Karisma Itu
Telah Pergi
James Luhulima ; Wakil
Redaktur Pelaksana Kompas
|
KOMPAS,
29 September 2012
Ketika hitung cepat selesai
dilakukan pada 20 September siang, dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
menjadi pemenang, Fauzi Bowo sadar bahwa ia tidak dapat mempertahankan
jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang telah dipegangnya selama lima
tahun itu.
Pada detik itu pula, Fauzi
Bowo menyadari bahwa Dewi Fortuna telah pergi meninggalkan dirinya. Karisma
yang selama ini menaungi dirinya dalam menjabat sebagai gubernur telah hilang
entah ke mana.
Berbagai upaya Fauzi Bowo
untuk memperbaiki posisinya setelah kalah dalam pemilihan umum kepala daerah
(pilkada) putaran pertama tidak memberikan hasil seperti yang diharapkannya.
Semua upaya yang dilakukan
Fauzi Bowo seperti hilang ditelan kedalaman samudra. Kata-kata yang meluncur
keluar dari mulutnya, yang biasanya didengar dan dipatuhi orang, akhir-akhir
ini seperti diabaikan, bahkan nyaris tidak didengar sama sekali.
Keadaan yang sama pernah
dialami Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Megawati
Soekarnoputri menjelang akhir masa jabatan mereka.
Keadaan itu digambarkan
secara sangat bagus oleh John Hughes, penulis buku The End of Sukarno, A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild,
yang diterbitkan Archipelago Press.
Hughes menulis, ”For almost twenty-two
years, President Sukarno cast the spell of his political magic across
Indonesia. But in the Indonesian capital of Djakarta on a hot, soggy day in
March 1967, the spell was finally broken, the magic run out, the legend was
shattered. Sukarno was stripped by the representatives of his people, of the
last vestiges of his authority. Instead a 46 year old army general named
Suharto was sworn in as Acting President (Selama hampir dua puluh dua tahun, Presiden Sukarno menebar pesona
sihir politiknya melintasi Indonesia. Namun, di ibu kota Indonesia, Djakarta,
pada suatu hari yang panas dan lembab pada Maret 1967, pesona itu akhirnya lenyap,
sihirnya pun kehilangan kekuatannya, dan legenda itu hancur berantakan. Sukarno
dilucuti oleh wakil-wakil rakyatnya sendiri dari sisa-sisa kekuasaannya.
Malahan, mereka melantik dan mengambil sumpah seorang jenderal angkatan darat
berusia 46 tahun bernama Suharto sebagai Penjabat Presiden).”
Peristiwa yang hampir sama
pun dialami Soeharto. Sulit dijelaskan mengapa Soeharto yang dengan suara bulat
diangkat sebagai presiden untuk periode yang ketujuh (1998-2003) diminta untuk
meletakkan jabatannya tidak sampai 70 hari sesudahnya.
Megawati pun, sebagai
presiden, harus kehilangan jabatannya sebagai presiden dalam pemilihan presiden
secara langsung yang disetujuinya dilakukan untuk pertama kalinya. Megawati
sulit untuk percaya bahwa ia dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono, mantan
menteri dalam kabinetnya sendiri.
Minimal Mencari Tahu
Jika saja Fauzi Bowo
menyadari atau minimal berusaha mencari tahu apa yang menjadi penyebab
kekalahannya dalam pilkada putaran pertama, mungkin ia dapat menggunakan waktu
yang ada sebelum putaran kedua dilangsungkan untuk memperbaiki posisinya.
Sayang, ia terlalu angkuh
untuk melakukan itu. Ia memang mendekati banyak pihak untuk mencari dukungan.
Namun, ia mendekati mereka dengan sikap seorang gubernur dan bukan dengan sikap
sebagai orang yang kalah, dan memohon pertolongan dari warga Jakarta agar mau
memberikan suara kepadanya sehingga ia dapat keluar sebagai pemenang.
Sikapnya ketika mengunjungi
korban kebakaran di Karet Tengsin, Pejompongan, Jakarta Pusat, sulit diterima.
Tidak seharusnya seorang kepala daerah bersikap seperti itu. Kepada korban
kebakaran yang seharusnya dihibur, atau dibantu dalam batas-batas yang
dimungkinkan, Fauzi Bowo malah mengatakan, ”Sekarang lo nyolok (coblos) siapa? Kalau
nyolok Jokowi mah bangun di Solo aja sono.”
Fauzi Bowo dan tim suksesnya
menganggap bahwa kekalahan yang dialaminya pada putaran pertama karena
masyarakat Jakarta tidak mengetahui atau kurang mendapatkan penjelasan tentang
apa yang telah dicapainya selama lima tahun berkuasa.
Ia tidak menyadari bahwa
sesungguhnya warga Jakarta butuh untuk didengar. Pada hakikatnya, yang
diinginkan warga Jakarta dari pemimpinnya adalah kesediaan untuk mendengar
keluh kesah mereka dan keberpihakan kepada mereka sebagai warga yang
terpinggirkan.
Sayangnya, Fauzi Bowo gagal
untuk memahami hal itu. Ia tetap membawa diri sebagai seorang gubernur, seorang
penguasa, dan gagal menempatkan dirinya di antara mereka sebagai orang yang
sama-sama kalah.
Kegagalan Fauzi Bowo
memahami apa yang menjadi penyebab dari kekalahannya itu membuat ia sulit
meraih simpati dan dukungan dari orang-orang dalam putaran pertama yang tidak
memilih dirinya.
Akibatnya, pada waktu ia
benar-benar memerlukan banyak suara untuk mengalahkan pesaingnya, Joko Widodo,
ia tidak berhasil mendapatkan cukup suara untuk menang. Karisma sudah pergi
meninggalkan dirinya.
Yang mengagumkan, Fauzi Bowo
kemudian sejenak dapat menerima kekalahannya dan mengadakan jumpa pers untuk
mengucapkan selamat atas kemenangan yang diperoleh Joko Widodo. Ucapan
pemberian selamat itu sungguh menyejukkan dan dapat membenamkan rasa ”permusuhan” yang sempat dibangun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar