Kamis, 27 September 2012

Otonomi Butuh Perspektif Progresif


Otonomi Butuh Perspektif Progresif
Wawan Sobari Peneliti JPIP, Sedang menyusun disertasi Doktor Ilmu Politik
di Flinders University, Adelaide, Australia
JAWA POS, 26 September 2012


ADA tiga miskonsepsi terhadap otonomi daerah (otoda) di Indonesia yang selama ini jadi pijakan kritik. Pertama, praktik-praktik buruk otoda selalu ditimpakan kepada daerah. Padahal, daerah hanyalah penerima desain otonomi. Sementara pemerintah (pusat) sebagai desainer seolah bukan penyebab situasi itu.

Kedua, otoda lebih banyak ditelaah sebagai disinsentif. Kritik-kritik tersebut lebih banyak mengedepankan sisi negatif otoda. Sementara, praktik-praktik baik oleh daerah sepertinya tidak mampu memuaskan para pengkritik. 

Berikutnya, para pengkritik menetapkan standar sempurna kebijakan otoda. Padahal, terbitnya UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kala itu lebih tepat dikatakan sebagai peredam semangat disintegrasi. Pemerintah sejatinya tidak menyiapkan kebijakan otoda secara baik (well planned) dan cukup waktu untuk persiapan implementasinya (well prepared). Melainkan sebagai strategi penyeimbang kala posisi pendulum politik lebih kuat dipegang daerah.

Bila ditelaah secara kritis, perdebatan otoda justru sengaja sedang digiring untuk mematenkan sudut pandang pemerintah sebagai yang paling benar (getting fundamental right). Secara tidak sadar, banyak substansi kritisisme terjebak dalam konstruksi perangkap diskursus sentralisasi. Maka, tidak heran apabila banyak kritik yang muaranya cenderung menganjurkan resentralisasi daripada memperkuat desentralisasi. 

Miskomparasi dan Miskompleksitas 

Berbagai sodoran dan temuan dampak negatif otoda lebih sering menampilkan fakta sepihak. Sebab, faktanya Indonesia tidak memiliki praktik otoda sebelum 2001. Keberadaan UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tidak bisa dikatakan sebagai cikal bakal otoda. Sebab, itu baru diterapkan saat uji coba pada 1995 dengan transfer kewenangan yang sangat terbatas.

Dengan kata lain, cukup sulit membandingkan capaian-capaian daerah setelah otoda dijalankan. Sebab, daerah sebelumnya tidak pernah mendapat delegasi kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri seperti sekarang. Alhasil, data dan fakta memburuknya performa daerah sulit dijustifikasi.

Misalnya, kritik terkait membengkaknya belanja pegawai daerah. Sangat logis apabila belanja pegawai membesar karena sebelum otoda, sebagian besar birokrasi di daerah berstatus pegawai pemerintah. Angka itu wajar naik fantastis karena setelah otoda terjadi penyerahan personel dan anggaran, terutama bidang pendidikan. 

Di tengah kenaikan alokasi APBD untuk belanja pegawai, beberapa kritik luput dari salah satu indikasi kemandirian fiskal daerah. Kabupaten dan kota sebenarnya semakin mengurangi porsi dana alokasi umum (DAU). Untuk kasus Jawa Timur, the Jawa Pos Institute of Pro-Otoda (JPIP) menemukan besaran rata-rata kontribusi DAU terhadap APBD kabupaten dan kota menyusut dari 71 persen pada 2006 menjadi 58 persen pada 2010. Selain itu, pendapatan asli daerah (PAD) mengalami kenaikan tiap tahun. 

Fakta penting lainnya yang sering luput dari analisis anggaran setelah otoda adalah besaran transfer ke daerah. Menurut data yang dirilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dalam kurun 2007-2010 besaran transfer itu tidak pernah beranjak dari angka 30-an persen. Padahal, belanja negara terus naik.

Selain itu, tren ruang fiskal kabupaten dan kota terus turun. Salah satu penyebabnya kebijakan pemerintah menaikkan gaji PNS. Pada 2007, ruang fiskal daerah masih berada pada kisaran 64 persen. Sedangkan, 2010 nilainya turun hingga sekitar 51 persen. Karena itu, cukup sulit menuntut perbaikan pelayanan publik dan sektor pembangunan daerah lainnya. 

Selain kritik yang sering menampilkan wacana bias pusat, analisis kegagalan otoda tidak jarang disebabkan dominasi cara pandang dan fakta normatif. Maka, tidak heran apabila fakta dan analisis yang disajikan tidak lebih dari kampanye negatif otoda. Ironisnya, praktik empiris pelaksanaan otoda tidak bisa dilepaskan dari kompetisi politik lokal maupun dalam hubungan pusat-daerah. 

Hadiz (2004) mengingatkan kesalahan diagnosis kegagalan kebijakan desentralisasi bila hanya bertumpu pada pendekatan rasionalitas teknis. Alasannya, fakta empiris di daerah maupun pusat memperlihatkan bahwa proses kebijakan otoda melibatkan kekuasaan, pertarungan, dan kepentingan. 

Sehingga, kegagalan otoda tidak bisa semata dipandang karena persoalan-persoalan teknis. Misalnya, ketidakmampuan atau mismanajemen daerah dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi. Melainkan memasukkan pula unsur kompetisi kepentingan di daerah dan antara pusat dan daerah.

Hubungan politik eksekutif dan legislatif di daerah yang saling menyandera tentu bisa memperlambat akselerasi kemajuan daerah. Begitu pula, delegasi kewenangan setengah hati pemerintah kepada daerah akan berimplikasi serupa. Juga, hasil studi JPIP (2011) menemukan beberapa hambatan otoda menurut versi kabupaten dan kota di Jatim. 

Yakni, ketidaksesuaian kebijakan pemerintah dengan kondisi daerah karena proses yang tidak partisipatif, keterbatasan anggaran dan infrastruktur daerah, belum konsistennya pelaksanaan UU 32/2004 oleh pemerintah, dan eksistensi provinsi yang ambigu. Secara elegan, daerah mengakui pula kendala dinamika politik lokal pascapilkada. 

Implikasi yang telah teridentifikasi, antara lain, fakta politisasi birokrasi, tidak harmonisnya hubungan kepala daerah dan wakilnya, dan sandera praktik politik transaksional antara kepala daerah, DPRD, partai politik, serta aktor-aktor informal. Sejumlah fakta problematik tersebut kemudian berimplikasi menghambat kinerja pemerintahan daerah. 

Untuk itu, yang dibutuhkan saat ini adalah perspektif progresif yang berkarakter adil dan proporsional atas otoda. Otoda dipahami sebagai kombinasi kebebasan dan kemajuan daerah. Dengan kata lain, permintaan dan kebutuhan lokal bukanlah semata perwujudan daerah untuk bebas.
 ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar