Personalisasi
Politik
Donny Gahral Adian ; Dosen
Filsafat Politik UI
|
KOMPAS,
27 September 2012
Setiap orang memiliki ambiguitas sendiri
terhadap politik. Pilkada DKI, misalnya, direspons secara berbeda oleh dua
kelompok pengamat.
Kelompok pertama menganggap Pilkada DKI bukti
kekuatan figur terhadap partai politik. Figur yang begitu dominan membuat
partai seperti ”ongkang-ongkang kaki” dalam memompa suara publik. Kelompok
kedua, sebaliknya, justru melihat partai, untuk pertama kali, tersetrum
mesinnya. Mesin partai bekerja maksimal ketika politik elite tak dikendalikan
oleh uang. Mesin partai, pada akhirnya, menyala dan bekerja lebih keras dari
kapasitas terpasangnya. Kedua sikap ini beredar di kalangan ”orang-orang melek
politik” Republik ini. Namun, di balik kedua sikap ini terselip sebaris
pertanyaan fundamental, politik macam apa yang sebenarnya tengah berlangsung
dewasa ini?
Liberalisasi
Politik adalah urusan kolektif. Carl Schmitt
mengatakan, politik hadir ketika dua kolektivitas berhadap-hadapan dalam
intensitas ketegangan tertentu. Politik, pertama-tama, adalah res publica.
Politik tak bersembunyi di lubuk hati yang sunyi, tetapi urusan bersama yang riuh
rendah. Filsafat politik pun selama ini selalu bermain dengan kategori-kategori
kolektif, seperti kontrak sosial, kehendak umum, atau demos. Kehendak,
pertimbangan, kalkulasi, dan intuisi individu dikesampingkan dari
bulat-lonjongnya politik.
Masalahnya, liberalisasi yang dibawa oleh
gelombang industrialisasi dan komersialisasi sudah mengubah wajah politik untuk
seterusnya. Politik ditahbiskan sebagai protektor individualisme belaka. Orang,
misalnya, bersepakat secara politik guna melindungi ”yang pribadi” dari
terkaman kekuasaan. ”Yang pribadi” bersembunyi di balik yang namanya hak
individu. Hak individu sendiri sejatinya sesuatu yang bernapaskan borjuasi
ekonomi. Dia muncul dari syahwat kelas menengah Eropa untuk menguasai tanah
milik aristokrat. Namun, dalam perkembangannya dia mengalami transformasi
politik secara fundamental. ”Yang pribadi” tak sekadar diproteksi secara
politik, tetapi menjadi ”yang politik” itu sendiri. Alhasil, individu pun jadi
primus politik.
Akhirnya, ”yang pribadi” menjadi semacam sanctuary dalam demokrasi modern.
Politik dipahami sebagai serigala yang harus selalu diawasi supaya tidak
memangsa ”yang pribadi”. Konstitusi pun disusun guna membatasi ruang gerak
kekuasaan terhadap ”yang pribadi”. Begitu sucinya posisi ”yang pribadi” dalam
politik sehingga politik pun dikemas dalam bahasa netralitas dan imparsialitas.
Negara pada prinsipnya tidak boleh memasuki wilayah pribadi tiap-tiap individu.
”Yang pribadi” adalah harga mati politik yang memerlukan demokrasi sebagai
kartu garansi yang berlaku permanen.
”Yang pribadi” bermuasal pada oikonomia (ekonomi), bukan politik.
Akibat infiltrasi oikonomia ke dalam politik, watak kolektif politik pun hilang
sudah. Politik, layaknya pasar, jadi arena tempat individu berkompetisi
memperebutkan pembeli (pemilih). Individu tentu saja tak dapat mengesampingkan
kolektivitas. Namun, ”kolektivitas” diterjemahkan sebagai dukungan belaka.
Apalagi, dukungan kolektif ini dapat ditukar dengan mata uang yang namanya
citra atau kesan.
Politik yang tadinya bersimpang jalan dengan
”yang pribadi” sekarang begitu didominasi olehnya. Kolektivitas adalah
komoditas yang dapat dibeli. Partai hanya kendaraan. Figur lebih menentukan.
Pendeknya, ”yang pribadi” pun merangsek masuk jadi kategori utama politik.
Liberalisasi politik pun ditopang oleh
letupan-letupan pikiran politik kontemporer. Pikiran tentang subyek, tindakan,
kebisajadian, dan antifondasi membuat ”yang pribadi” kian mendapat tempat di
tengah realitas politik saat ini. Politik bukan soal pengorganisasian ide dan
perbuatan, melainkan soal keputusan radikal dalam situasi yang ganjil.
Keputusan, bagi saya, berseberangan dengan militansi. Militansi ditanam secara
organisatoris-kolektif, sementara keputusan dikembalikan kepada subyek yang
terus berusaha melengkapi identitasnya. Politik pun direduksi menjadi persoalan
siapa ”saya” dan bukan apa yang harus ”kami” perbuat.
Personalisasi
Liberalisasi politik membuat politik bukan
lagi persoalan organisasi, melainkan personalisasi. Akibatnya, politisi pun
jadi ”radikal bebas” yang tak tertanam secara ideologis dalam parpol.
Personalisasi politik pun mau tak mau menjangkiti watak kolektif parpol. Partai
tak lagi berpikir soal pengorganisasian ide dan perbuatan di bawah haluan
ideologi tertentu. Partai hanya berpikir merekrut figur untuk mendongkrak
dukungan kolektif publik.
Saat ini, partai tengah tertatih-tatih
menghadapi gelombang liberalisasi politik. Belum lagi surut, partai sudah harus
menghadapi fenomena ”de-partai-sasi” yang cukup masif dan kontinu. Partai
dikesampingkan sebagai organisasi yang secara militan memperjuangkan ide
melalui orang. Partai semata dipandang sebagai alat meloloskan orang yang punya
ide. Dia cuma dilihat sebagai syarat administratif pencalonan pejabat politik.
Tidak lebih. Alhasil, partai pun tidak kunjung belajar untuk menjadi rahim
ideologis bagi calon-calon pemimpin republik. Partai terkerdilkan jadi alat dan
bukan sekolah kenegarawanan bagi politisi-politisinya.
Siapa yang diuntungkan oleh personalisasi
politik ini? Apakah rakyat sebagai pemegang kedaulatan sejati? Sekilas, rakyat
adalah pemenang sebab dia berhasil mematerialisasikan kedaulatannya tanpa
perantara. Namun, persoalannya, apakah pejabat politik dapat lahir tiba-tiba
dari rakyat tanpa tempaan organisatoris yang ketat dan berjenjang? Kita bisa
saja memburu calon pemimpin dari kalangan akademisi atau LSM. Namun, siapa
menjamin mereka siap menjadi pejabat politik tanpa bekal kecakapan politik
sejumput pun.
Politik bukan sekadar perkara kecakapan
teknokratik. Ekonomi makro bisa dipelajari dalam waktu singkat. Teknik
komunikasi bisa dipoles oleh konsultan politik. Namun, karakter politik tak
didapatkan di kantor-kantor konsultan. Karakter politik ditempa di dalam sebuah
organisasi politik bukan akademis. Profesor ilmu politik bisa paham seluk-beluk
politik dari A sampai Z. Namun, apakah dia memiliki komitmen dan ketahanan
politik? Politik adalah ketegangan bukan ketenangan. Di dalam ketegangan,
seorang harus mampu mengambil keputusan yang berpihak pada nasib orang banyak.
Ini adalah karakter yang datang dari pengalaman ”berpolitik” dalam organisasi,
bukan dari disertasi ilmu politik.
Partai adalah pengorganisasian ide dan
perbuatan untuk menciptakan kenegarawanan. Mungkin terdengar muluk. Apalagi,
kita tengah berhadapan dengan partai yang sekadar menjajakan karcis bagi
calon-calon kepala daerah. Namun, apakah ”personalisasi”, ”de-partai-sasi”
adalah jawaban bagi kualitas demokrasi kita 100 tahun ke depan? Apabila saat
ini partai belum mampu menjalankan fungsi-fungsi kolektifnya, jangan tergesa
menganulirnya. Jangan pula terburu-buru menganonimkan calon-calon parpol yang
menang dalam sebuah kompetisi politik.
Politik butuh kesabaran untuk sebuah
perbaikan yang perlahan tetapi berarti. Jokowi adalah orang yang sabar. Dia
tidak tenggelam di dalam gempita politik yang memojokkan partai-partai. Partai
memang bukan satu-satunya. Sukarelawan nonpartai Jokowi sungguh tak terbilang
jumlahnya. Semua berjasa. Jokowi pun berterima kasih kepada semuanya, partai
tak terkecuali. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar