Reformasi
Birokrasi Gagal?
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency
International Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 28 September 2012
Reformasi birokrasi yang dimulai
sejak 2006 hingga saat ini ternyata mengalami disorientasi. Mungkin saja eranya
yang baru, tetapi aktornya masih didominasi dan diproduksi pada saat birokrat
lama berkuasa. Reformasi sistem birokrasi yang memakan banyak sumber dan biaya
yang tidak sedikit seakan hanya menjadi alat pembenar bahwa birokrasi telah
berubah.
Ada banyak fakta yang bisa
dikemukakan, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan yang selalu
digadang-gadang ternyata dimentahkan oleh terungkapnya banyak kasus mafia pajak
hingga korupsi. Lalu, apa sebetulnya yang hendak dituju oleh reformasi
birokrasi? Belakangan terungkap betapa besarnya anggaran yang dihabiskan oleh
birokrasi pemerintahan di tingkat pusat melalui kegiatan perjalanan dinas. Di
tengah kuatnya kritik dan penolakan publik atas kunjungan kerja ke luar negeri
oleh anggota DPR, birokrasi justru mereplikasi kebiasaan buruk tersebut.
Pemborosan Anggaran
Dalam konteks alokasi anggaran,
belanja birokrasi masih menjadi bagian yang paling banyak menyedot anggaran.
Hampir di setiap daerah, APBD selalu dibebani oleh anggaran untuk membiayai
birokrasi. Menurut data yang dilansir Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran, dalam RAPBN 2013 belanja pegawai mengalami kenaikan hingga dua kali
lipat atau sekitar Rp 28 triliun. Kenaikan ini selalu terjadi dari tahun ke
tahun, namun ironisnya pelayanan birokrasi juga tak kunjung membaik.
Hal yang lebih membuat miris lagi
adalah, alokasi anggaran untuk perjalanan dinas pemerintah pusat dalam RAPBN
2013 mengalami kenaikan signifikan yang mencapai Rp 21 triliun. Jika
dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk program peningkatan kesejahteraan
masyarakat, jumlah ini masih menduduki peringkat teratas. Jika pemerintah
berkaca pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2010, ada temuan
misalnya soal perjalanan dinas fiktif, duplikasi laporan perjalanan, hingga
pemalsuan bukti-bukti perjalanan. Seharusnya ini dijadikan bahan evaluasi
pemerintah pusat untuk lebih berdisiplin dalam mengalokasikan anggaran.
Kesan yang timbul dari
pengalokasian anggaran semacam ini justru menjustifikasi bahwa pemerintah pusat
menjadi aktor utama dalam pemborosan keuangan publik. Ini sama saja mereplikasi
kebiasaan buruk DPR dalam melakukan kunjungan kerja ke luar negeri tanpa
analisis kebutuhan dan tidak jarang kunjungan kerja tersebut tidak menghasilkan
apa pun.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara padahal mengamanatkan untuk menggunakan anggaran sesuai
dengan prinsip "anggaran berbasis kinerja".
Sebagai amanat Pasal 23C
Undang-Undang Dasar 1945 tentang perumusan undang-undang keuangan negara,
semuanya harus berorientasi pada penerapan prinsip pengelolaan keuangan yang
bertanggung jawab dan berorientasi pada hasil. Fungsi alokasi dalam keuangan
negara menjadi dikesampingkan jika pemerintah pusat dan DPR dalam proses
penganggaran senantiasa bersepakat untuk mengalokasikan anggaran secara
serampangan. Padahal fungsi ini ditujukan untuk memberi peringatan kepada
penyusun anggaran untuk tidak melakukan pemborosan sumber daya dan inefisiensi,
serta mengurangi alokasi anggaran yang tidak efektif.
Korupsi Sistemik
Tanpa kita sadari, korupsi yang
tengah mewabah saat ini sebetulnya telah dimulai oleh pemerintah dan DPR pada
saat penyusunan anggaran. Fungsi perencanaan yang melekat pada pemerintah
memiliki andil besar dalam melestarikan praktek korupsi.
Seharusnya pemerintah
memegang fungsi kontrol dan pencegahan terhadap alokasi anggaran yang justru
mengarah pada pemborosan dana publik. Jika ini tidak dilakukan, pemerintah bisa
dianggap sebagai "inisiator" dan "aktor" utama dalam
pembajakan anggaran negara. Birokrasi pemerintahan yang memegang peran dalam
perencanaan anggaran seharusnya lebih peka terhadap hal ini. Temuan BPK yang
telah mengarah pada praktek "pencurian" (korupsi) anggaran negara
melalui kegiatan yang dilegalkan oleh mekanisme APBN hendaknya juga dijadikan
pertimbangan utama dalam penyusunan anggaran. Reformasi birokrasi seharusnya
bisa tecermin dari postur anggaran yang ditetapkan setiap tahun. Alokasi
anggaran seharusnya juga tidak boleh digunakan jika tidak menghasilkan apa pun
terhadap perbaikan pelayanan publik.
Korupsi yang sistemik itu
bukanlah korupsi yang tampak di permukaan, melainkan penggunaan anggaran yang
seolah-olah legal tetapi digunakan untuk hal-hal yang tidak perlu. Korupsi
semacam ini jauh lebih berbahaya karena cenderung tidak terdeteksi oleh
penegakan hukum. Pada titik ini birokrasi memegang peran penting dalam
mendorong pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan berdampak pada
perbaikan pelayanan publik.
Keputusan politik yang selalu
keliru dalam penyusunan anggaran bisa dikoreksi jika birokrasi mampu
mengimbanginya dengan menawarkan postur anggaran yang lebih pro-kepentingan
publik. Reformasi birokrasi bukanlah alat legitimasi untuk menguras anggaran
negara. Kebijakan remunerasi yang nyata-nyata menguras anggaran seharusnya
diimbangi dengan prestasi dan hasil yang konkret. Bukan justru merumuskan
kebijakan anggaran yang mengada-ada dan mengarah pada praktek pemborosan.
Pemberantasan korupsi tidaklah
hanya bisa diukur dengan seberapa banyak orang dimasukkan ke dalam penjara,
tetapi juga harus diukur dari seberapa baik dan berkualitas pelayanan
publiknya. Ini tentunya hanya bisa dilakukan jika kebijakan anggaran lebih
ditujukan untuk pelayanan publik, bukan justru untuk membiayai perjalanan dinas
birokrat yang tidak jelas tujuan dan manfaatnya bagi publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar