Berhaji secara
Bermartabat
Biyanto ; Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
SINDO,
28 September 2012
Secara bertahap calon jamaah haji (CJH) asal Indonesia telah mulai
diberangkatkan ke Tanah Suci. Menurut data Direktorat Jenderal (Dirjen)
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag),jumlah CJH secara
nasional pada tahun ini mencapai 212.000 dengan perincian 194.000 CJH reguler
dan 17.000 CJH plus.
Di samping mengumumkan kuota CJH, juga dipaparkan data bahwa
hingga saat ini CJH yang telah masuk daftar tunggu mencapai 1,6 juta.Akibatnya
masa tunggu CJH pun kian panjang, mencapai 3–12 tahun, bergantung pada jumlah
daftar tunggu di setiap provinsi. Masa tunggu CJH ini tidak hanya terjadi pada
haji reguler, melainkan juga haji plus. Meningkatnya minat umat untuk beribadah
haji rasanya patut disyukuri. Karena itu berarti menunjukkan perbaikan
kesejahteraan umat sekaligus gairah dalam beribadah.
Yang harus dilakukan Kemenag adalah membuat regulasi yang dapat memperpendek masa tunggu. Pada konteks inilah ikhtiar Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Anggito Abimanyu untuk mengampanyekan ibadah haji cukup sekali dalam seumur hidup harus didukung. Tokoh agama perlu terlibat dalam kampanye ini. Apalagi fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad menunjukkan bahwa beliau hanya berhaji sekali.
Ibadah haji memang selalu memberikan pengalaman keagamaan yang mendalam. Allah pun memanggil jamaah haji dengan sebutan yang menyentuh hati nurani, tamu Allah (wafdullah). Dengan panggilan sebagai tamu Allah berarti Dia yang akan menjadi tuan rumah. Karena itu dikatakan bahwa jamaah haji berkunjung ke rumah Allah (Baitullah, Kakbah). Sebagai tuan rumah, berarti Allah yang akan menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi jamaah haji.
Berkaitan dengan keutamaan ibadah haji Rasulullah juga menyatakan bahwa haji yang mabrur pahalanya tiada lain kecuali surga.Disebutkan pula bahwa pahala orang berhaji sama dengan berjihad di jalan Allah. Secara keseluruhan praktik ibadah haji tidak dapat dilepaskan dari Nabi Ibrahim. Karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa jamaah haji sedang menapaktilasi apa yang pernah dilaksanakan Ibrahim.
Dengan kata lain, sejatinya jamaah haji sedang bermain peran. Lakon yang dimainkan adalah perjalanan rohani Ibrahim hingga mencapai kesempurnaan hidup sebagai hamba Allah. Pertanyaannya, apakah setiap jamaah haji berhasil menjalankan peran dengan baik? Jawabnya tentu berpulang pada kemampuan setiap jamaah. Tapi umumnya jamaah haji berhasil menjalani peran dengan baik. Buktinya, tidak pernah terdengar ada jamaah haji yang “kapok”berkunjung ke Baitullah.
Bahkan sebaliknya, mereka selalu merindukan untuk berkunjung kembali ke Baitullah. Karena ibadah haji itu laksana seni berperan, bekal ketakwaan menjadi sangat penting. Sebab,jika tidak berbekal ketakwaan, jamaah haji pasti akan bertanya-tanya, bahkan mungkin tertawa, tatkala menjalankan seluruh proses ibadah haji.
Betapa tidak, protokoler dalam ibadah haji mengharuskan jamaah mengelilingi Kakbah (tawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwa (sai), berkumpul di Arafah (wuquf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), menggunting atau mencukur rambut (tahalul), mencium batu hitam (hajar aswad), pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki tidak boleh menutup mata kaki, dan apabila pakaian ihram telah dikenakan tidak boleh berhias lagi. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut bulu, apabila dilakukan saat berpakaian ihram, akan dikenai denda.
Terlebih jika bercumbu, membunuh binatang, dan mencabut tanaman. Prosesi ibadah haji yang demikian jika tidak dihayati sebagai perintah Allah tentu akan mengundang pertanyaan. Karena itulah yang pertama kali perlu diluruskan adalah niat.Jamaah haji harus menata niat.Harus diyakini bahwa ibadah haji merupakan bagian dari proses menuju kesempurnaan dalam beragama.Dengan niat yang lurus, jamaah haji akan menyadari bahwa apa yang dilihat dan dilakukan merupakan simbol-simbol yang sarat makna.
Apabila dihayati dengan baik, semua itu akan mampu mengantarkan jamaah haji dalam kehidupan yang diwarnai kesadaran mengenai keberadaan Allah. Sebagai contoh, Baitullah yang mengarah ke segala penjuru jelas melambangkan bahwa Allah berada di mana saja. Ketika kesadaran ini muncul, para tamu Allah tanpa segan akan mencium atau paling tidak melambaikan tangan ke Kakbah. Berpakaian serbaputih (ihram) jika dipahami dengan baik dapat menanamkan kesadaran mengenai persamaan manusia di hadapan Allah.
Para tamu Allah diajari untuk menanggalkan pakaian kebesaran yang seringkali melahirkan sikap angkuh atau sombong di hadapan orang lain. Pakaian kebesaran juga dapat membedakan status sosial antarpribadi. Pakaian ihram yang digunakan tamu Allah melambangkan persamaan dan tiadanya perbedaan antarumat manusia. Untuk mendukung agar jamaah dapat memahami peran yang dimainkan dengan penuh penghayatan hingga mencapai haji yang bermartabat (mabrur), jelas dibutuhkan peranan Kemenag.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ibadah haji, Kemenag harus meningkatkan pelayanan. Ini penting ditekankan karena selalu ada keluhan dan kritik dari jamaah berkaitan dengan pengelolaan ibadah haji.Di antara fase krusial yang menjadi sumber kritik adalah pendaftaran, transparansi pengantrean, pelunasan, karantina di asrama haji, penerbangan, pemondokan, ritual ibadah haji, makanan, dan pemulangan. Persoalan penempatan jamaah di Makkah, Mina,dan Madinah yang selalu berubah karena harus diundi juga menjadi sumber kritik.
Jika Kemenag mampu menghadirkan pelayanan prima, hal itu akan sangat berarti bagi jamaah.Tapi jika sebaliknya, sekali lagi jamaah haji dan publik pasti akan berlogika dengan sudut pandang masingmasing. Misalnya, sangat mungkin ada jamaah yang berpikiran bahwa BPIH yang besar ternyata masih diselewengkan.
Dugaan korupsi yang akhir-akhir ini terjadi di Kemenag dapat menjadi pembenar bagi sebagian jamaah yang berpikiran negatif tersebut. Inilah momentum yang tepat bagi Kemenag untuk menunjukkan integritasnya dalam mengelola haji secara bermartabat. Apalagi jajaran Kemenag telah mendapat suntikan energi sekelas Anggito Abimanyu. Semoga! ●
Yang harus dilakukan Kemenag adalah membuat regulasi yang dapat memperpendek masa tunggu. Pada konteks inilah ikhtiar Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Anggito Abimanyu untuk mengampanyekan ibadah haji cukup sekali dalam seumur hidup harus didukung. Tokoh agama perlu terlibat dalam kampanye ini. Apalagi fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad menunjukkan bahwa beliau hanya berhaji sekali.
Ibadah haji memang selalu memberikan pengalaman keagamaan yang mendalam. Allah pun memanggil jamaah haji dengan sebutan yang menyentuh hati nurani, tamu Allah (wafdullah). Dengan panggilan sebagai tamu Allah berarti Dia yang akan menjadi tuan rumah. Karena itu dikatakan bahwa jamaah haji berkunjung ke rumah Allah (Baitullah, Kakbah). Sebagai tuan rumah, berarti Allah yang akan menyambut, melayani, dan memberikan rasa aman bagi jamaah haji.
Berkaitan dengan keutamaan ibadah haji Rasulullah juga menyatakan bahwa haji yang mabrur pahalanya tiada lain kecuali surga.Disebutkan pula bahwa pahala orang berhaji sama dengan berjihad di jalan Allah. Secara keseluruhan praktik ibadah haji tidak dapat dilepaskan dari Nabi Ibrahim. Karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa jamaah haji sedang menapaktilasi apa yang pernah dilaksanakan Ibrahim.
Dengan kata lain, sejatinya jamaah haji sedang bermain peran. Lakon yang dimainkan adalah perjalanan rohani Ibrahim hingga mencapai kesempurnaan hidup sebagai hamba Allah. Pertanyaannya, apakah setiap jamaah haji berhasil menjalankan peran dengan baik? Jawabnya tentu berpulang pada kemampuan setiap jamaah. Tapi umumnya jamaah haji berhasil menjalani peran dengan baik. Buktinya, tidak pernah terdengar ada jamaah haji yang “kapok”berkunjung ke Baitullah.
Bahkan sebaliknya, mereka selalu merindukan untuk berkunjung kembali ke Baitullah. Karena ibadah haji itu laksana seni berperan, bekal ketakwaan menjadi sangat penting. Sebab,jika tidak berbekal ketakwaan, jamaah haji pasti akan bertanya-tanya, bahkan mungkin tertawa, tatkala menjalankan seluruh proses ibadah haji.
Betapa tidak, protokoler dalam ibadah haji mengharuskan jamaah mengelilingi Kakbah (tawaf), berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwa (sai), berkumpul di Arafah (wuquf), melontar dengan batu-batu kecil (jumrah), menggunting atau mencukur rambut (tahalul), mencium batu hitam (hajar aswad), pakaian yang dikenakan pria tidak boleh berjahit, alas kaki tidak boleh menutup mata kaki, dan apabila pakaian ihram telah dikenakan tidak boleh berhias lagi. Bersisir, menggunting kuku, dan mencabut bulu, apabila dilakukan saat berpakaian ihram, akan dikenai denda.
Terlebih jika bercumbu, membunuh binatang, dan mencabut tanaman. Prosesi ibadah haji yang demikian jika tidak dihayati sebagai perintah Allah tentu akan mengundang pertanyaan. Karena itulah yang pertama kali perlu diluruskan adalah niat.Jamaah haji harus menata niat.Harus diyakini bahwa ibadah haji merupakan bagian dari proses menuju kesempurnaan dalam beragama.Dengan niat yang lurus, jamaah haji akan menyadari bahwa apa yang dilihat dan dilakukan merupakan simbol-simbol yang sarat makna.
Apabila dihayati dengan baik, semua itu akan mampu mengantarkan jamaah haji dalam kehidupan yang diwarnai kesadaran mengenai keberadaan Allah. Sebagai contoh, Baitullah yang mengarah ke segala penjuru jelas melambangkan bahwa Allah berada di mana saja. Ketika kesadaran ini muncul, para tamu Allah tanpa segan akan mencium atau paling tidak melambaikan tangan ke Kakbah. Berpakaian serbaputih (ihram) jika dipahami dengan baik dapat menanamkan kesadaran mengenai persamaan manusia di hadapan Allah.
Para tamu Allah diajari untuk menanggalkan pakaian kebesaran yang seringkali melahirkan sikap angkuh atau sombong di hadapan orang lain. Pakaian kebesaran juga dapat membedakan status sosial antarpribadi. Pakaian ihram yang digunakan tamu Allah melambangkan persamaan dan tiadanya perbedaan antarumat manusia. Untuk mendukung agar jamaah dapat memahami peran yang dimainkan dengan penuh penghayatan hingga mencapai haji yang bermartabat (mabrur), jelas dibutuhkan peranan Kemenag.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ibadah haji, Kemenag harus meningkatkan pelayanan. Ini penting ditekankan karena selalu ada keluhan dan kritik dari jamaah berkaitan dengan pengelolaan ibadah haji.Di antara fase krusial yang menjadi sumber kritik adalah pendaftaran, transparansi pengantrean, pelunasan, karantina di asrama haji, penerbangan, pemondokan, ritual ibadah haji, makanan, dan pemulangan. Persoalan penempatan jamaah di Makkah, Mina,dan Madinah yang selalu berubah karena harus diundi juga menjadi sumber kritik.
Jika Kemenag mampu menghadirkan pelayanan prima, hal itu akan sangat berarti bagi jamaah.Tapi jika sebaliknya, sekali lagi jamaah haji dan publik pasti akan berlogika dengan sudut pandang masingmasing. Misalnya, sangat mungkin ada jamaah yang berpikiran bahwa BPIH yang besar ternyata masih diselewengkan.
Dugaan korupsi yang akhir-akhir ini terjadi di Kemenag dapat menjadi pembenar bagi sebagian jamaah yang berpikiran negatif tersebut. Inilah momentum yang tepat bagi Kemenag untuk menunjukkan integritasnya dalam mengelola haji secara bermartabat. Apalagi jajaran Kemenag telah mendapat suntikan energi sekelas Anggito Abimanyu. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar