Guru yang
Membebaskan
Sidharta Susila ; Pemerhati
Pendidikan; Tinggal di Muntilan, Magelang
|
KOMPAS,
27 September 2012
Guru itu lentera kehidupan. Perjumpaannya
bersama para murid adalah perjumpaan yang mencerahkan. Guru hadir menyingkapkan
tabir gelap para muridnya dengan ilmu dan tubuhnya. Pendeknya, hidup guru
adalah lentera bagi para muridnya.
Hal itu penulis sadari ketika membaca
kisah-kisah guru kehidupan. Pada buku Tokoh + Pokok (2011), Goenawan Mohamad
menulis kisah guru-guru besar negeri ini. Ada kisah tentang Kartini yang kental
dengan tema ”Habis Gelap Terbitlah Terang”, juga Hatta atau Sjahrir.
Tokoh-tokoh ini menginspirasi kehidupan bangsa kita hingga hari ini.
Ada yang sama dari kisah mereka. Ketiga tokoh
itu mengalami masa-masa kehidupan yang sulit. Mereka punya pengalaman
ketertindasan sebagai manusia, terlebih sebagai bangsa. Yang menarik, dan
mungkin yang membuat mereka berbeda, adalah mereka tak hanyut oleh nestapa.
Masa sulit dan penindasan justru memantik semangat juang mereka untuk menggapai
kehidupan yang lebih cerah. Lebih mengagumkan lagi adalah mereka peduli dan
berjuang untuk mencerahkan sesama.
Pada peristiwa itu kita belajar bahwa situasi
sulit, bahkan ekstrem sulit, kadang berguna bagi proses pencerahan. Dalam
situasi hidup yang tidak ideal itu seseorang seperti bertarung dan diseret
hingga sampai pada kesadaran diri terdalamnya. Memang ia bisa menyerah dan
musnah. Namun, ketiga tokoh kita itu menunjukkan kemungkinan lain, yaitu
berpikir dan bertindak yang lain demi menggapai pencerahan diri dan bangsanya.
Di sini kita belajar: kehidupan yang tidak ideal adalah ruang dan saat yang
istimewa bagi seorang pendidik.
Kreatif dalam Keterbatasan
Kisah para guru Laskar Pelangi menunjukkan
hal serupa. Kehidupan yang sulit terkadang justru menuntun para guru untuk
menemukan kemungkinan lain dalam mendidik dan mencerdaskan anak didiknya.
Hingga hari ini kita selalu saja dibuat kagum
dengan cara-cara sederhana tetapi cerdas dari para guru di tempat pembelajaran
yang sulit untuk mencerdaskan para muridnya. Itulah yang sering ditunjukkan
para guru kreatif. Keterbatasan justru sering menjadi ruang yang menantang
sekaligus menuntun mereka untuk menemukan metode pembelajaran yang terbaik.
Di sini kita belajar, pergulatan guru
menerabas kehidupan yang sulit, tertindas, dan menantang adalah berkat bagi
kehidupan, khususnya dunia pendidikan. Para guru yang berhasil menerabas
kesulitan hidup dengan tetap merawat idealisme sebagai pendidik pada akhirnya
memuncratkan gairah hidup dan mencerahkan kehidupan. Itu tak mengherankan
karena para guru semacam itu hidupnya dilimpahi semangat juang. Ia memompa daya
juang dan menolak menjadi pecundang kehidupan.
Jiwa guru yang menolak dipecundang realitas
kehidupan yang pahit pada akhirnya menyengat jiwa anak didiknya. Menolak
dipecundang adalah ekspresi tentang berpikir yang lain (alternatif). Dengan
sikap itu seorang guru tidak mudah tunduk, kalah, dan menyerah. Ia tetap mampu
menjadi orang bebas yang berpegang teguh pada prinsip dan idealisme.
Sampai di sini kita menyadari, guru yang
bebas adalah guru yang mampu berpikir serta bersikap yang lain tentang realitas
hidupnya yang sulit. Lalu mereka memperjuangkan sikapnya dengan sebuah aksi
nyata. Pelan-pelan ia kian membadankan karakter sebagai manusia bebas itu
hingga menjadi spontanitas ekspresi hidupnya. Guru-guru semacam itu bakal
menyalakan api kerinduan jiwa akan kebebasan yang menuntun kita untuk berpikir
yang lain.
Negeri ini butuh guru-guru semacam itu. Guru
yang berlimpah semangat juang, menolak menjadi pecundang, teguh pada idealisme,
hingga mampu menawarkan dan melakukan yang lain. Guru semacam itulah yang bakal
terus menggulirkan kehidupan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar