Sabtu, 29 September 2012

Main Trigger Tawuran


Main Trigger Tawuran
Saharuddin Daming ;  Komisioner Komnas HAM
REPUBLIKA, 28 September 2012


Tiba-tiba perhatian publik di Tanah Air terperanjat oleh merebaknya aksi tawuran antara peserta didik SMA 6 vs SMA 70 Jakarta hingga menelan korban jiwa dan luka-luka. Di sinilah terjadi perbenturan logika dengan fakta karena dalam khazanah kepustakaan Indonesia, perkataan “sekolah” dipahami sebagai suatu kawasan yang menjadi tempat berlangsungnya proses pembelajaran antara tenaga pendidik dan peserta didik.
Dengan demikian, sekolah tidak lain merupakan pusat pengkajian dan penempaan anak-anak negeri. Bahkan secara fungsional, sekolah seyogianya inheren dengan dunia invention/discovery atau guratan, perasaan, pikiran, dan karya elemen sekolah sebagai pilar peradaban modern.
Namun, amat disesalkan karena impresi eksotis seperti itu terutama dunia sekolah di Indonesia, belakangan ini semakin terusik dengan maraknya aksi tawuran pelajar. Begitu seriusnya dampak yang ditimbulkan aksi tawuran pelajar tersebut hingga terbentuk image publik bahwa sekolah di kekinian mengalami dekadensi moral. Tidak heran jika berbagai kalangan merasa pilu dan malu, mengingat pelaku tawuran justru adalah calon intelektual dan pengawal peradaban.
Jika ditelaah secara mendalam dan komprehensif tentang prima causa aksi tawuran pelajar dimaksud, sebenarnya tidak dapat disandarkan pada faktor tunggal, akan tetapi berakar dari mata rantai problematika yang kompleks. Mulai dari mekanisme rekrutmen pelajar hingga persoalan kurikulum yang memang tidak menjadikan unsur pembinaan akhlakul kharimah sebagai skala prioritas.
Aksi tawuran di sekolah sebenarnya terletak pada hasil persentuhan antara kondisi psikologis pelajar seperti yang di kemukakan di atas dengan struktur ke lembagaan sekolah sendiri khususnya pada level pelajar. Sebab, seperti yang kita ketahui bahwa paradigma lembaga kesiswaan pada umumnya di Indonesia, selain tersusun dalam bentuk hierarki jabatan dan fungsi maupun unit-unit teknis, juga terfragmentasi oleh sikap superioritas. Ironisnya, aktivitas personalia lembaga tersebut sering menonjolkan sikap dan perilaku egosentris sehingga cenderung agresif dan ekspresif terhadap siapa pun yang dianggap sebagai rivalnya.
Sedangkan, aktivitas yang bernuansa akademik, seperti penulisan karya ilmiah, pemakmuran perpustakaan, diskusi, seminar, dan lain-lain justru memperoleh porsi yang relatif kecil. Tak ayal lagi, budaya intelektualitas yang berlandaskan kearifan, kesantunan, dan moralitas akhirnya mengalami dekadensi dan tergantikan dengan kultur militansi yang kerap dibangkitkan melalui indoktrinasi jargon-jargon egosentris sekolah.
Akibatnya, ada sekolah pada saat-saat tertentu (lazimnya pada momentum orientasi sekolah) memproklamasikan wilayah teritorialnya dalam keadaan tertutup untuk siapa pun yang tidak termasuk warganya. Tidak hanya itu, euforia kebebasan sekolah yang mereka ekspresikan, dengan kerap mengklaim diri sebagai yang terbesar, terhebat, terpandai, atau berbagai atribut superioritas kompleks lainnya.
Dalam kondisi seperti ini maka persoalan remeh tetapi mengandung penghinaan simbol sekolah akan jadi bibit konflik. Mula-mula, pelaku penghinaan ditindak dalam bentuk teguran disertai interogasi dan pemeriksaan singkat, namun karena pelaku merasa tidak bersalah dan enggan di perlakukan seperti itu maka ia pun bereaksi marah. Sikap pelaku tersebut sontak saja memancing emosi otoritas pelajar hingga memutuskan untuk mengeroyok pelaku.
Di sinilah cikal bakal aksi tawuran itu timbul. Aktivis sekolah yang merasa terganggu atau direndahkan oleh sekolah lain menjadi berang dan agresif. Maka saling serang dari skala yang kecil menuju aksi tawuran dengan eskalasi yang lebih luas, sulit terhindarkan. Setiap orang yang terlibat dalam aksi tawuran tersebut, bukan saja karena motif pembelaan diri, tetapi juga karena ekspresi heroisme sekolah.
Jika ditelisik secara mendalam terhadap pelajar yang begitu agresif melakukan tindakan kekerasan sebagaimana yang terjadi antara SMA 6 dan SMA 70 Jakarta, bukanlah semata-mata disandarkan pada ekspresi heroisme sekolah secara sempit, tetapi hal itu juga dipicu oleh faktor perilaku peserta didik secara personal dilekati bakat/tabiat yang cenderung untuk disebut “nakal”.
Berdasarkan hasil pantauan dari sejumlah sumber diketahui bahwa FT yang diduga sebagai pelaku penikaman Alawy Yusianto Putra hingga tewas, memang dikenal sebagai oknum pelajar yang cenderung berperilaku preman dan nakal hingga dua kali tidak naik kelas. Tak dapat dipungkiri jika dewasa ini terdapat kegamangan di kalangan otoritas sekolah untuk menindak keras siswa yang cenderung berperilaku preman dan nakal.
Selain berpotensi untuk menimbulkan serangan balik dalam bentuk tuntutan hukum hingga tuduhan pelanggaran HAM, otoritas sekolah, khususnya guru, yang mencoba memberikan pembinaan melalui sentakan yang berbau kekerasan, akan terancam menjadi korban pembalasan. Akibatnya, banyak guru dewasa ini tidak lagi berani melakukan tindakan apa pun kepada oknum siswa yang cenderung berperilaku brutal atau nakal.
Guru memilih diam dan mencari aman hingga membiarkan kenakalan siswa berlanjut demi menghindari risiko sebagaimana dikemukakan di atas. Kondisi demikian semakin memicu dan memacu kenakalan siswa dimaksud hingga mencapai tingkat yang krusial. Karena merasa tak ada yang berani menegur ditambah dukungan membabi buta dari kalangan keluarga maka kenakalan oknum siswa tersebut akan semakin liar dan agresif.
Parahnya lagi, semua bentuk ekspresi kenakalan yang dilakukannya justru menjadi ajang kebanggaan tanpa sedikit pun merasa bersalah. Apalagi, jika ekspresi kenakalan itu diprovokasi sebagai bentuk dukungan oleh kawanan gengnya. Keluarga, khususnya orang, tua yang harusnya melakukan upaya pencegahan dan supervisi supaya terhindar dari tawuran, justru malah terkesan memproteksi dengan berbagai fasilitasi pemanjaan. Inilah buah dari pelembagaan kasih sayang yang sangat berlebihan dari keluarga/orang tua kepada anaknya yang menjadi peserta didik yang nakal. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar