Sabtu, 29 September 2012

KUHP-kan Tawuran Siswa


KUHP-kan Tawuran Siswa
Reza Indragiri Amriel ;  Dosen Psikologi Forensik Universitas Bina Nusantara 
JAWA POS, 29 September 2012


TAWURAN pelajar mengakibatkan sesama mereka luka-luka, bahkan hingga kehilangan nyawa! Pelajar menjadi pembunuh! Sebutan itu berat masuk di nalar, tapi nyata. Kejadiannya kian kerap terulang. 

Tragedi tersebut menghangatkan kembali wacana tentang pentingnya pendidikan karakter. Saya setuju. Orang tua perlu berperan lebih aktif dalam proses pendidikan anak-anak mereka, dan tidak ''memasrahkan''-nya kepada pihak sekolah semata. Baguslah itu. Siswa perlu diberi kesempatan lebih luas untuk mengekspresikan gairah muda sesuai tuntutan psikologis mereka. Ide yang pantas didukung.

Tapi, semua gagasan tersebut butuh waktu tidak singkat agar dapat berproses, sehingga menghasilkan manfaat yang diharapkan. Masalahnya, problem paling akut saat ini, menurut saya, adalah menindak para pelajar yang menjelma sebagai pembunuh tersebut.

Kenakalan dan Kejahatan 

Pelajar yang melakukan pembunuhan, sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), bisa jadi masih berusia anak-anak. Di dalam UUPA tercantum bahwa anak adalah individu sejak berada dalam kandungan hingga sebelum 18 tahun. Kelakuan mereka yang tidak baik lazimnya dikategorikan sebagai kenakalan, bukan kejahatan. Konsekuensinya, anak yang sebenarnya telah melanggar hukum tidak patut dipidanakan.

Sebagai gantinya, kepada mereka, dikenakan cara-cara alternatif (alternative dispute resolution) seperti group conferencing. Tujuannya lebih pada membingkai persoalan anak sebagai persoalan keluarga, sekolah, bahkan masyarakat luas. Dengan pendekatan seperti itu, diyakini peluang keberhasilan proses edukasi ulang akan lebih besar menghasilkan anak dan keluarga (terutama orang tua) dengan perilaku yang telah termodifikasi.

Kesannya, sampai di situ memang ideal. Tapi, kalau kita mau konsekuen dengan UUPA, berarti pelajar yang telah melanggar hukum tidak dipidana, faktanya, pernahkah ada alternative dispute resolution yang diselenggarakan secara paripurna? Apakah pernah, misalnya, kedua keluarga (pelaku dan korban) dipertemukan? Apakah pemantauan berkala dilakukan terhadap anak dan keluarganya oleh otoritas terkait semacam dinas sosial? Paling tidak, karena pendekatan non pemidanaan membutuhkan dana yang tidak kecil serta kerja sistemik yang komprehensif, terintegrasi, serta berkesinambungan, saya ragu ada cerita sukses tentang pelaksanaan cara-cara alternatif dalam mengatasi anak Indonesia yang bermasalah dengan hukum.

Soal lain, kelakuan-kelakuan keji seperti yang dilakukan pelajar-pembunuh kerap dipandang sebagai manifestasi buruknya pengasuhan orang tua. Sekali lagi, jika kita mau konsekuen dengan UUPA dan pandangan tersebut, siswa (anak) pembunuh itu sesungguhnya berhak diasuh atau diangkat orang lain sesuai dengan peraturan yang berlaku (pasal 7 UUPA). Bahkan, pasal 13 UUPA menegaskan bahwa orang tua yang tidak melaksanakan kewajiban pengasuhan sebagaimana mestinya, baik dengan menelantarkan maupun memperagakan kekejaman atau perlakuan salah lainnya, dikenai pemberatan hukuman.

Sebagai catatan, penelantaran maupun kekejaman dan perlakuan salah merupakan tiga penjelasan umum tentang penyebab perilaku-perilaku buruk anak. Anak menampilkan perilaku buruk sebagai cara untuk menarik perhatian karena telah ditelantarkan atau sebagai balas dendam karena telah diperlakukan secara keji atau wujud duplikasi perilaku karena sehari-hari melihat orang tua ''berkomunikasi'' dengan mengandalkan kekerasan.

Kenyataannya, saya juga tidak percaya ada majelis hakim yang telah menyandarkan diri pada UUPA untuk menghukum orang tua anak berdasar kondisi-kondisi tersebut.

Atas dasar itu, titik berangkatnya, saya mengusulkan dilakukannya perubahan terhadap pengategorian usia anak. Usul ini dilatarbelakangi pandangan bahwa dalam kejadian ekstrem siswa membunuh siswa lain, saya justru melihat penggunaan acuan usia anak berdasar UUPA tidak menunjukkan keberpihakan terhadap korban.

Amicus Curiae 

Berbeda dari UUPA yang menetapkan kategori anak-anak berdasar usia biologis, agar proses hukum dapat berjalan ke depan, perlu dipertimbangkan bahwa penetapan kategori anak maupun pasca-anak diperhitungkan berdasar usia psikologisnya. Pergeseran penetapan usia anak ini diutamakan pada kasus-kasus berat, termasuk pembunuhan. 

Dengan melibatkan amicus curiae seperti dari kalangan psikologi perkembangan, daya nalar anak ditakar. Bila pelajar yang membunuh tersebut disimpulkan sudah mempunyai pemahaman yang memadai tentang baik buruk atau benar salah, menurut saya, tidak tepat lagi dia tetap dikategorikan sebagai anak hanya karena UUPA by default mengelompokkan usia biologisnya sebagai usia anak-anak. 

Sebagai gantinya, pelajar yang bukan anak lagi tersebut dimintai pertanggungjawaban secara pidana. KUHP ditegakkan. Undang-undang orang dewasa. Demikian pula, sejumlah pasal ketentuan pidana dalam UUPA (bab XII) ditegakkan tidak untuk meringankan ancaman bagi si pelaku, melainkan guna memberikan pemberatan sanksi bagi siswa-pembunuh tersebut.

Begitu juga untuk siswa provokator. Logika kerja yang sama, yakni penetapan kategori pasca-anak berdasar usia psikologis, bisa diterapkan terhadap siswa-siswa senior yang telah memprovokasi adik-adik kelas mereka untuk memusuhi bahkan mencederai dan menghabisi siswa-siswa dari sekolah yang berbeda. Siswa provokator dapat dijerat dengan dua pasal.

Pertama, pasal 160 KUHP: ''Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum..., dihukum dengan penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.00.''

Kedua, pasal 87 UUPA: ''Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak... atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan... dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).''
Laksanakan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar