Sabtu, 29 September 2012

Reformasi Birokrasi Gagal?


Reformasi Birokrasi Gagal?
Reza Syawawi ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 28 September 2012


Reformasi birokrasi yang dimulai sejak 2006 hingga saat ini ternyata mengalami disorientasi. Mungkin saja eranya yang baru, tetapi aktornya masih didominasi dan diproduksi pada saat birokrat lama berkuasa. Reformasi sistem birokrasi yang memakan banyak sumber dan biaya yang tidak sedikit seakan hanya menjadi alat pembenar bahwa birokrasi telah berubah. 

Ada banyak fakta yang bisa dikemukakan, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang selalu digadang-gadang ternyata dimentahkan oleh terungkapnya banyak kasus mafia pajak hingga korupsi. Lalu, apa sebetulnya yang hendak dituju oleh reformasi birokrasi? Belakangan terungkap betapa besarnya anggaran yang dihabiskan oleh birokrasi pemerintahan di tingkat pusat melalui kegiatan perjalanan dinas. Di tengah kuatnya kritik dan penolakan publik atas kunjungan kerja ke luar negeri oleh anggota DPR, birokrasi justru mereplikasi kebiasaan buruk tersebut.

Pemborosan Anggaran
Dalam konteks alokasi anggaran, belanja birokrasi masih menjadi bagian yang paling banyak menyedot anggaran. Hampir di setiap daerah, APBD selalu dibebani oleh anggaran untuk membiayai birokrasi. Menurut data yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, dalam RAPBN 2013 belanja pegawai mengalami kenaikan hingga dua kali lipat atau sekitar Rp 28 triliun. Kenaikan ini selalu terjadi dari tahun ke tahun, namun ironisnya pelayanan birokrasi juga tak kunjung membaik. 

Hal yang lebih membuat miris lagi adalah, alokasi anggaran untuk perjalanan dinas pemerintah pusat dalam RAPBN 2013 mengalami kenaikan signifikan yang mencapai Rp 21 triliun. Jika dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk program peningkatan kesejahteraan masyarakat, jumlah ini masih menduduki peringkat teratas. Jika pemerintah berkaca pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2010, ada temuan misalnya soal perjalanan dinas fiktif, duplikasi laporan perjalanan, hingga pemalsuan bukti-bukti perjalanan. Seharusnya ini dijadikan bahan evaluasi pemerintah pusat untuk lebih berdisiplin dalam mengalokasikan anggaran.

Kesan yang timbul dari pengalokasian anggaran semacam ini justru menjustifikasi bahwa pemerintah pusat menjadi aktor utama dalam pemborosan keuangan publik. Ini sama saja mereplikasi kebiasaan buruk DPR dalam melakukan kunjungan kerja ke luar negeri tanpa analisis kebutuhan dan tidak jarang kunjungan kerja tersebut tidak menghasilkan apa pun. 
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara padahal mengamanatkan untuk menggunakan anggaran sesuai dengan prinsip "anggaran berbasis kinerja". 

Sebagai amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945 tentang perumusan undang-undang keuangan negara, semuanya harus berorientasi pada penerapan prinsip pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab dan berorientasi pada hasil. Fungsi alokasi dalam keuangan negara menjadi dikesampingkan jika pemerintah pusat dan DPR dalam proses penganggaran senantiasa bersepakat untuk mengalokasikan anggaran secara serampangan. Padahal fungsi ini ditujukan untuk memberi peringatan kepada penyusun anggaran untuk tidak melakukan pemborosan sumber daya dan inefisiensi, serta mengurangi alokasi anggaran yang tidak efektif.

Korupsi Sistemik
Tanpa kita sadari, korupsi yang tengah mewabah saat ini sebetulnya telah dimulai oleh pemerintah dan DPR pada saat penyusunan anggaran. Fungsi perencanaan yang melekat pada pemerintah memiliki andil besar dalam melestarikan praktek korupsi. 

Seharusnya pemerintah memegang fungsi kontrol dan pencegahan terhadap alokasi anggaran yang justru mengarah pada pemborosan dana publik. Jika ini tidak dilakukan, pemerintah bisa dianggap sebagai "inisiator" dan "aktor" utama dalam pembajakan anggaran negara. Birokrasi pemerintahan yang memegang peran dalam perencanaan anggaran seharusnya lebih peka terhadap hal ini. Temuan BPK yang telah mengarah pada praktek "pencurian" (korupsi) anggaran negara melalui kegiatan yang dilegalkan oleh mekanisme APBN hendaknya juga dijadikan pertimbangan utama dalam penyusunan anggaran. Reformasi birokrasi seharusnya bisa tecermin dari postur anggaran yang ditetapkan setiap tahun. Alokasi anggaran seharusnya juga tidak boleh digunakan jika tidak menghasilkan apa pun terhadap perbaikan pelayanan publik. 

Korupsi yang sistemik itu bukanlah korupsi yang tampak di permukaan, melainkan penggunaan anggaran yang seolah-olah legal tetapi digunakan untuk hal-hal yang tidak perlu. Korupsi semacam ini jauh lebih berbahaya karena cenderung tidak terdeteksi oleh penegakan hukum. Pada titik ini birokrasi memegang peran penting dalam mendorong pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan berdampak pada perbaikan pelayanan publik.

Keputusan politik yang selalu keliru dalam penyusunan anggaran bisa dikoreksi jika birokrasi mampu mengimbanginya dengan menawarkan postur anggaran yang lebih pro-kepentingan publik. Reformasi birokrasi bukanlah alat legitimasi untuk menguras anggaran negara. Kebijakan remunerasi yang nyata-nyata menguras anggaran seharusnya diimbangi dengan prestasi dan hasil yang konkret. Bukan justru merumuskan kebijakan anggaran yang mengada-ada dan mengarah pada praktek pemborosan.

Pemberantasan korupsi tidaklah hanya bisa diukur dengan seberapa banyak orang dimasukkan ke dalam penjara, tetapi juga harus diukur dari seberapa baik dan berkualitas pelayanan publiknya. Ini tentunya hanya bisa dilakukan jika kebijakan anggaran lebih ditujukan untuk pelayanan publik, bukan justru untuk membiayai perjalanan dinas birokrat yang tidak jelas tujuan dan manfaatnya bagi publik. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar