Kelembagaan
Pangan
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
KOMPAS,
27 September 2012
Mengapa pangan di negeri ini selalu dirundung
masalah? Seperti penyakit laten, pelbagai masalah pangan timbul-tenggelam.
Saya sepenuhnya setuju atas lima hal
pokok—pola makan yang keliru, beleid berorientasi pasar, penyerahan semua
urusan pangan ke daerah, hanya memikirkan konsumen, dan alpa memikirkan konsekuensi
keberhasilan—yang ditulis Sapuan Gafar (Kompas, 1/8/2012) yang membuat pangan
selalu berselimut kemelut.
Tiga hal yang dielaborasi Prof Ahmad Erani
Yustika (Kompas, 19/7/2012), yaitu ketergantungan impor, konsentrasi
distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi Bulog, membuat potret acak-adul
pangan kian komplet. Namun, elaborasi itu belum cukup untuk membongkar apa
sesungguhnya akar masalah pangan kita. Ada satu sumbu utama yang membuat pangan
acak-adul: keterputusan kelembagaan pangan.
Kontradiktif
Kelembagaan adalah aturan main, baik bersifat
struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas dari sekadar organisasi.
Sebagai aturan dan hak yang tegas memberikan naungan, sanksi, dan konstrain
terhadap individu-individu dan kelompok dalam menentukan pilihan. Kelembagaan
dapat diprediksi, stabil, dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang
(Arifin, 2012).
Sebagai kebijakan publik, kelembagaan
(pangan) bisa disidik dari tiga tingkatan: politis-strategis (kebijakan),
organisasi (institusi dan aturan main), dan implementasi (untuk evaluasi dan
umpan balik). Pada level politis-strategis, UUD 1945 mengamanatkan negara
menyediakan penghidupan yang layak bagi warga, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan hak dipelihara bagi fakir miskin dan
anak-anak telantar. Pendek kata, konstitusi mengakui pangan merupakan kebutuhan
dasar yang asasi. Pemenuhannya menjadi kewajiban (mutlak) negara.
Masalahnya, UUD 1945 tidak selalu jadi acuan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang mencakup kebijakan dan
tata kelola organisasi pemerintah di bidang pangan meletakkan pangan sekadar
”soal teknis”. Pangan hanya diletakkan pada satu sudut (sektor) bukan masalah
sentral. Seharusnya, sebagai bagian usaha negara memenuhi hak warga, pangan
harus diperlakukan sebagai soal hidup-mati, seperti disampaikan Bung Karno saat
meletakkan batu pertama Fakulteit Pertanian IPB, 27 April 1952. Sebagai soal
hidup-mati, pangan merupakan masalah bangsa, bukan sektoral.
Pada level organisasi, Dewan Ketahanan Pangan
(DKP) yang diketuai Presiden dan secara harian diketuai Menteri Pertanian
merupakan kelembagaan tertinggi di bidang pangan. Selain Bulog dan pemerintah
daerah (provinsi/kabupaten/ kota), DKP melibatkan 14 menteri yang terkait
langsung soal pangan.
Di Thailand, lembaga serupa bernama National Food Commision (NFC)
membawahkan 11 kementerian. Berkat kinerja NFC, pangan di Thailand maju luar
biasa. Indonesia sebaliknya. Masalah terjadi karena gerak DKP sehari-hari
diserahkan kepada eselon I: Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian
Pertanian. Jangankan menggerakkan menteri terkait, mengoordinasikan sesama
pejabat eselon I lintas kementerian saja BKP tak berdaya.
Akhirnya, terjadilah kontradiksi yang tidak
masuk akal: pangan yang amat strategis dan multisektoral hanya diurus pejabat
setingkat dirjen. Ketua DKP yang mestinya dirjen justru mati suri. Jadi, secara
organisasi masalahnya bukan pada kewenangan, melainkan soal kepemimpinan.
Pada level implementasi, karena tak ada
lembaga yang merumuskan kebijakan dan mengoordinasikan kegiatan pangan,
pelbagai kontradiksi, komplikasi kebijakan, dan egosektoral selalu berulang.
Tak ada evaluasi dan umpan balik. Masalah-masalah prinsip yang potensial
membuat aneka kebijakan pangan lumpuh tanpa intervensi.
Misalnya, di level hulu bagaimana Kementerian
Pertanian seolah berjalan sendiri mencapai target surplus 10 juta ton beras,
swasembada gula, jagung, kedelai, dan daging sapi pada 2014. Untuk mencapai
itu, mutlak perlu tambahan lahan dan ketersediaan air. Namun, Kementerian
Kehutanan justru mengobral lahan (hutan) untuk segelintir pengusaha tambang,
HPH, HTI, atau perkebunan. Target pembangunan dan perbaikan infrastruktur
(irigasi, jalan, pelabuhan, dan lain-lain) Kementerian PU juga tak nyambung
dengan target-target swasembada.
Penuh Paradoks
Terjadilah paradoks yang tidak masuk akal.
Program peningkatan daya saing, peningkatan produksi dan kesejahteraan petani
selalu didengungkan, tetapi pada
saat yang sama degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan
hutan dan buruknya implementasi tata ruang akibat intervensi pemodal
kuat/pejabat dengan argumen sumber devisa terus berlangsung nir-intervensi.
Daya tampung dan distribusi daerah aliran
sungai juga kian memburuk karena infrastruktur irigasi tak pernah dibenahi.
Waduk-waduk besar di Jawa airnya kritis. Mungkinkah menanam kalau air tak
tersedia cukup? Pupuk, bibit unggul, dan semua input tak akan optimal tanpa
air. Berlanjutnya konversi lahan produktif membuat investasi irigasi dan jalan
jadi muspro ’sia-sia’.
Di hilir, kondisinya makin parah. Bukan saja
tak terkoordinasi, kepentingan setiap kementerian justru bertolak belakang.
Semua pihak berpikir untuk kepentingan sektoral. Ketika Kementerian Pertanian
mati-matian menggenjot produksi, Kementerian Perdagangan justru mengobral izin
impor. Keputusan mengimpor 1 juta ton beras pada saat panen masih berlangsung
dan pemangkasan subsidi pupuk dari 10 juta ton jadi 8,5 juta ton untuk menambal
defisit APBN hanya contoh kecil dari aneka kontradiksi itu. Nihilnya dukungan
bank, pencabutan subsidi, tidak fokusnya perencanaan SDM pertanian,
liberalisasi kebablasan, dan tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset
dengan petani akhirnya membuat berbagai upaya menjadi sia-sia.
Yang paling parah, sejak otonomi daerah,
Kementerian Pertanian seperti anak tiri karena tak punya ”tangan dan kaki” di
daerah. Apalagi para elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai
driver pencitraan. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir
dari daerah. Padahal, implementasi dan eksekusi program ada di daerah. Dalam
kondisi seperti itu, petani miskin dan gurem berjuang sendiri. Sampai kapan ini
berlangsung? Mungkinkah menumpukan pangan kepada petani miskin-gurem?
Saat ini, pemerintah-DPR tengah menuntaskan
revisi UU No 7/1996 tentang Pangan. Dalam Pasal 113 RUU Pangan, diusulkan
pembentukan Kementerian Negara Urusan Pangan. Kementerian bertugas merumuskan
dan melakukan koordinasi kebijakan pangan nasional, menjamin ketersediaan,
akses, stabilisasi, dan keamanan pagan nasional.
Akankah
masalah pangan usai dengan pembentukan kelembagaan ini? Tentu tidak. Selain
kelembagaan, lebih penting lagi adalah keberpihakan, keberpihakan pada petani
dan produksi domestik. Tanpa keberpihakan, kelembagaan hanya macan ompong.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar