Pemakan Rente
Pendidikan
Jannus TH Siahaan ; Pengamat Sosial Kemasyarakatan
|
MEDIA
INDONESIA, 29 September 2012
ENTAH siapa yang memulai. Tetapi jujur kita akui bahwa sekolah
sudah lama menjadi alat justifikasi atas banyak hal dalam kehidupan. Itulah
stempel paling otoritatif yang jamak digunakan orang atau institusi sosial
untuk menentukan seseorang telah memiliki kualifikasi keilmuan tertentu dan
keahlian khusus atau belum.
Begitu besar pengaruh stempel ini hingga banyak hal dalam
kehidupan pun harus menggunakan sekolah sebagai alat ukurnya. Sekolah menjelma
menjadi sebangsa terminal tempat semua penglaju harus mampir untuk rehat.
Merenung sebentar, untuk memilih arah dan tujuan perjalanan selanjutnya.
Angkatlah tangan kita, lalu tunjuklah sebuah nama sekolah. Secara
otomatis kita akan mendapatkan gambaran tentang sebuah lembaga pendidikan
dengan kualifikasi tertentu. Jika Anda mendapatkan setumpuk bangunan megah,
mobil mewah berderet-deret di area parkir sekolah, anjungan tunai mandiri
dengan mudah kita temukan, di sanalah anak-anak orang berduit dititipkan untuk
dicetak menjadi apa. Datanglah di akhir bulan lalu, tanyakan seberapa banyak
uang berputar untuk segala urusan di sekolah? Anda akan tercengang karena
sekolah sudah menjelma sebagai mesin ekonomi yang masif.
Pengelolanya ialah para praktisi ekonomi. Paling kurang kumpulan
para pemilik kapital. Mereka memiliki penciuman bisnis yang sangat kuat dan
tajam sehingga sekolah pun harus dimaknai sebagai lahan basah untuk menanam
modal ekonomi. Kebanyakan dari mereka bertitel, setidaknya SE alias sarjana
ekonomi. Karena orientasinya ekonomi, pemilik dan pengelola sekolah memilih
tenaga-tenaga didik dari kalangan yang orientasi hidupnya sebagian besar semata
materi juga. Tenaga-tenaga semacam itu amat gampang dibeli asal harganya bisa
disepakati.
Karena ‘harga’ itu pulalah bangsa ini harus menanggung dosa
turunan akibat polah tingkah beberapa guru dan tenaga didik yang tidak wajar,
yang jauh dari sosok ideal Ki Hajar Dewantara. Dari guru ‘kecil’ pengajar TK
hingga guru ‘besar’ di banyak perguruan tinggi. Mereka pemangsa rente
pendidikan. Mereka tidak akan pernah puas memeras anak murid dan mahasiswanya.
Berbagai dalih gampang mereka sodorkan. Maklum, guru besar. Inilah sekelompok
masochis yang memiliki andil besar dalam merusak konstitusi.
Kini lihatlah,
Komisi Pemberantasan Korupsi pun tak segan lagi menggelandang para guru besar
yang korup. Guru pemakan rente pendidikan.
Gejala Umum
Padahal, bukankah konstitusi kita
mengamanatkan pendidikan nasional untuk mencerdaskan bangsa? Tapi kondisi ini sudah
merupakan gejala umum dalam dunia p pendidikan kita. Dari play group, TK, SD,
SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Sekolah umum---negeri dan swasta-maupun
sekolah yang dikelola oleh organisasi keagamaan. Semakin tinggi jenjang
pendidikan akan semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Bercita-cita menjadi
dokter, misalnya, hanya mungkin bagi mereka yang berkocek tebal. Yang tidak
berduit, silakan minggir. Di sini tak ada istilah uang pas-pasan. Anda hanya
akan mengenal uang berlimpah. Ini rahasia umum. Penyelenggaraan pendidikan kita
telah menistakan amanat konstitusi.
Anda punya uang maka akan mendapatkan yang Anda inginkan. Anda tak
punya apa-apa maka anak Anda harus bersiap menjadi manusia `apa adanya'.
Sejalan dengan proses dan tahapan pendidikan seperti itu, lahirlah pula produk
pendidikan yang orientasi hidupnya pada bagaimana `memiliki' bukan pada
bagaimana `menjadi'. Mereka merasa bahagia jika memiliki rumah mewah dengan
jumlah tertentu, mobil limited edition
dengan jumlah tertentu, pergaulan hanya terbatas di kalangan tertentu, jabatan
yang hanya dimiliki orang tertentu, dan status sosial yang mapan. Mereka akan
langsung merasakan hidup tidak menentu jika kehilangan rumah, mobil, jabatan,
dan status sosial.
Inilah, menurut psikolog eksistensial, pendidikan yang hanya
memproduksi masyarakat kelas `memiliki'. Sehingga pantas jika Ketua Mahkamah
Konstitusi RI Moh Mahfud MD menyebut 95% pelaku korupsi di Indonesia ialah
mereka yang mengenyam pendidikan tinggi. Karena tingkat kebergantungannya pada
benda dan materi begitu kuat, masyarakat ber pendidikan tinggi yang tidak
memiliki kecerdasan spiritual, moral, emosional--akan menempuh segala cara
untuk mendapatkan yang diangankan. Maka lahirlah sarjana-sarjana yang jadi
beban negara karena mereka punya ilmu dan keahlian untuk mengorupsi aset bangsa
sendiri.
Produksi Gagal
Summom bonum pendidikan
sejatinya ialah bagaimana memproses manusia agar tidak mendapatkan kebahagiaan dari
kepemilikan. Sebab jika itu yang terjadi, sungguh rentan jenis kebahagiaan anak
bangsa ini. Bagaimana jika kepemilikan itu musnah? Bukankah semua materi dan
benda-benda atau yang lebih abstrak seperti kekayaan, kepandaian, keahlian itu bisa
lenyap? Pendidikan seharusnya menciptakan manusia agar mampu ‘menjadi’ apa yang
diinginkan sesuai nilai-nilai luhur pendidikan. Tapi sekolah, dan banyak
lembaga pendidikan kita, seolah tidak mau tahu-menahu atas semua hasil produksi
yang gagal ini.
Begitu kuatnya hegemoni sekolah menguasai alam bawah sadar
kita hingga terasa sulit bagi kita menemukan sekolah yang dengan mudah dan
lapang dada mau menerima masukan untuk kebaikan anak didik, kebaikan generasi bangsa.
Mereka merasa lebih memahami tahap perkembangan seorang anak ketimbang orangtua
yang melahirkannya. Bahkan, beberapa guru berkualifikasi lulusan `sertifikasi' tak
jarang merasa lebih pintar daripada wali murid yang lulusan universitas khusus
pendidikan sekalipun. Ironis.
Sekolah tidak mau tahu. Sekolah juga jarang mau berbesar hati
untuk melakukan evaluasi berkala secara jujur atas proses belajar mengajar.
Tidak banyak sekolah yang dengan jiwa besar mau mengakui telah melakukan
kesalahan pendekatan sehingga lulusannya tidak bisa diandalkan pada berbagai
kompetisi dalam kehidupan nyata. Tak jarang pula sekolah lepas tangan dan hanya
mau menjawab bila itu berkaitan dengan anak muridnya dan para alumnus yang
tidak mengalami hambatan setelah lulus sekolah.
Jangan ditanya pula bagaimana bentuk tanggung jawab sekolah bila
mereka gagal menjadikan anak kita seperti yang mereka janjikan saat-saat
pendaftaran dulu. Padahal harus disadari bahwa sekolah berandil sangat besar
dalam membentuk kepribadian anak di luar lingkungan keluarga. Sekolah hanya
tahu soal sukses dan sukses, tetapi sejauh mungkin menghindar dari gagal dan
disebut gagal dalam proses belajar mengajar. Terlebih dalam perkembangannya,
sekolah lebih memosisikan diri sebagai lembaga pengajaran dan bukan lembaga
pendidikan.
Tidakkah sudah tiba saatnya bagi kita duduk di atas tikar
kesadaran untuk mengevaluasi secara menyeluruh semua tahapan pendidikan yang
harus dilalui anak-anak kita. Negara memiliki tanggung jawab, tidak semata
menyediakan dana yang cukup, tetapi lebih dari itu memberikan orientasi yang
benar mengenai penyelenggaraan dan jalannya pendidikan nasional. Pemerintah,
dalam hal ini Presiden, sudah terlalu bermurah hati menaikkan secara terus-menerus
gaji para guru, tetapi justru tertatih ketika harus menaikkan derajat keahlian
dan moralitas para guru. Jangan sampai sekolah dan para guru dicap sebagai
perampok masa depan generasi masa depan bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar