Rabu, 26 September 2012

Definisi Sistemik Century


Definisi Sistemik Century
Nugroho SBM ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip
SUARA MERDEKA, 25 September 2012

  

KASUS Bank Century kembali menghangat setelah Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) dan Jusuf Kalla memberikan keterangan di depan DPR. Pada intinya mereka menyatakan, baik Presiden SBY maupun Wapres (waktu itu) Jusuf Kalla, tidak mengetahui masalah dana talangan Rp 6,7 triliun kepada bank itu. 

Pernyataan dua tokoh itu seperti membantah kabar yang mengaitkan keterlibatan Presiden SBY dan partai yang saat ini berkuasa punya andil kesalahan, bahkan ikut bermain. Penulis berpendapat perlu meluruskan istilah antara ”bersalah” dan ”bertanggung jawab”. Presiden SBY dan Wapres (saat kebijakan bail out itu) Jusuf Kalla bisa saja tidak bersalah tetapi sebagai pemimpin harus bertanggung jawab atas kasus itu.

Masyarakat, terutama nasabah bank itu, berharap kebenaran bisa terkuak setelah penantian mereka selama empat tahun, dan peristiwa serupa tak terulang. Masyarakat menunggu kejelasan mengapa Century harus diselamatkan dan siapa yang menikmati dana talangan Rp 6,7 triliun itu karena hingga sekarang dana nasabah belum dikembalikan.
Yang tidak kalah penting, Bank Indonesia harus merumuskan beberapa langkah strategis supaya peristiwa serupa tak terulang. Pertama; kembali mendesak DPR membahas dan segera mengesahkan RUU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Regulasi itu sangat diperlukan sebagai landasan hukum  bagi BI dan pemerintah terkait dengan kebijakan di sektor keuangan, terutama bila terjadi krisis.

Kedua; jika RUU JPSK kembali dibahas maka belajar dari kasus Century, perlu lebih serius membahas Pasal 7 mengenai dampak sistemik dari tutup atau ditutupnya sebuah bank. Hal itu terkait dengan status apakah bank yang mengalami kesulitan dibiarkan tutup atau ditutup ataukah perlu diberi bantuan dana talangan seperti halnya Century. 
Bab yang membahas definisi dampak sistemik perlu dijabarkan secara rinci, bahkan disertai kejelasan ukuran kuantitatif. Menurut penulis, draf Pasal 7 RUU tentang JPSK yang membahas dampak sistemik penutupan sebuah bank, masih bersifat umum. Rancangan pasal itu terlalu makro, kurang operasional karena tidak ada indikator kuantitatifnya. 

Ada beberapa definisi tentang dampak sistemik terkait penutupan bank. Definisi pertama dari Oliver de Brandt dan Philippe Heartman (2000) dalam Working Paper Nomor 35 tahun 2000 yang diterbitkan Bank Sentral Eropa. Menurut mereka, dampak sistemik akibat penutupan bank adalah jika penutupan itu memancing kepanikan nasabah bank-bank lain untuk rush atau beramai-ramai menarik dana sehingga bank-bank itu mengalami kesulitan likuiditas. Definisi ini tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia karena deposan cukup rasional dan tidak mudah terpancing emosinya jika mendengar kabar rencana penutupan sebuah bank oleh pemerintah. Terlebih lagi saat ini ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Definisi kedua dari Houben, Kakes, dan Schinasi (2004) melalui artikel yang diterbitkan IMF. Menurut mereka, dampak sistemik dari penutupan sebuah bank bisa dari faktor bank itu sendiri, keterkaitan bank tersebut dengan bank lain, perundang-undangan, dan akibat kondisi ekonomi makro. 

Bayar Gugatan

Definisi ketiga, dari kesepakatan para ahli keuangan saat menilai kebangkrutan perusahaan Goldman and Sach, serta AIG. Menurut mereka, risiko sistemik akibat penutupan bank atau institusi keuangan yang lain adalah jika bank atau institusi itu terlalu besar ukurannya (aset, pangsa pasar, omzet) untuk ditutup atau biasa diistilahkan too big too fail.  Definisi ini bisa dikuantitatifkan, yaitu berapa ukuran (aset, pasar, omzet) suatu bank dikategorikan terlalu besar yang kemudian menjadi dasar untuk menutup bank tersebut. 

Dari Indonesia sebenarnya ada beberapa ahli keuangan yang mencoba merumuskan indikator dampak sistemik penutupan bank, salah satunya Purbaya Yudi Sadewa dari Danareksa Research Institute (DRI). Menurut dia, dampak sistemik dari penutupan bank dapat dilihat dari 6 variabel banking pressure index (BPI) yang disusun oleh lembaga tersebut.

Variabel itu menyangkut nilai tukar riil efektif, indeks harga saham gabungan (IHSG), angka pengganda uang, produk domestik bruto (PDB) riil, nilai ekspor, dan suku bunga jangka pendek. Besar indeks antara 0 dan 1. Jika indeks lebih besar dari 0,5 maka industri perbankan itu akan terkena risiko sistemik dari perubahan variabel yang digunakan untuk menyusun indeks tersebut.

Ketiga; pemerintah dan BI memerintah manajemen Bank Mutiara (eks Bank Century) untuk segera membayarkan hak dari nasabah Century karena Mahkamah Agung sudah memenangkan gugatan nasabah itu. Seandainya pemerintah dan BI tidak melakukan hal itu justru bisa menimbulkan dampak sistemik, yaitu timbul ketidakpercayaan masyarakat kepada perbankan, sekaligus BI, dan pemerintah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar