Inovasi di
Tengah Keterbatasan
Ririn Handayani ; Mahasiswa Pascasarjana
Ekonomi Islam, UII Yogyakarta |
SUARA
KARYA, 25 September 2012
Pertahanan dan keamanan di laut, kini menjadi
salah satu prioritas. Ini karena laut telah menjadi salah satu sumber Trans National Organized Crime (TNOC)
yang utama. Banyak kejahatan dan tindak pelanggaran di laut berkembang menjadi
kriminal lintas negara yang terorganisir dan melibatkan para pemilik modal besar.
Pencemaran laut, kini juga menjadi isu yang dominan baik di kawasan regional
maupun internasional.
Kawasan Asia Pasifik tercatat sebagai kawasan
dengan tingkat pelanggaran cukup tinggi. Sejumlah isu utama yang menonjol,
antara lain pembajakan dan perdagangan manusia, terorisme dan penyelundupan
terutama senjata.
Di kawasan Asia Tenggara, penyelundupan senjata
diperkirakan mencapai ribuan pucuk per tahun, sekitar 80 persennya dilakukan
melalui laut. Meski sebagian besar TNOC ini tergolong kejahatan dan pelanggaran
non-militer namun dampak dan kerugian yang ditimbulkan sangat signifikan. Tidak
hanya secara ekonomi, sosial, dan ekologi, berbagai praktik TNOC tersebut juga
bisa melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa.
Berada di antara dua samudera dan dua benua,
membuat posisi Indonesia sangat strategis sebagai urat nadi pelayaran niaga
internasional. Dari segi potensi, Indonesia adalah salah satu negara yang
termasuk dalam Coral Triangle, yakni negara dengan potensi maritim terbesar di
dunia. Potensi maritim Indonesia diperkirakan mencapai Rp 7 ribu triliun per
tahun.
Sedikitnya ada 11 sektor ekonomi kelautan yang
dimiliki Indonesia. Yakni, perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri
pengelolaan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan
energi, pariwisata bahari, hutan mangrove, perhubungan laut, sumber daya
pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta sumber daya alam (SDA)
non-konvensional. Secara keseluruhan, potensi nilai total ekonomi kesebelas
sektor kelautan tersebut diperkirakan mencapai 500 miliar dolar AS (sekitar Rp
4.500 triliiun) per tahun. (Slamet
Soebiyanto, 2007)
Posisi yang strategis dan potensi ekonomi
maritim yang luar biasa seharusnya menjadi modal besar bagi Indonesia untuk
memajukan dan mensejahterakan masyarakat. Sayang, diperkirakan baru sekitar 10
persen dari berbagai potensi maratim Indonesia yang mampu dirambah. Ini pun
baru dalam tataran pengeksploitasian SDA laut. Pemberdayaan potensi maritim
untuk kesejahteraan kian terhambat oleh berbagai TNOC yang kian marak terjadi
di laut Indonesia. Dampak dan kerugian yang ditimbulkan pun sangat besar.
Untuk illegal
fishing saja, potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 80 triliun.
Kerugian tersebut terdiri dari potensi ikan yang hilang mencapai Rp 30 triliun
dan kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun
setiap tahun. Diperkirakan sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara
ilegal setiap tahunnya di perairan Indonesia, terutama di perairan Natuna,
Sulut dan Arafuru.
Sementara, penyelundupan kayu diperkirakan
merugikan negara sebesar Rp 6,6 triliun per tahun. Belum lagi, pencemaran laut
yang diperkirakan mencapai jarak sepanjang 167.000 km. Berbagai kerugian ini
akan terus bertambah jika paradigma kita terhadap keamanan di laut tidak juga
berubah dan tidak diikuti oleh sejumlah langkah konkrit untuk
mengantisipasinya. Pertahanan dan keamanan laut yang kokoh kini menjadi salah
satu kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi.
Bagi Indonesia, terdapat sejumlah masalah dan
kendala dalam mengantisipasi ancaman TNOC. Salah satunya adalah masalah
anggaran. Anggaran pertahanan keamanan Indonesia relatif kecil, yakni baru
sekitar lima persen dari APBN. Meski terjadi penambahan anggaran pertahanan
dari Rp 64 triliun menjadi Rp 77 triliun pada tahun 2013, namun jumlah ini
sebenarnya masih jauh dari ideal dan kalah jauh dari negara lain. Singapura,
misalnya.
Meski hanya berpenduduk sekitar 4 juta orang,
anggaran militer Singapura merupakan yang terbesar di antara negara-negara anggota
ASEAN. Bahkan, sejak 1970, Singapura telah mengalokasikan rata-rata 6 persen
dari PDB-nya untuk pengeluaran pertahanan. Tak heran, jika teknologi militer
Singapura paling maju di ASEAN.
Pada dekade 1960-an, anggaran pertahanan
Indonesia sebenarnya pernah mencapai 29 persen dari PDB. Namun, jumlah ini
terus menyusut sehingga kadangkala perlengkapan armada dan personil laut kita
kalah canggih dengan perlengkapan nelayan kapal asing yang melakukan
penjarahan.
Minimnya anggaran berdampak krusial pada banyak
aspek. Secara politis, posisi tawar Indonesia menjadi rendah di mata
internasional sehingga memberi peluang bagi negara lain untuk memprovokasi
bahkan mengganggu kedaulatan NKRI. Minimnya anggaran juga berdampak pada
lemahnya pengawasan daerah perairan sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang
sangat besar. Selain masalah anggaran, keterbatasan teknologi dan SDM juga
menjadi masalah serius.
Berbagai keterbatasan di atas tidak boleh
menyurutkan langkah kita untuk terus mengupayakan pengamanan wilayah laut agar
tetap optimal. Berbagai inovasi harus dilakukan. Seperti yang dilakukan oleh
TNI Angkatan Laut (AL) dan sejumlah pihak terkait, melalui pembangunan kapal
perang antiradar KRI Klewang-625 yang baru saja diluncurkan, beberapa waktu
lalu.
Pembangunan kapal perang canggih di dalam negeri oleh putra-putri
Indonesia sendiri diharapkan tidak hanya bisa menyiasati keterbatasan anggaran,
memunculkan kecintaan, rasa memiliki dan tanggung jawab namun sekaligus mampu
meningkatkan keamanan laut Indonesia dari berbagai ancaman TNOC. Perjuangan
masih panjang namun ini bisa menjadi momentum yang bagus untuk membangun
kekuatan pertahanan dan keamanan laut Indonesia yang handal. Sebuah fondasi
bagi terwujudnya negara maritim yang kita cita-citakan bersama. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar