Egalitarianisme
Gus Dur
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama
|
MEDIA
INDONESIA, 27 September 2012
TIDAK terasa 1.000 hari sudah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan
kita. Nusantara seharusnya berbangga hati karena dari rahimnya pernah terlahir
seorang Gus Dur, salah seorang putra terbaik bangsa. Tidak terukur sumbangsih
pemikiran dan keistikamahan bermujahadat dalam melakukan pelayanan cinta kasih
terhadap sesama. Saking banyaknya peran Gus Dur, tidak mudah bagi kita yang
orang awam untuk memahami Gus Dur. Memahami Gus Dur sama halnya dengan memahami
kondisi masyarakat yang begitu kompleks. Gus Dur ialah insan multidimensi. Semua
permasalahan masyarakat, mulai aspek sosial, politik, agama, budaya, hingga ke
sejahteraan, tak lepas dari jangkauan Gus Dur.
Keistimewaan Gus Dur ialah pantulan dari berbagai macam kualitas
yang melekat pada dirinya. Gus Dur cermin yang bening. Sebagai seorang yang
istimewa, Gus Dur juga sering kali melahirkan kontroversi dan selalu menerima
kritik. Kontroversi dan kritik yang tidak lepas dari kehidupan Gus Dur selalu
ditanggapinya dengan santai. Setenang ketika mengucapkan, “Begitu saja kok
repot.” Hal itu bisa dipahami karena Gus Dur berbuat bukan karena ingin dipuji
atau takut dicaci manusia. Ia berbuat dan melakukan sesuatu karena perspektif
kebenaran yang diyakininya. Ia tipe manusia autentik dan soliter. Pada diri Gus
Dur tidak ada kamus jaga image. Ia
tidak peduli kepada penilaian manusia sebab yang ada di hatinya ialah penilaian
Tuhan dan perspektifnya yang autentik terhadap kebenaran. Jika
mempelajari segala kontroversi dan ketenangan Gus Dur, ada dua hal yang bisa
kita serap, yaitu sifat pemaaf dan egalitarian. Pemaaf dan egalitarian terlahir
akibat pikiran Gus Dur yang selalu terbuka dan suka bersilaturahim.
Bukan Pendendam
Sifat pemaaf terlahir dari jiwanya yang menyatu kepada Tuhan.
Hatinya hanya terisi Tuhan dan rahmat. Gus Dur tidak pernah membiarkan hatinya
dikuasai dendam. Ia sangat mudah memaafkan kesalahan orang meskipun tidak
melupakannya. Semua orang tentu sering mendengar bagaimana Gus Dur di berbagai
forum secara terbuka dan berulang-ulang menyebut orang-orang yang bersekongkol
menjatuhkannya dari kursi presiden. Namun, Gus Dur tidak mendendam kepada
orang-orang itu. Ia memaafkan meskipun tidak melupakan. Hal itu sesuai dengan
kata-kata yang selalu disampaikan Gus Dur, “Maafkan kesalahannya, tetapi jangan
melupakan kesalahannya.”
Ia masih bisa bergaul tanpa canggung dengan Amien Rais, Megawati
Soekarnoputri, Akbar Tandjung, dan seteru-seteru politiknya yang lain. Bagi Gus
Dur, letak politik di pikiran, bukan di hati. Karena itu, segenting apa pun
urusan politik yang tengah mengepungnya, Gus Dur tetap nyenyak tidur dan tidak
pernah kehilangan selera humor. Sekeras apa pun konflik dengan lawan politiknya,
Gus Dur tidak pernah berhenti menjadi seorang humanis. Gus Dur akan membesuk
jika orang itu sakit dan takziah jika
orang itu meninggal. Semua orang menjadi saksi bagaimana pertarungan politik
antara Gus Dur dan Pak Harto, penguasa rezim Orde Baru yang diklaim Gus Dur
sebagai satu-satunya tokoh yang layak untuk menjadi lawan politiknya.
Ketika Pak Harto sakit, Gus Dur rajin menjenguk dan menanyakan
kabarnya. Padahal, Gus Dur pernah menjadi objek dari serangkaian percobaan
pembunuhan yang didalangi penguasa otoriter itu. Gus Dur juga menjenguk Abu
Hasan ketika terbaring sakit, padahal dia tokoh yang dipasang Orde Baru untuk
melawan dirinya pada Muktamar NU di Cipasung 1994. Gus Dur juga datang dan
memberi sambutan pada acara pemakaman Matori Abdul Djalil, murid politik yang
kemudian berseberangan dengannya.
Gus Dur orang yang memaklumi kelemahan-kelemahan orang lain. Jika
seseorang salah kemudian mengakui dan meminta maaf atas kesalahannya serta
menjelaskan duduk permasalahannya, Gus Dur sangat terbuka terhadap tabayyun
kemudian memaklumi dan memaafkannya. Saya pernah tidak disapa Gus Dur selama
kurang lebih 1,5 tahun ketika memutuskan masuk di kepengurusan DPP KNPI (Komite
Nasional Pemuda Indonesia) periode 1995-1998. Saya memaklumi sikap Gus Dur
karena KNPI dipahami secara luas sebagai ormas kepanjangan tangan Orde Baru.
Padahal, hubungan NU dan Orde Baru tengah memburuk dan Gus Dur tampil sebagai
tokoh oposisi paling terkemuka. Teman-teman seperjuangan saya yang lain
mengikuti jalur Gus Dur: mendirikan LSM dan bersikap oposisional terhadap
pemerintah.
Namun, saya terus berusaha meyakinkan Gus Dur bahwa keterlibatan
saya di KNPI dalam rangka memperjuangkan kepentingan NU. Gus Dur perlahan
menerima alasan saya meskipun memerlukan waktu yang cukup lama. Gus Dur tetap
menerima saya dan memberi kesempatan untuk mendampingi beliau di Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang beliau deklarasikan bersama tokoh-tokoh
NU yang lain pada 1999.
Tidak Menjadi Feodal
Tentang egalitarianisme Gus Dur, semua orang tidak bisa
mengingkarinya. Sebagai seorang keturunan kiai, Gus Dur tidak pernah menjadi
feodal. Ia menempatkan dirinya setara dengan lawan bicaranya. Gus Dur bisa
merunduk kepada orang yang lebih rendah ketimbang dirinya agar bisa duduk sama
rendah. Gus Dur juga mampu tegak kepada orang yang lebih tinggi ketimbang
dirinya agar bisa berdiri sama tinggi. Gus Dur mampu membuat orang seperti Bill
Clinton tertawa terpingkal-pingkal dan Raja Arab Saudi yang serius tertawa
hingga giginya kelihatan.
Orang Arab menemukan hari bersejarah mereka karena semua koran
Arab mengabadikan gigi Raja Fahd yang baru sekali itu kelihatan aki bat kelakar
Gus Dur. Sejak saat itu, Gus Dur sangat terkenal di Arab Saudi. Pada saat musim
haji, para pedagang Arab sering memekikkan nama Abdurrahman Wahid ketika
melihat jemaah haji Indonesia.
Khusus terhadap kader dan murid-murid politiknya, ada satu sifat
Gus Dur lain yang patut dicatat. Gus Dur selalu mempromosikan kader dan tidak
pelit jaringan. Dia selalu membawa dan memperkenalkan tokoh-tokoh muda kepada
kolega-koleganya. Tidak sedikit kader yang naik daun karena promosi Gus Dur.
Orang bisa sebut nama Said Aqil Siroj, Muhammad AS Hikam, Moh Mahfud MD, Alwi
Shihab, Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, dan saya
sendiri ialah segelintir tokoh muda yang dipromosikan Gus Dur, yang kemudian
menempati posisi penting di tubuh NU dan PKB. Setelah besar, tokoh-tokoh muda
itu dibiarkan independen dan dilepas dari bayang-bayang gurunya.
Gus Dur juga sangat piawai membesarkan tokoh-tokoh yang layak
dipromosikan. Munculnya istilah ‘kiai khos’ merupakan bentukan Gus Dur. Media
kemudian sibuk mencari siapa kiai-kiai khos yang dimaksud Gus Dur itu. Mereka
lantas mendapat liputan luas media dan dikenal publik secara nasional berkat
promosi Gus Dur.
Kini, jasad guru bangsa itu boleh terkubur, tetapi pemikiran dan
aksi Gus Dur harus selalu tetap terpatri dalam kehidupan. Saya bersyukur bisa
banyak mengambil pelajaran berpolitik dan bernegara dari Gus Dur. Ilmu darinya
selalu saya bawa baik semasa di Dewan Perwakilan Rakyat RI dan sekarang di
Badan Pemeriksa Keuangan RI. Pelajaran moral dan perjuangan Gus Dur yang tidak
pernah lelah harus kita lanjutkan, apalagi di tengah-tengah menguatnya
pragmatisme kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Setujukah Anda?
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar