Kebebasan
Berpendapat dan Prahara Global
Milto Seran ; Mahasiswa
Pascasarjana STFK Ledalero
|
MEDIA
INDONESIA, 25 September 2012
DEMI
mengantisipasi demonstrasi yang mungkin terjadi atas publikasi karikatur Nabi
Muhammad di tabloid mingguan Charlie Hebdo, pemerintah Prancis menutup
sementara perwakilan perwakilan mereka di 20 negara (Media Indonesia, 21/9).
Keputusan pemerintah Prancis yang menutup sejumlah perwakilan mereka di
beberapa negara bukanlah sesuatu yang berlebihan, juga bukan kebijakan yang
dibuat-buat.
Dalam
sejarah, Prancis merupakan negara yang mengagung-agungkan kebebasan
berpendapat, setelah revolusi negara itu pecah pada akhir abad ke-18. Prancis
kemudian terkenal atas gerakan revolusionernya mengedepankan kebebasan,
kesetaraan, dan persaudaraan. Tiga prinsip itu lahir sebagai tanggapan sosial
kritis warga negara terhadap realitas ketidakadilan di balik sistem politik
Prancis yang kejam dan otoriter (monarki absolut) pada masa itu. Dalam ancien régime (rezim lama yang otoriter),
kekejaman sang raja, misalnya, tampak dalam eksekusi mati dengan guillotine. Siapa saja yang berbeda
penda pat dan menen tang kebijakan kerajaan, teran cam hukuman mati.
Setelah
mempertimbangkan martabat kemanu siaan dan kebebasan dalam berpendapat,
revolusi Prancis pecah dengan tiga tuntutan untuk menegakkan kebebasan,
kesetaraan, dan persaudaraan. Tokoh yang bermain di balik gerakan revolusioner
itu antara lain Jean-Jacques Rousseau, filsuf Prancis yang tersohor dengan
ungkapan `man was born free and
everywhere he is in chains'. Ungkapan kontradiktif itu tak cuma berlaku di
Prancis. Ia berlaku universal. Manusia pada hakikatnya bebas dan terbelenggu di
mana-mana. Jelas di sini tak ada kebebasan absolut di muka bumi ini. Sebab,
secara esensial, manusia terbedakan dari makhluk hidup lainnya.
Akan
tetapi, apa makna kebebasan yang tak mempertimbangkan keteduhan hidup sesama?
Film dan karikatur provokatif yang menuai protes beberapa hari belakangan ini
merupakan entry point yang menarik untuk membincangkan makna kebebasan
berekspresi dalam konteks yang lebih luas.
Prahara Global
Sekali
lagi, di dunia ini tak ada kebebasan yang seolah menggantung di langit,
kebebasan mutlak. Kebebasan (manusia), karena itu, selalu mengandaikan
pertimbangan akan eksistensi pihak lain. Jika kebebasan tak lagi memedulikan
keberadaan sesama manusia, kebebasan yang demikian itu minus rasa tanggung
jawab dan rasionalitas. Dalam hal ini, apa pun tindakan seseorang, ia selalu
memiliki horison atau cakrawala makna yang amat luas. Ia mempunyai struktur
temporal, partisipasi dalam suatu sejarah panjang. Tindakan itu selalu berarti
partisipasi dalam suatu realitas sosial, kehidupan bersama pihak lain dalam
tiga dimensi waktu.
Apalagi
di generasi `tablet' ini, ketika teknologi informasi kian canggih dan dunia
kita makin menyerupai sebuah kampung global, batas-batas ruang kehidupan kita
pun makin abu-abu. Ruang publik sangat potensial menerobos ruang-ruang privat
dan sebaliknya, ruang-ruang privat sa ling berbenturan dalam `ruang publik yang
tak tertata baik' (cyber space).
Niscaya bangsa manusia kian berbarengan dalam pelbagai hal. Dengan demikian,
globalisasi dalam arti yang sederhana adalah internasionalisasi tindakan warga
`desa global'.
Globalisasi
yang demikian, jika tak dimaknai dan ditingkahi secara bertanggung jawab dan
rasional, bakal membawa prahara tersendiri bagi eksistensi umat manusia. Sebab,
masalah publikasi karikatur Nabi Muhammad di Prancis atau Innocence of Muslims yang diunggah warga AS di Youtube.com, misalnya, tak lagi menjadi konsumsi eksklusif warga
Prancis dan AS. Keduanya dalam sekejap merambah mata dunia internasional. Dalam
pemahaman ini, film dan karikatur provokatif di atas pantas diperdebatkan dari
perspektif globalisasi.
Dengan
mencermati aksi protes global terkait film dan karikatur tersebut, menurut
hemat saya, wajah globalisasi bakal lekas melahirkan bencana besar bagi umat
manusia, ketika kecerdasan (nalar, emosi, spiritual, dll) hilang dari praksis
hidup kita dalam kampung global tadi. Sutradara film Innocence of Muslims barangkali tak becus ketika `kebebasan
berpendapatnya' menuai protes. Namun, tindakannya yang tak lepas dari motif dan
sirkumstansi tertentu bisa menyulut angkara di banyak tempat lain.
Pentingnya Tindakan Cerdas
Apa
yang bisa dipetik dari realitas yang memantik protes, kekerasan, dan bahkan
pembunuhan tersebut? Film Innocence of
Muslims, yang disebut oleh Hillary Clinton sebagai film `menjijikkan dan
tercela', justru membawa maut bagi pihak-pihak innocent semisal dubes dan tiga warga AS di Libia.
Menurut
saya, terdapat dua hal yang mesti disikapi secara cerdas dari kenyataan rawan
konflik lintas batas ini. Pertama, aksi protes dan penyerangan di berbagai
negara itu dapat dipahami sebagai bentuk sikap reaktif yang tak cerdas dan tak
dewasa. Kedogolan dan kekeliruan dalam memaknai kebebasan berpendapat,
sebagaimana yang ditunjukkan pihak tabloid mingguan Charlie Hebdo dan sutradara
Innocence of Muslims, tak harus
direspons dengan gerakan-gerakan yang menodai dan melukai nurani publik dalam
negeri dan bangsa sendiri.
Kedua,
jelas sekali bahwa sutradara Innocence of
Muslims serta pihak Charlie Hebdo tak bertindak atas nama negara atau atas
nama agamanya. Karena itu, sebenarnya penyerangan dan tindakan anarkistis yang
ditujukan kepada perwakilan-perwakilan AS atau Prancis bisa dinilai sebagai
tindakan yang tak cerdas. Bukankah tindakan penyerangan dan anarkisme tersebut
lebih menegaskan betapa lemahnya keberpihakan pada prinsip-prinsip luhur
kemanusiaan?
Dengan
demikian, kebebasan (berpendapat) yang tak bertanggung jawab memang dapat
berakibat buruk bagi lebih banyak pihak. Dalam dunia kita yang
tunggang-langgang ini (Anthony Giddens), tindakan bebas yang tak peduli akan
rasa adil dan kenyamanan hidup pihak lain dapat menimbulkan benturan-benturan
yang `mencederai' persaudaraan, nurani, dan martabat warga global; tak hanya
warga suatu negara atau suatu golongan tertentu.
Karena
itu, pemerintah (negara-bangsa) sebagai salah satu pelaku globalisasi
semestinya lebih cerdas dan bijak dalam mengantisipasi aksi-aksi tak
bertanggung jawab yang berdampak global. Demikian halnya, pemerintah dan pemuka
agama di tingkat lokal semestinya lebih peka menyikapi aksi-aksi anarkistis
yang merugikan bangsa dan negara sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar