Kamis, 27 September 2012

Konstitusi dan Politik Agraria


Konstitusi dan Politik Agraria
Syaiful Bahari Pemerhati Masalah Agraria
KOMPAS, 26 September 2012


Eskalasi konflik agraria di Tanah Air yang melibatkan rakyat versus pengusaha atau rakyat versus pemerintah pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan ketatanegaraan.

Konflik yang menimbulkan banyak korban—harta benda dan jiwa, terutama di pihak rakyat— tak bisa dilihat semata-mata sebagai benturan kepentingan penguasaan agraria: antarpihak bersengketa atau ketidakberesan tata kelola administrasi pertanahan nasional sehingga mengakibatkan tumpang tindih hak atas tanah. Dimensi konflik juga kian meluas dan kompleks, tak hanya vertikal antara rakyat dan pemerintah atau pemilik modal, tetapi sudah merambah ke konflik horizontal antarpengusaha, pemerintah dengan pengusaha, atau antarinstitusi pemerintah. Karena ketakpastian hukum ini, tak sedikit pihak menempuh jalan pintas untuk saling klaim hak penguasaan tanah, mulai dari cara kekerasan hingga penyuapan pejabat negara.

Lebih jauh ketidakpastian hukum di sektor agraria ini disebabkan terlalu lamanya negara mengabaikan amanat Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, produk legislasi yang tak sinkron dan menimbulkan tumpang tindih antar-UU, dan penafsiran sepihak pemerintah atas doktrin hak menguasai negara (HMN). Dengan demikian, masalah ini bukan lagi sekadar implementasi kebijakan, melainkan sudah bersentuhan dengan norma konstitusi.

HMN dan Hak Bangsa
Hak konstitusi adalah hak yang melekat pada setiap warga negara untuk memperoleh perlindungan, kesetaraan kedudukan di muka hukum, kehidupan yang layak, dan kesejahteraan. Berkaitan dengan bumi, air, dan kekayaan alam lain telah diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Pertanyaan mendasarnya dalam konteks konstitusi dan ketatanegaraan, untuk siapa bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia dan bagaimana kedudukan negara atas sumber daya alam?

Dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 telah disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini selalu dijadikan cantolan semua UU yang berhubungan dengan sumber daya alam untuk melegitimasi kekuasaan absolut negara dalam menguasai tanah dan kekayaan alam lain.

Akar konflik pertanahan selama ini bersumber dari penyimpangan penafsiran hak menguasai negara atas tanah. Bahwa negara meskipun dalam norma Pasal 33 UUD 1945 diberikan hak sebatas menguasai dan bukan memiliki, norma ini ditafsirkan sebagai kekuasaan absolut yang digunakan berdasarkan kehendak negara sendiri. Padahal, frasa Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa hak penguasaan yang diberikan konstitusi kepada negara adalah ditujukan untuk kemakmuran rakyat.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 002/PUU-I/ 2003, uji materi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah memperjelas pengertian hak menguasai negara, sebagaimana dalam pertimbangannya menyatakan bahwa ”Dalam hubungan pengertian negara terdapat unsur rakyat, wilayah, dan pemerintah. Dalam konteks pemerintahan dengan sistem demokrasi, kedaulatan rakyat dihargai dan diberikan posisi kuat dan UUD 1945 sebagai hukum dasar negara tertinggi menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan”.

Rakyat secara kolektif dikonstruksikan UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Subadi, Jakarta, 2010, hal 81, 83).

Sejalan dengan jiwa dan filosofi UUD 1945, dalam penjelasan Pasal 1 Ayat 1 dan 2 UUPA Tahun 1960 dinyatakan bahwa hak-hak atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah ”hak bangsa”. Hak bangsa adalah semacam ”hak ulayat” yang dalam konsep hukum tanah nasional merupakan ”hak penguasaan atas tanah yang tertinggi”. Ini berarti, segala macam hak, baik hak ulayat, hak individu, hak penguasaan negara atau badan hukum, semuanya bersumber pada hak bangsa.

UUPA 1960 dalam Pasal 1 Ayat 3 juga menegaskan, hubungan hak bangsa bersifat abadi. Artinya, selama rakyat Indonesia sebagai bangsa dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia masih ada, dalam keadaan bagaimanapun, tak ada kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan ini. Hak bangsa bersifat absolut, artinya tak ada yang dapat mengganggu dan menyingkirkan hak ini, karena hak bangsa melekat dalam konstitusi (UUD 1945) sehingga barang siapa mengganggu, maka ia bertentangan dengan konstitusi.

Mengubah Paradigma
Meski terjadi penyimpangan, asas hak menguasai negara tidak perlu dihapus sepanjang penafsirannya sejalan dengan norma dan filosofi UUD 1945. Hal yang harus diwaspadai adalah penyelundupan tafsir asas tersebut dengan memasukkan jiwa domein verklaring warisan kolonial Belanda ke dalam UU yang sebenarnya sudah dihapus sejak berlakunya UUPA Tahun 1960.

Bersumber pada penjelasan di atas, sudah seharusnya DPR dan pemerintah mengkaji ulang peraturan perundang-undangan sesuai norma konstitusi dan merujuk pada jiwa dan filosofi UUPA 1960 agar tidak ”ahistoris” dalam membuat UU yang berkaitan dengan agraria. Review peraturan perundang-undangan ini juga ditujukan untuk mengharmonisasi dan mengintegrasikan seluruh kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia agar punya kedudukan yang sama dalam memanfaatkan sumber kekayaan alam Indonesia menuju kemakmuran bersama. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar