Ide Kebangsaan
Gus Dur
Ali Masykur Musa ; Ketua
Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
|
REPUBLIKA,
27 September 2012
Dalam
rangka memperingati seribu hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah
tepat jika dikaji tentang pemikirannya, terutama dalam kehidupan bernegara. Di
NU, terlebih Indonesia, ada begitu banyak insan yang cerdas dan memiliki visi
kepemimpinan yang bagus. Dari sederet nama pemimpin, ada nama Abdurrahman Wahid
atau yang biasa kita panggil Gus Dur. Hanya, Gus Dur bukan pemimpin biasa.
Gus
Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang-orang semacam itu.
Gus
Dur adalah manusia multidimensional. Gus Dur tidak hanya melahap pemikiran
al-Ghazali sampai Ibn Rushd. Gus Dur juga mempunyai semangat tinggi untuk
berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah,
dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia
pun berkelana cukup jauh membaca karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels,
juga Immanuel Kant dan Bonaventura.
Sudah
terlampau banyak penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai perspektif, mulai
dari segi ilmiah hingga khazanah gaib. Puluhan atau bahkan ratusan buku yang
mengulas rinci noktah-noktah pemikiran Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala
Gus Dur masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia.
Dari
berbagai pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk
mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan
dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya
tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.
Komitmen Humanisme
Kini,
di tengah masalah kebangsaan di Indonesia yang masih menghadapi tantangan yang
tidak ringan, perlu kiranya kita memahami akar pemikiran Gus Dur. Memahami akar
pemikiran Gus Dur adalah bentuk antisipasi bersama untuk menyelamatkan
Pancasila.
Akar
pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen
kemanusiaan (humanism-insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur,
komit men kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan
tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam dalam masyarakat modern dan
pluralistik Indonesia.
Komitmen
kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki
kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial. Menurut Gus Dur, dua elemen
asasi, yaitu humanisme dan toleransi dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan
politik komunitas Islam di Indonesia.
Modus
politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen
terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus
mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya
diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah
wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah, sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di
dalam politik Gus Dur selalu menghindari formalitas Islam dalam negara.
Akar
pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah penguatan civil society. Ia berpendapat, paradigma
baru yang harus dikembangkan oleh umat Islam adalah mengambil titik masuk
strategis, yaitu pembentukan civil
society (pemberdayaan rakyat bawah). Pengembangan orientasi civil society ini sejalan dengan NU
setelah kembali ke Khittah 1926.
Civil
society sejalan dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi hanya membatasi
diri pada upaya pemecahan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan warga
Nahdliyin, tetapi diperluas hingga menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU
mengakui bahwa wilayah esensi bagi sebuah civil
society yang mandiri kini menjadi komitmen utama perjuangannya. Ketiga, NU
pascaKhittah berniat menitikberatkan geraknya pada level masyarakat untuk
memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya.
Pancasila dan Islam
Kajian
ini mendapat perhatian dikarenakan masih banyak pemikir Islam dan literatur
Islam yang mendikotomikan negara Pancasila dan negara Islam. Ketegangan antara
umat Islam dan pemerintah dapat dilihat ketika kebijakan menjadikan Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial politik dan sosial
keagamaan.
Mulai
saat itu kajian tentang Pancasila dalam perspektif Islam berlangsung sangat
intens dan baru mulai reda ketika NU, yang memaknainya atas dasar-dasar
pemikiran keagamaan, menerima Pan casila sebagai asas organisasi pada Muktamar
ke-27 di Situbondo. Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila adalah sebuah ke sepakatan
politik yang memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk men gembangkan
kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan.
Dalam
pandangan Islam, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara
agama, bukan berarti tidak mem perbolehkan umat Islam men jalankan syariat
agamanya. Bagi Gus Dur, agama mempunyai peranan sebagai sumber pandangan hidup
bangsa dan negara. Ini adalah inti hubungan antara Islam dan Pancasila.
Namun,
pada saat yang sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan pemeluk agama untuk
menjalankan ajaran agamanya. Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai
agama berperan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang
diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.
Oleh
karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di tahun
1992 berikrar: “Pancasila adalah serangkaian
prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara
yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan
jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau
dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam. Tanpa
Pancasila negara RI tidak akan pernah ada.”
Wujud
pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama
NU 1983 di Situbondo, bahwa Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final.
Ini memang keputusan jam’iyah NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun,
tanpa mengecilkan peranan tokoh yang lain, patut disadari Gus Dur merupakan
salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Seribu hari Gus Dur
berpulang, rasanya kita me merlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar