantuni
para janda, orang-orang miskin, dan anak-anak yatim.
Ketiga, banyaknya pelajar yang menuntut ilmu
dari Nabi Muhammad SAW sementara mereka tidak punya apa-apa di Madinah, baik
harta maupun keluarga. Mereka tinggal di satu ruangan di Masjid Nabawi yang
disebut al-Shuffah. Sementara untuk keperluan makan, Nabi menganjurkan kepada
para sahabat untuk menjamin pemberian makan kepada mereka. Nabi sendiri setiap
hari memberikan makan kepada 70 pelajar Shuffah.
Keutamaan Ibadah Sosial
Seandainya berhaji ulang itu lebih utama
daripada menyantuni janda-janda, orang miskin, anak-anak yatim, dan para
pelajar yang tidak mampu, maka Nabi tentu sudah melakukan haji ulang dan atau
umrah berkali-kali. Namun, Nabi tak melakukannya. Nabi justru menegaskan bahwa
penyantun anak yatim akan tinggal di surga bersama Nabi dan tidak terpisahkan,
ibarat jari tengah dan telunjuk.
Nabi juga menegaskan, orang yang menyantuni
para janda dan orang-orang miskin tak ubahnya seperti orang berjihad fisabilillah. Sementara ibadah haji,
apabila memenuhi syarat-syarat sehingga dapat disebut haji mabrur, Nabi hanya
menjanjikan surga saja kepada pelakunya, tanpa menyebutkan bersama beliau.
Dari sini dapat dipahami bahwa menyantuni
anak-anak yatim, para janda, orang-orang miskin, dan para pelajar yang tak
mampu jauh lebih unggul nilai pahalanya daripada berhaji ulang. Dengan kata
lain, ibadah sosial jauh lebih utama daripada ibadah individual. Begitulah
kaidah hukum Islam menyebutkan. Bagaimanapun, Nabi tak pernah mencontohkan
untuk berhaji ulang atau berulang-ulang berumrah.
Ketika keadaan masyarakat kita sedang sangat
terpuruk, potret kemiskinan di mana-mana. Para pakar ekonomi mengatakan, sampai
akhir 2011, di Indonesia masih terdapat 117 juta orang miskin. Tempat ibadah
banyak yang terbengkalai. Apabila keadaan negeri kita masih seperti itu,
pantaskah lalu kita berkali-kali berhaji dan berumrah? Ayat Al Quran mana yang
menyuruh kita melakukan itu? Hadis manakah yang menganjurkan kita untuk berbuat
seperti itu?
Inilah penyakit sosial yang menimpa
masyarakat kita dan perlu segera diobati. Obatnya adalah mengikuti perilaku
Nabi dalam beribadah, yaitu berhaji cukup sekali dan berinfak ribuan kali.
Pertanyaan berikutnya, maukah kita mengobati diri kita dari penyakit sosial
yang menimpa kita itu? Atau kita justru ingin memperparah penyakit yang sedang
kita derita itu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar