Pesan Damai
dari Lebanon
Nada Akl ; Penulis
adalah Seorang Jurnalis Lepas di Lebanon,
Artikel ini
ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews)
|
SINAR
HARAPAN, 29 September 2012
Kunjungan tiga
hari Paus Benediktus XVI ke Lebanon awal September lalu membawa pesan penting
tentang harapan di saat-saat sulit. Kendati ada ketegangan internasional,
rakyat Lebanon bersatu untuk menyambutnya, memperlihatkan bahwa mereka
menginginkan suksesnya koeksistensi, hidup berdampingan.
Acara ini bertepatan dengan adanya ketegangan internasional seputar The Innocence of Muslims, sebuah video YouTube yang dibuat dengan biaya murah oleh seseorang di Amerika Serikat, yang menurut berbagai berita, pernah terlibat kejahatan pemalsuan. Video ini menyulut banyak aksi protes anti-Amerika di seluruh dunia.
Dengan berbagai berita negatif seperti ini yang menyedot banyak sekali perhatian, sangatlah penting untuk memperhatikan berita-berita positif yang boleh jadi telah diabaikan.
Meskipun ada ketegangan-ketegangan ini, semua komunitas agama di Lebanon – tidak hanya Kristen, tapi juga Syiah, Sunni dan Druze – serta beberapa perwakilan partai politik, menyambut Paus, mengingatkan dunia bahwa negara ini dibangun di atas ide keragaman dan memuliakan semua agama.
Daerah pemukiman dekat bandara Beirut, tempat Paus Benediktus mendarat, mayoritas penduduknya Syiah, dan para perempuan Syiah berbaris untuk menyambutnya setiba di Lebanon. Pada hari berikutnya, tampak gambar yang mengabadikan momen itu muncul di mana-mana dalam berita. Gambar ini sangat mencolok, namun juga merupakan hal alami dalam koeksistensi keseharian di Lebanon.
Koeksistensi
Banyak orang Lebanon sering menekankan bahwa koeksistensi agama-agama merupakan satu-satunya jalan maju bagi negara ini – sangat sering sampai pesan ini tampak seperti klise berlebihan. Namun, itu memang benar, dan warga Lebanon tahu. Realitas koeksistensi tampak dalam kunjungan kepausan ini. Paus berulang kali mengekspresikan harapan bagi perdamaian di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya, dan mendesak umat Kristen dan muslim untuk memperjuangkan kerukunan dan koeksistensi.
Paus Benediktus menghormati kehadiran orang-orang muslim sebagai audiensi baik pada perkumpulan pemuda 15 September maupun di Misa Minggu terbuka pada hari berikutnya yang menurut penyelenggara dihadiri sekitar 350.000 orang. Banyak orang Lebanon mengenang kata-kata pendahulu Paus Benediktus, Paus Yohanes Paulus II, dalam kunjungannya ke Beirut pada 1997: “Lebanon lebih dari sebuah negara, Lebanon adalah sebuah pesan” – merujuk pada fakta bahwa negara ini dihuni banyak sekali komunitas agama yang hidup berdampingan.
Sekarang lebih lagi, pesannya adalah agar Lebanon didengar.
Ini semakin urgen mengingat berita mengenai demonstran Lebanon yang membakar sebuah restoran waralaba Amerika di Kota Tripoli, Lebanon utara, pada 14 September untuk memprotes video The Innocence of Muslims. Kesimpangsiuran dan misinformasi seputar video tersebut menyulut reaksi besar yang tak sepadan di seluruh dunia muslim terhadap orang-orang yang tak bersalah yang tidak bertanggung jawab atas video YouTube fitnah ini. Namun, dengan adanya rintangan seperti ini sekalipun, ada harapan bagi Lebanon.
Lebanon boleh terperangkap dalam pergulatan kekuasaan di kawasan dan internasional, namun ada banyak alasan untuk merasa optimistis dengan masa depannya. Sebagian besar orang Lebanon tahu bahwa negara mereka hanya bisa berhasil jika mereka mengakui, menghargai dan menghormati agama mereka satu sama lain.
Lebih dari sekadar pesan harapan dan perdamaian, kunjungan Paus Benediktus ke Timur Tengah merupakan sebuah upaya untuk melihat apakah kenyataan sesuai yang diharapkan dan sebuah pengingat penting bahwa ini adalah negeri yang menyatukan berbagai agama. Negeri ini adalah rumah bagi umat Kristen dan muslim. Ketika sebuah video gelap bisa menyebabkan kekacauan, pengingat ini menjadi penting.
Yang diperlukan sekarang adalah agar rakyat Lebanon terus menumbuhkan koeksistensi. Seperti kata seseorang ketika menyaksikan Paus di televisi di sebuah kafe di Beirut: “Bagus kalau kita semua menyambutnya, namun tergantung kita untuk bisa membuat peristiwa ini terus bermakna dalam jangka panjang.” ●
Acara ini bertepatan dengan adanya ketegangan internasional seputar The Innocence of Muslims, sebuah video YouTube yang dibuat dengan biaya murah oleh seseorang di Amerika Serikat, yang menurut berbagai berita, pernah terlibat kejahatan pemalsuan. Video ini menyulut banyak aksi protes anti-Amerika di seluruh dunia.
Dengan berbagai berita negatif seperti ini yang menyedot banyak sekali perhatian, sangatlah penting untuk memperhatikan berita-berita positif yang boleh jadi telah diabaikan.
Meskipun ada ketegangan-ketegangan ini, semua komunitas agama di Lebanon – tidak hanya Kristen, tapi juga Syiah, Sunni dan Druze – serta beberapa perwakilan partai politik, menyambut Paus, mengingatkan dunia bahwa negara ini dibangun di atas ide keragaman dan memuliakan semua agama.
Daerah pemukiman dekat bandara Beirut, tempat Paus Benediktus mendarat, mayoritas penduduknya Syiah, dan para perempuan Syiah berbaris untuk menyambutnya setiba di Lebanon. Pada hari berikutnya, tampak gambar yang mengabadikan momen itu muncul di mana-mana dalam berita. Gambar ini sangat mencolok, namun juga merupakan hal alami dalam koeksistensi keseharian di Lebanon.
Koeksistensi
Banyak orang Lebanon sering menekankan bahwa koeksistensi agama-agama merupakan satu-satunya jalan maju bagi negara ini – sangat sering sampai pesan ini tampak seperti klise berlebihan. Namun, itu memang benar, dan warga Lebanon tahu. Realitas koeksistensi tampak dalam kunjungan kepausan ini. Paus berulang kali mengekspresikan harapan bagi perdamaian di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya, dan mendesak umat Kristen dan muslim untuk memperjuangkan kerukunan dan koeksistensi.
Paus Benediktus menghormati kehadiran orang-orang muslim sebagai audiensi baik pada perkumpulan pemuda 15 September maupun di Misa Minggu terbuka pada hari berikutnya yang menurut penyelenggara dihadiri sekitar 350.000 orang. Banyak orang Lebanon mengenang kata-kata pendahulu Paus Benediktus, Paus Yohanes Paulus II, dalam kunjungannya ke Beirut pada 1997: “Lebanon lebih dari sebuah negara, Lebanon adalah sebuah pesan” – merujuk pada fakta bahwa negara ini dihuni banyak sekali komunitas agama yang hidup berdampingan.
Sekarang lebih lagi, pesannya adalah agar Lebanon didengar.
Ini semakin urgen mengingat berita mengenai demonstran Lebanon yang membakar sebuah restoran waralaba Amerika di Kota Tripoli, Lebanon utara, pada 14 September untuk memprotes video The Innocence of Muslims. Kesimpangsiuran dan misinformasi seputar video tersebut menyulut reaksi besar yang tak sepadan di seluruh dunia muslim terhadap orang-orang yang tak bersalah yang tidak bertanggung jawab atas video YouTube fitnah ini. Namun, dengan adanya rintangan seperti ini sekalipun, ada harapan bagi Lebanon.
Lebanon boleh terperangkap dalam pergulatan kekuasaan di kawasan dan internasional, namun ada banyak alasan untuk merasa optimistis dengan masa depannya. Sebagian besar orang Lebanon tahu bahwa negara mereka hanya bisa berhasil jika mereka mengakui, menghargai dan menghormati agama mereka satu sama lain.
Lebih dari sekadar pesan harapan dan perdamaian, kunjungan Paus Benediktus ke Timur Tengah merupakan sebuah upaya untuk melihat apakah kenyataan sesuai yang diharapkan dan sebuah pengingat penting bahwa ini adalah negeri yang menyatukan berbagai agama. Negeri ini adalah rumah bagi umat Kristen dan muslim. Ketika sebuah video gelap bisa menyebabkan kekacauan, pengingat ini menjadi penting.
Yang diperlukan sekarang adalah agar rakyat Lebanon terus menumbuhkan koeksistensi. Seperti kata seseorang ketika menyaksikan Paus di televisi di sebuah kafe di Beirut: “Bagus kalau kita semua menyambutnya, namun tergantung kita untuk bisa membuat peristiwa ini terus bermakna dalam jangka panjang.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar