Problematika
Konservasi Hutan Lindung di Indonesia
Silvia Werner ; Alumni Free
University of Berlin,
Kini
menetap di Hanover, Jerman
|
JARINGNEWS.COM,
24 September 2012
“Konservasi kawasan
hutan lindung harus mengedepankan pendekatan partisipatif dan integrasi
masyarakat lokal."
HANOVER, Jaringnews.com - Seperti di banyak negara yang lain, proyek konservasi di
Indonesia yang dikelola instansi pemerintah umumnya masih memakai pendekatan
“pagar dan denda” (fences
and fines). Dalam praksis konservasi ini masih sering didapati
pelanggaran batas karena ekspansi pertanian tradisional, usaha perkebunan atau
penebangan kayu. Akibatnya, para kepala taman nasional makin merasa tidak sanggup
untuk mengelola kawasan lindung hanya dengan pendekatan melarang masyarakat
masuk dan memisahkan daerah konservasi dari penduduk yang hidup di sekitarnya.
Oleh sebab itu, kini perlu pendekatan khusus dengan skema partisipasi.
Pola partisipasi yang diterapkan dalam proyek konservasi yang dikelola LSM dan organisasi donor internasional tentu berbeda karena kebanyakan berkisar dari partisipasi fungsional sampai partisipasi interaktif. Pada konsep partisipasi fungsional, keputusan-keputasan utama sudah diambil sebelum orang setempat ikut di dalamnya. Peran penduduk lokal terbatas pada pembentukan kelompok yang diharapkan akan memenuhi tujuan-tujuan berhubungan dengan proyek yang sudah ditentukan sebelumnya. Partisipasi seperti itu umumnya tidak cukup. Akibatnya, batas taman nasional tetap dilanggar oleh masyarakat.
Alasan mendasarnya dari kesemuanya ini adalah masih ditemukan sikap dan pandangan negatif penduduk setempat terhadap kawasan lindung dan kapasitas Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Tidak mengherankan, pendekatan pengelolaan partisipatif justru baru diterapkan setelah suatu kawasan lindung dijadikan taman nasional.
Sayangnya, masyarakat sudah dipengaruhi oleh pendekatan konservasi dari atas (top-down) dan pandangan masyarakat lokal sudah dibangun sedemikian rupa untuk berpandangan secara negatif pada taman nasional. Masyarakat di pinggir hutan merasa sudah dipisahkan dari hutan mereka. Karena itu, proyek konservasi yang memakai pendekatan partisipatif terpaksa harus diperjuangkaan sedemikian rupa untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat lokal yang sudah sempat skeptik. Tetapi kalau masyarakat hanya diajak bermusyawarah secara formal tanpa ada kerjasama faktual, tentu tidak akan ada gunanya. Sebaliknya, penduduk desa hanya menjadi kesal. Kalau hubungan antara para petani dan pengelola proyek sudah retak, bisa jadi tujuan proyek dipertanyakan dan pengelola akan dicurigai karena memiliki kepentingan terselubung.
Semakin kurang partisipatif pendekatan konservasi, semakin tinggi kebutuhan untuk pelindungan batas oleh PHPA. Seandainya fisiografi taman nasional dan kapasitas institusional dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tidak memungkinkan perbatasan dilindungi secara efektif, solusi yang praktis adalah untuk memberi lebih banyak tanggungjawab kepada masyarakat yang hidup di pinggir kawasan lindung.
Kalau warga setempat ikut menganalisa secara bersama dan setelahnya dihasilkan sebuah rencana aksi serta pembentukan kelompok baru ataupun penguatan kelompok yang sudah ada, prosesnya disebutkan partisipasi interaktif. Karena kelompok tersebut mengambil kontrol pada keputusan lokal, para peserta kelompok itu berkeinginan untuk mempertahankan strukturnya atau pola aksi kelompok itu. Hal ini terbukti di Taman Nasional Kayan Mentarang, Lore Lindu dan Arfak. Partisipasi interaktif di sana cukup baik. Akan tetapi, penting juga diperhatikan faktor-faktor sosial-budaya (pendatang vs penduduk asli), prasarana, struktur dan kepadatan permukiman di desa, serta faktor-faktor ekonomis seperti penggunaan lahan dan pasar yang ada di sekitarnya. Taman nasional di atas kebanyakan dihuni oleh penduduk asli dengan kepadatan penghunian yang rendah, letak jauh dari pasar-pasar dan tidak menjadi pusat kultivasi tanaman berharga tinggi.
Suatu komponen dari partisipasi interaktif penduduk desa di perbatasan taman nasional adalah diikutsertakannya pengetahuan tradisional tentang lingkungan dan konsep pentani tentang pengelolaan lahan (Traditional Ecological Knowledge and Management Systems, TEKMS). Sebaiknya, pihak manajemen proyek memahami dulu sistem pengetahuan tersebut dan memakai istilah-istilah terkait dalam komunikasi dengan penduduk desa. Kalau demikian, sudah menjadi lebih gampang untuk saling mengerti pandangan masing-masing tentang berbagai aspek lingkungan, misalkan tentang klasifikasi tanah tradisional.
Terkait klasifikasi tanah tradisional, biasanya ada tipe-tipe yang berbeda, seperti tanah hitam, tanah merah, tanah kuning atau tanah liat. Masing-masing tipe tanah dianggap cocok untuk tanaman berbeda. Penting juga untuk keputusan pemilihan lahan adalah posisi lereng. Aspek lain adalah tanaman indikator yang mencerminkan kesuburan lahan. Tidak mungkin lulusan universitas yang menjadi staf pemerintah mengharapkan agar konsep ilmiah tentang faktor-faktor lingkungan ingin dipahami oleh penduduk desa. Sebaiknya, si doktorandus atau para akademisi ini harus menerjemahkan istiah-istilah lokal dalam bahasa ilmiahnya, misalnya lewat analisa tanah dan inventaris botanis. Dengan cara demikian, partisipasi penduduk daerah perbatasan dalam konservasi dipermudah. Lebih dari itu, kekahawatiran yang mereka utarakan akan bisa dipahami dengan mudah karena sudah sempat mengkontribusikan pengetahuannya.
Pada intinya, pola partisipasi tidak dapat memecahkan masalah yang diciptakan lewat pembentukan kawasan konservasi per se, yaitu keputusan yang diambil oleh orang luar untuk melarang penggunaan daerah tertentu yang masih ditumbuhi dengan hutan primer, atau paling minimal dibatasi penggunaannya secara drastis.
Contoh bagus untuk semuanya ini adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dimana dilaksanakan Integrated Conservation and Development Project(ICDP) dari tahun 1997 sampai tahun 2001. Proyek tersebut memiliki periode persiapan selama tiga tahun. Di perbatasan TNKS itu, penduduk desa menanggap pembentukan taman nasional sebagai sesuatu yang berguna, seandainya tujuan kawasan konservasi untuk melindungi hutan sebagai lahan cadangan untuk masa depan.
Karena hutan berfungsi sebagai sumber untuk kayu dan produk-produk non-kayu (fungsi hutan yang terpenting untuk masyarakat lokal), tentu saja kepentingan penduduk dan kepentingan para pelestari alam harus bentrok dalam topik tersebut. Solusi yang perlu dikedepankan adalah kompromi, dimana masyarakat lokal setuju untuk membatasi penggunaan kawasan konservasi sebagai imbalan atas hak guna legal tertentu, misalnya pengambilan produk non kayu dan/atau hak kepemilikan lahan diluar kawasan konservasi. Pada praksisnya, hal seperti itu disepakati antara masyarakat lokal dan pengelola taman nasional. Meski sudah ada banyak kasus dimana terdapat kompromi lewat partisipasi interaktif, lebih sering justru ditemukan bahwa pihak taman nasional melakukan pendekatan otoriter sehingga yang terjadi adalah konflik. Akibatnya, ketegangan antara pengelola taman nasional dan masyarakat lokal semakin meninggi.
Satu hal yang perlu diutamakan dalam konsep konservasi adalah pandangan bahwa penduduk lokal bukan faktor pengganggu satu-satunya di daerah perbatasan kawasan konservasi. Di TNKS, misalnya, pelanggaran batas justu dilakukan PT Perkebunan dan Pertambangan. Pembangunan jalan dan penebangan liar justru didalangi oleh oknum TNI atau birokrasi. Aksi mereka mengakibatkan kerusakan yang lebih berat pada kawasan lindung itu. Maka, adalah penting untuk diikutsertakan semua pemangku kepentingan pada perencanaan dan pengeloalan taman nasional. Tugas ini adalah tugas yang paling sulit dalam usaha konservasi.
Ketika masyarakat lokal melihat pelanggar batas yang bertindak dalam skala besar, dapat dimaklumi bahwa mereka lantas menjadi merasa bingung. Mereka protes kenapa mereka sebagai penduduk asli tidak juga diperbolehkan untuk membuka lahan pertanian baru atau mengambil beberapa gelondong kayu saja. Penyelesaian masalah-masalah mendasar ini menjadi syarat muntlak untuk tiap usaha konservasi yang sukses.
Pentingnya faktor-faktor konservasi ini telah penulis dalami secara mendalam dalam disertasi penulis. Semula, penelitian seharusnya difokuskan hanya pada sistem perladangan lokal dan pengetahuan tradisionalnya tentang lingkungan dan konsepnya petani tentang pengelolaan lahan (TEKMS) serta pengaruh penggunaan lahan itu pada taman nasional.
Pengalaman di desa-desa perbatasan TNKS menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat lokal bukan penghambat konservasi yang utama. Sebaliknya, mereka sering dikambinghitamkan oleh pemerintah karena mereka menjadi sasaran yang gampang dan mereka akan membahayakan dan tidak akan mampu melakukan perlawanan yang berarti. Pemangku kepentingan lain yang melanggar perbatasan TNKS jauh lebih berkuasa. Kalau perbuatan dikritik di tempat umum bisa membawa akibat yang tidak enak dan berangkali juga memiliki impikasi politis atau ekonomis pada kantor yang mengutamakan fakta-fakta tersebut.
Pendekatan untuk mengikutsertakan masyarakat lokal yanga hanya sebatas "sambilan dan setelah pembentukan TNKS" jelas tidak akan memperkuat keinginan mereka untuk ikut dalam konservasi. Oleh sebab itu, siapapun hingga di tingkat kapangan seperti para penjaga hutan atau staf BKSDA harus mengedepankan partisipasi masyarakat lokal. Pada tingkat lapangan, masyarakat lokal yang sudah berpartisipasi dalam arti tertentu juga bisa dituntut. Seandainya ada seekor harimau, mereka bisa diimbau agar jangan langsung menembaknya. Masyarakat lokal harus sampai pada tingkat dimana mereka merasa bahwa TNKS itu sebagai miliknya (sense of ownership). Juga, di desa-desa yang mengembangkan sistem ladang berpindah-pindah, dimana sistem itu dilarang pola oleh instansi pemerintah tanpa diberi alternatif lain untuk mencari nafkah harus diselesaikan dengan bijaksana. Jika demikian, pertemuan dengan pejabat pemerintah tidak akan dihindari oleh masyarakat lokal yang mengunjungi desanya.
Karena pengalaman di atas itu, penelitian penulis diperluas mencakup analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis), agar peran masyarakat lokal dapat dilihat dalam ukuran yang sebenarnya. Hasil studi tersebut adalah bahwa sampai saat itu belum ada wahana atau cara agar pengetahuan tradisional tentang lingkungan dan konsep petani tentang pengelolaan lahan (TEKMS) dapat diperhatikan oleh manajer taman nasional dan pegawai negri. Dalam studi oleh Bank Dunia mengenai kelompok-kelompok pedesaan (local level institutions) di Indonesia yang diikuti oleh penulis, menjadi jelas bahwa banyak pegawai negeri di daerah tidak mengetahui organisasi-organisasi di tingkat pedesaan. Karena itu, kapasitas dan peran mereka dalam pembangunan juga tidak diperhatikan.
Kesimpulannya adalah bahwa integrasi masyarakat lokal dalam proyek pengelolaan kawasan lindung membutuhkan instrumen untuk memfasilitasikan komunikasi masalah lingkungan antara penduduk desa dan tenaga ahi dari luar yang masuk ke desa. Konsep pemakaian pengetahuan tradisional tentang lingkungan dan konsep petani tentang pengelolaan lahan (TEKMS) sebagai wahana tersebut diperkenalkan dalam tulisan ini. Masalah-masalah yang harus diselesaikan sebelum konsep tersebut dapat berfungsi adalah pemberdayaan kantor PHPA serta adanya kemauan dan keinginan sungguh-sungguh nyata untuk konservasi alam. ●
Pola partisipasi yang diterapkan dalam proyek konservasi yang dikelola LSM dan organisasi donor internasional tentu berbeda karena kebanyakan berkisar dari partisipasi fungsional sampai partisipasi interaktif. Pada konsep partisipasi fungsional, keputusan-keputasan utama sudah diambil sebelum orang setempat ikut di dalamnya. Peran penduduk lokal terbatas pada pembentukan kelompok yang diharapkan akan memenuhi tujuan-tujuan berhubungan dengan proyek yang sudah ditentukan sebelumnya. Partisipasi seperti itu umumnya tidak cukup. Akibatnya, batas taman nasional tetap dilanggar oleh masyarakat.
Alasan mendasarnya dari kesemuanya ini adalah masih ditemukan sikap dan pandangan negatif penduduk setempat terhadap kawasan lindung dan kapasitas Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Tidak mengherankan, pendekatan pengelolaan partisipatif justru baru diterapkan setelah suatu kawasan lindung dijadikan taman nasional.
Sayangnya, masyarakat sudah dipengaruhi oleh pendekatan konservasi dari atas (top-down) dan pandangan masyarakat lokal sudah dibangun sedemikian rupa untuk berpandangan secara negatif pada taman nasional. Masyarakat di pinggir hutan merasa sudah dipisahkan dari hutan mereka. Karena itu, proyek konservasi yang memakai pendekatan partisipatif terpaksa harus diperjuangkaan sedemikian rupa untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat lokal yang sudah sempat skeptik. Tetapi kalau masyarakat hanya diajak bermusyawarah secara formal tanpa ada kerjasama faktual, tentu tidak akan ada gunanya. Sebaliknya, penduduk desa hanya menjadi kesal. Kalau hubungan antara para petani dan pengelola proyek sudah retak, bisa jadi tujuan proyek dipertanyakan dan pengelola akan dicurigai karena memiliki kepentingan terselubung.
Semakin kurang partisipatif pendekatan konservasi, semakin tinggi kebutuhan untuk pelindungan batas oleh PHPA. Seandainya fisiografi taman nasional dan kapasitas institusional dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) tidak memungkinkan perbatasan dilindungi secara efektif, solusi yang praktis adalah untuk memberi lebih banyak tanggungjawab kepada masyarakat yang hidup di pinggir kawasan lindung.
Kalau warga setempat ikut menganalisa secara bersama dan setelahnya dihasilkan sebuah rencana aksi serta pembentukan kelompok baru ataupun penguatan kelompok yang sudah ada, prosesnya disebutkan partisipasi interaktif. Karena kelompok tersebut mengambil kontrol pada keputusan lokal, para peserta kelompok itu berkeinginan untuk mempertahankan strukturnya atau pola aksi kelompok itu. Hal ini terbukti di Taman Nasional Kayan Mentarang, Lore Lindu dan Arfak. Partisipasi interaktif di sana cukup baik. Akan tetapi, penting juga diperhatikan faktor-faktor sosial-budaya (pendatang vs penduduk asli), prasarana, struktur dan kepadatan permukiman di desa, serta faktor-faktor ekonomis seperti penggunaan lahan dan pasar yang ada di sekitarnya. Taman nasional di atas kebanyakan dihuni oleh penduduk asli dengan kepadatan penghunian yang rendah, letak jauh dari pasar-pasar dan tidak menjadi pusat kultivasi tanaman berharga tinggi.
Suatu komponen dari partisipasi interaktif penduduk desa di perbatasan taman nasional adalah diikutsertakannya pengetahuan tradisional tentang lingkungan dan konsep pentani tentang pengelolaan lahan (Traditional Ecological Knowledge and Management Systems, TEKMS). Sebaiknya, pihak manajemen proyek memahami dulu sistem pengetahuan tersebut dan memakai istilah-istilah terkait dalam komunikasi dengan penduduk desa. Kalau demikian, sudah menjadi lebih gampang untuk saling mengerti pandangan masing-masing tentang berbagai aspek lingkungan, misalkan tentang klasifikasi tanah tradisional.
Terkait klasifikasi tanah tradisional, biasanya ada tipe-tipe yang berbeda, seperti tanah hitam, tanah merah, tanah kuning atau tanah liat. Masing-masing tipe tanah dianggap cocok untuk tanaman berbeda. Penting juga untuk keputusan pemilihan lahan adalah posisi lereng. Aspek lain adalah tanaman indikator yang mencerminkan kesuburan lahan. Tidak mungkin lulusan universitas yang menjadi staf pemerintah mengharapkan agar konsep ilmiah tentang faktor-faktor lingkungan ingin dipahami oleh penduduk desa. Sebaiknya, si doktorandus atau para akademisi ini harus menerjemahkan istiah-istilah lokal dalam bahasa ilmiahnya, misalnya lewat analisa tanah dan inventaris botanis. Dengan cara demikian, partisipasi penduduk daerah perbatasan dalam konservasi dipermudah. Lebih dari itu, kekahawatiran yang mereka utarakan akan bisa dipahami dengan mudah karena sudah sempat mengkontribusikan pengetahuannya.
Pada intinya, pola partisipasi tidak dapat memecahkan masalah yang diciptakan lewat pembentukan kawasan konservasi per se, yaitu keputusan yang diambil oleh orang luar untuk melarang penggunaan daerah tertentu yang masih ditumbuhi dengan hutan primer, atau paling minimal dibatasi penggunaannya secara drastis.
Contoh bagus untuk semuanya ini adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dimana dilaksanakan Integrated Conservation and Development Project(ICDP) dari tahun 1997 sampai tahun 2001. Proyek tersebut memiliki periode persiapan selama tiga tahun. Di perbatasan TNKS itu, penduduk desa menanggap pembentukan taman nasional sebagai sesuatu yang berguna, seandainya tujuan kawasan konservasi untuk melindungi hutan sebagai lahan cadangan untuk masa depan.
Karena hutan berfungsi sebagai sumber untuk kayu dan produk-produk non-kayu (fungsi hutan yang terpenting untuk masyarakat lokal), tentu saja kepentingan penduduk dan kepentingan para pelestari alam harus bentrok dalam topik tersebut. Solusi yang perlu dikedepankan adalah kompromi, dimana masyarakat lokal setuju untuk membatasi penggunaan kawasan konservasi sebagai imbalan atas hak guna legal tertentu, misalnya pengambilan produk non kayu dan/atau hak kepemilikan lahan diluar kawasan konservasi. Pada praksisnya, hal seperti itu disepakati antara masyarakat lokal dan pengelola taman nasional. Meski sudah ada banyak kasus dimana terdapat kompromi lewat partisipasi interaktif, lebih sering justru ditemukan bahwa pihak taman nasional melakukan pendekatan otoriter sehingga yang terjadi adalah konflik. Akibatnya, ketegangan antara pengelola taman nasional dan masyarakat lokal semakin meninggi.
Satu hal yang perlu diutamakan dalam konsep konservasi adalah pandangan bahwa penduduk lokal bukan faktor pengganggu satu-satunya di daerah perbatasan kawasan konservasi. Di TNKS, misalnya, pelanggaran batas justu dilakukan PT Perkebunan dan Pertambangan. Pembangunan jalan dan penebangan liar justru didalangi oleh oknum TNI atau birokrasi. Aksi mereka mengakibatkan kerusakan yang lebih berat pada kawasan lindung itu. Maka, adalah penting untuk diikutsertakan semua pemangku kepentingan pada perencanaan dan pengeloalan taman nasional. Tugas ini adalah tugas yang paling sulit dalam usaha konservasi.
Ketika masyarakat lokal melihat pelanggar batas yang bertindak dalam skala besar, dapat dimaklumi bahwa mereka lantas menjadi merasa bingung. Mereka protes kenapa mereka sebagai penduduk asli tidak juga diperbolehkan untuk membuka lahan pertanian baru atau mengambil beberapa gelondong kayu saja. Penyelesaian masalah-masalah mendasar ini menjadi syarat muntlak untuk tiap usaha konservasi yang sukses.
Pentingnya faktor-faktor konservasi ini telah penulis dalami secara mendalam dalam disertasi penulis. Semula, penelitian seharusnya difokuskan hanya pada sistem perladangan lokal dan pengetahuan tradisionalnya tentang lingkungan dan konsepnya petani tentang pengelolaan lahan (TEKMS) serta pengaruh penggunaan lahan itu pada taman nasional.
Pengalaman di desa-desa perbatasan TNKS menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat lokal bukan penghambat konservasi yang utama. Sebaliknya, mereka sering dikambinghitamkan oleh pemerintah karena mereka menjadi sasaran yang gampang dan mereka akan membahayakan dan tidak akan mampu melakukan perlawanan yang berarti. Pemangku kepentingan lain yang melanggar perbatasan TNKS jauh lebih berkuasa. Kalau perbuatan dikritik di tempat umum bisa membawa akibat yang tidak enak dan berangkali juga memiliki impikasi politis atau ekonomis pada kantor yang mengutamakan fakta-fakta tersebut.
Pendekatan untuk mengikutsertakan masyarakat lokal yanga hanya sebatas "sambilan dan setelah pembentukan TNKS" jelas tidak akan memperkuat keinginan mereka untuk ikut dalam konservasi. Oleh sebab itu, siapapun hingga di tingkat kapangan seperti para penjaga hutan atau staf BKSDA harus mengedepankan partisipasi masyarakat lokal. Pada tingkat lapangan, masyarakat lokal yang sudah berpartisipasi dalam arti tertentu juga bisa dituntut. Seandainya ada seekor harimau, mereka bisa diimbau agar jangan langsung menembaknya. Masyarakat lokal harus sampai pada tingkat dimana mereka merasa bahwa TNKS itu sebagai miliknya (sense of ownership). Juga, di desa-desa yang mengembangkan sistem ladang berpindah-pindah, dimana sistem itu dilarang pola oleh instansi pemerintah tanpa diberi alternatif lain untuk mencari nafkah harus diselesaikan dengan bijaksana. Jika demikian, pertemuan dengan pejabat pemerintah tidak akan dihindari oleh masyarakat lokal yang mengunjungi desanya.
Karena pengalaman di atas itu, penelitian penulis diperluas mencakup analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis), agar peran masyarakat lokal dapat dilihat dalam ukuran yang sebenarnya. Hasil studi tersebut adalah bahwa sampai saat itu belum ada wahana atau cara agar pengetahuan tradisional tentang lingkungan dan konsep petani tentang pengelolaan lahan (TEKMS) dapat diperhatikan oleh manajer taman nasional dan pegawai negri. Dalam studi oleh Bank Dunia mengenai kelompok-kelompok pedesaan (local level institutions) di Indonesia yang diikuti oleh penulis, menjadi jelas bahwa banyak pegawai negeri di daerah tidak mengetahui organisasi-organisasi di tingkat pedesaan. Karena itu, kapasitas dan peran mereka dalam pembangunan juga tidak diperhatikan.
Kesimpulannya adalah bahwa integrasi masyarakat lokal dalam proyek pengelolaan kawasan lindung membutuhkan instrumen untuk memfasilitasikan komunikasi masalah lingkungan antara penduduk desa dan tenaga ahi dari luar yang masuk ke desa. Konsep pemakaian pengetahuan tradisional tentang lingkungan dan konsep petani tentang pengelolaan lahan (TEKMS) sebagai wahana tersebut diperkenalkan dalam tulisan ini. Masalah-masalah yang harus diselesaikan sebelum konsep tersebut dapat berfungsi adalah pemberdayaan kantor PHPA serta adanya kemauan dan keinginan sungguh-sungguh nyata untuk konservasi alam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar