Tamparan
Menuju 2014
Saldi Isra ; Guru Besar
Hukum Tata Negara,
Direktur
Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang;
Anggota
Badan Pekerja Forum Kebangsaan Gerakan Indonesia Memilih
|
KOMPAS,
26 September 2012
Tanpa harus menunggu
perhitungan akhir Komisi Pemilihan Umum Daerah, hasil pemilihan gubernur DKI
Jakarta: pasangan calon Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki)
menang atas pasangan Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara).
Bahkan, tak perlu waktu lama
pula, Fauzi Bowo pun langsung memberikan ucapan selamat kepada Jokowi. Dalam
batas penalaran yang wajar, hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta seharusnya
dimenangkan oleh pasangan Foke-Nara. Selain posisi Foke yang petahana gubernur
DKI Jakarta, pasangan Foke-Nara didukung pula oleh koalisi Partai Demokrat,
Golkar, Hanura, PAN, PKB, PBB, PMB, PKNU, PPP, dan PKS. Berdasarkan hasil
pemilu anggota DPRD DKI Jakarta 2009, koalisi tambun (over-size) parpol pendukung Foke-Nara ini meraih lebih dari 73
persen suara pemilih.
Sementara itu, masih dalam
batas penalaran yang wajar pula, harusnya duet Jokowi-Basuki tak masuk putaran
kedua, apalagi memenangi pemilihan. Selain bukan petahana di DKI Jakarta,
Jokowi-Basuki hanya didukung oleh PDI-P dan Gerindra dengan dukungan suara
kurang dari 16 persen pemilih. Jikalau hanya melihat basis dukungan parpol,
capaian Jokowi-Basuki dapat dinilai amat fenomenal.
Dari berbagai perspektif,
kemenangan Jokowi-Basuki adalah bentuk kemenangan akal sehat dan sekaligus
kehancuran pragmatisme parpol pendukung Foke-Nara. Dikatakan begitu, gejala
umum yang berkembang beberapa waktu belakangan, parpol lebih mengandalkan
dukungan uang dan kekuasaan daripada figur yang punya pemahaman kuat terhadap
kebutuhan rakyat.
Merujuk bentangan fakta
hasil pemilihan gubernur DKI, yang perlu dapat apresiasi adalah logika pemilih
tak mau ditaklukkan oleh logika parpol. Bahkan, saat parpol berjalan dengan
logikanya sendiri, berapa pun banyak dan besarnya koalisi dibangun, pemilih
mampu membuktikan, daulat rakyat lebih mangkus dibandingkan daulat parpol.
Apabila diletakkan dalam
konteks target yang hendak dicapai dari pemilu, kekalahan Foke-Nara harus
dibaca sebagai bentuk hukuman nyata pemilih bagi parpol yang tak peduli dengan
suara rakyat. Bahkan lebih jauh dari itu, hasil pemilihan gubernur DKI
benar-benar menjadi tamparan hebat di tengah hegemoni parpol menuju Pemilu
2014.
Tetap Sentralistik
Hadirnya pasangan Jokowi-
Basuki memang terbilang unik. Selain pendatang baru di tengah belantara politik
Jakarta, keduanya lebih tepat dikatakan sebagai eksperimen PDI-P dan Gerindra
di tengah ”kerumunan” parpol yang sejak semula cenderung merapat ke Foke-Nara.
Karena itu, tidak terlalu berlebihan pendapat politikus senior Partai Golkar,
Zainal Bintang, hasil Pilkada DKI menunjukkan bulan madu politik pencitraan dan
parpol yang hanya berorientasi pada kekuasaan sudah di ujung senja (Kompas,
22/9).
Sebetulnya, tawaran untuk
memilih tokoh alternatif tidak hanya bersumber dari duet Jokowi-Basuki. Ketika
putaran pertama, Faisal Basri-Biem Benjamin juga hadir sebagai calon
alternatif. Dengan adanya calon alternatif yang tidak tunggal, keberhasilan
pasangan Jokowi-Basuki membuktikan bahwa calon alternatif masih perlu dukungan
mesin yang efektif untuk meraih dukungan pemilih. Tanpa itu, bukan tidak
mungkin nasib yang menimpa Faisal-Biem akan berlaku pula kepada Jokowi-Basuki.
Terlepas dari keberhasilan
pasangan racikan PDI-P dan Gerindra ini, apabila boleh sedikit menoleh ke
belakang, hadirnya pasangan Jokowi-Basuki belum merupakan hasil dari sebuah
proses internal parpol yang terbuka dan partisipatif. Dengan posisi itu,
hadirnya duet Jokowi-Basuki tetap harus dipandang sebagai bentuk hegemoni
parpol dengan proses yang sentralistik (top-down).
Untungnya hasil pilihan hegemoni masih bisa diterima pemilih sebagai tokoh
alternatif.
Sekiranya Jokowi-Basuki
ditawarkan sebagai hasil dari sebuah proses yang terbuka dengan pola yang bottom-up, kehadirannya akan kelihatan
lebih elegan dan orisinal. Banyak kalangan berpikir, dengan proses yang
partisipatif, parpol dipaksa memiliki pola yang demokratis dalam mengajukan
calon guna mengisi jabatan politik strategis, termasuk dalam pengisian jabatan
kepala daerah. Tanpa sebuah pola yang baku, hegemoni parpol sulit dipangkas.
Dalam proses pemilihan gubernur DKI, misalnya, parpol bisa menawarkan calon
alternatif yang diterima rakyat. Namun, karena pola internal yang tidak baku
dan tak terbuka, sangat mungkin di tempat lain terjadi perilaku yang
sebaliknya.
Menuju 2014
Merupakan pilihan bijak
sekiranya kita segera keluar dan meninggalkan euforia kemenangan duet
Jokowi-Basuki. Menuju Pemilu 2014, terutama pemilihan presiden (dan wakil
presiden), berharap kepada parpol untuk menghadirkan tokoh alternatif sangat
mungkin seperti seekor burung pungguk merindukan bulan. Bagaimanapun, sejauh
ini belum kelihatan partai membuka dan menyediakan ruang bagi calon alternatif.
Kalau ada yang berpandangan
bahwa kemunculan Jokowi-Basuki membuka peluang munculnya kader potensial dari
internal parpol yang selama ini terhalang hegemoni elite tertinggi parpol
menuju Pemilu 2014, pandangan demikian akan segera terkoreksi. Melihat gejala
saat ini, parpol lebih banyak memosisikan diri sebagai ”perahu” bagi elite tertinggi
menuju 2014. Pola yang mapan terbangun, posisi sebagai elite tertinggi parpol
menjadi semacam jalan bebas hambatan menuju posisi RI-1 atau RI-2.
Karena itu, kader potensial
yang berasal dari internal parpol yang berpeluang jadi calon alternatif sulit
muncul ke permukaan. Dalam hal ini, figur seperti Teras Narang dan Ganjar
Pranowo (PDI-P), Jusuf Kalla dan Hajriyanto Tohari (Golkar), Yuddy Chrisnandi
(Hanura), Lukman Hakim Saifuddin (PPP), Fadli Zon (Gerindra), serta puluhan
nama lainnya tak mungkin menjadi figur alternatif. Mereka hanya mungkin hadir
sekiranya parpol melakukan proses perekrutan yang bottom-up dan terbuka.
Kalau yang dari internal
tidak mudah, tentunya calon alternatif dari luar parpol jauh lebih sulit.
Merujuk aturan yang ada, kesulitan ini benar-benar jadi jalan buntu karena tak
tersedianya ruang bagi calon perseorangan (yang bukan diajukan parpol) menjadi
calon presiden. Karena itu, figur seperti Moh Mahfud MD, Anies Baswedan, Irman
Gusman, Imam B Prasodjo, Teten Masduki, dan sederetan nama lain sulit hadir
menjadi calon sebagai alternatif. Bahkan, kalau publik mendesak PDI-P dan
Gerindra mengajukan Jokowi kembali sebagai calon alternatif menuju Pemilu 2014,
kedua parpol ini pasti akan menolak.
Dalam batas-batas tertentu,
hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta memberi sedikit ”kemewahan” dalam panggung
politik negeri ini. Namun, kemewahan akan munculnya calon alternatif dalam
Pemilu 2014 hampir mustahil terjadi. Kemustahilan itu hanya mungkin meluruh
kalau parpol mau dan mampu mengambil pelajaran dari tamparan yang hadir dari
hasil pemilihan gubernur DKI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar