Membela Nabi
di Dunia Nyata
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika
Universitas Utara Malaysia
|
REPUBLIKA,
28 September 2012
Film the Innocence of Muslims memantik kekerasan di Benghazi,
Libya. Christopher Stevens, duta besar Amerika Serikat, meninggal akibat
demonstrasi anarkis. Mengapa sebagian Muslim tidak bisa menahan amarah dengan
pandangan orang luar terhadap Nabi Muhammad? Padahal, Nabi sendiri sering kali
berpaling dari cercaan seraya berhujah bahwa mereka yang menghina dirinya
hakikatnya tidak mengetahui hakikat kebenaran. Oleh karena itu, sudah saatnya
kita menengok kembali sejarah kenabian.
Pesona Sang Rasul, yang terbaca jelas dalam banyak kepustakaan,
seharusnya memancarkan pencerahan bagi penganutnya. Sebagian telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin, membaca Sirah Rasul Ibn Ishaq dan Hayatu
Muhammad Haikal adalah cara paling mudah untuk mengingatkan kembali daya
tarik Nabi. Pada masa yang sama, ingatan tersebut bisa mendorong kita untuk
memeriksa kembali kebiasaan yang telah berlangsung selama ini. Kadang sudut
pandang orang luar perlu dibaca juga.
Terkadang, Nabi juga bisa hadir dalam lagu “Rindu Rasul“ ketika
kita mendengarkan lagu ciptaan Taufiq Ismail ini dinyanyikan oleh Bimbo. Lagu
yang membuat Iin Parlina selalu memalingkan wajah ke belakang ketika bernyanyi
karena tak kuasa menahan kerinduan. Mungkin, tradisi memuji Rasul ini membuat
sebagian Muslim tak menyukainya, tetapi tradisi menyanjung pujaan melalui Burdah, Barzanji, Dibaan untuk sebagian
lain mendatangkan ketenteraman dan kedekatan emosional.
Keseharian Rasul
Seperti dalam kesaksian Aisyah, putri Nabi, sang Ayah selalu
membantu pekerjaan rumah tangga dan acap kali menambal bajunya, memperbaiki
sepatu, dan menyapu lantai. Tak hanya itu, Nabi juga memberi minum dan makan
binatang ternak peliharaannya. Uniknya lagi, kakek Hasan-Husein ini tak kikuk
berbelanja ke pasar. Kisah ini tentu merupakan sebuah sisi lain dari teladan
Nabi, yaitu perubahan masyarakat itu bermula dari rumah tangga. Sebagai
pemimpin, beliau tidak ragu untuk mengerjakan pekerjaan kasar. Perilaku ini
juga menunjukkan antitesis terhadap kebudayaan patriarkal yang cenderung
menampik pekerjaan domestik untuk kaum lelaki.
Dalam karya Athar Husain, The
Message of Muhammad (1983), rutinitas Nabi diterakan dengan tiga kegiatan,
yaitu ibadah, urusan masyarakat, dan urusan pribadi. Setelah shalat Subuh,
beliau duduk di masjid untuk berzikir hingga matahari terbit dan banyak orang berkumpul
untuk mengikuti pengajian.
Setelah majelis taklim, Nabi bercakap-cakap dengan riang bersama
jamaah, bertanya tentang kesejahteraan dan bahkan bertukar lelucon dengan
mereka. Usai pertemuan itu, Nabi pulang ke rumah untuk menyelesaikan pekerjaan
rutin rumah tangga. Pada waktu siang, Rasul kembali ke masjid untuk shalat
Zhuhur dan Ashar, lalu dilanjutkan dengan mendengarkan masalah umat dan
menghiburnya, tentu juga memberikan ceramah tentang pedoman hidup.
Menjelang senja, Nabi pulang ke rumah dan setelah shalat Isya
mereka berkumpul di satu tempat untuk makan malam. Sebelum berangkat tidur,
Nabi membaca Alquran dan berdoa. Kebiasaan yang selalu dilakukan sebelum shalat
adalah membersihkan gigi. Di tengah malam, beliau selalu shalat tahajud, kebiasaan
yang tak pernah ditinggalkan sepanjang hidupnya. Rasa-rasanya, tak ada yang
terlalu berat untuk ditiru oleh kita sekarang.
Meraup Pesan
Ternyata, menjadi Muslim itu sesederhana Nabi menjalani keseharian
dengan riang. Meski memangku amanah sebagai pemimpin, anak Abdullah tersebut
tidak memanjakan gaya hidup mewah, sesuatu yang sebenarnya bisa diraihnya
dengan mudah.
Sebagai manusia biasa, Muhammad juga berusaha untuk melawan ke
cenderungan menuruti nafsu hedonis. Seperti diceritakan dalam Hadis Bukhari, Nabi hanya mempunyai
sedikit baju, tetapi senantiasa dijaga kebersihannya. Bahkan pada akhir masa
hidupnya, Nabi tidak meninggalkah uang, hanya sebidang tanah yang itu pun
didermakan untuk kepentingan umum.
Sayangnya, teladan ini tak membekas dengan kuat. Umat lebih banyak
menonjolkan ritual dan simbol keagamaan yang dangkal. Betapa pun ibadah itu
wujud dari ekspresi ketaatan, kita alpa bahwa Nabi memandang penting
kepentingan bersama yang lebih luas. Umat enggan untuk membangun fasilitas
publik sebagai bagian dari perilaku Nabi yang terpuji. Kegagalan umat melihat
hal ini menyebabkan fungsi agama hanya terhenti di tempat ibadah, bukan di
ruang publik.
Dengan demikian, kesungguhan menjalankan keseharian kita dan
menyisakan waktu untuk beribadah adalah lebih dari cukup untuk meneladani
Rasul. Tentu, tak perlu mengaku sebagai Nabi agar keberadaan kita betul-betul
mencerminkan kesalehan sejati.
Hanya, untuk menunjukkan
pembelaan terhadap kesucian Nabi, kita sendiri sebagai Muslim acap kali
menimbulkan kegaduhan, bahkan melakukan kekerasan pada orang lain. Padahal,
bahkan kepada musuh-musuhnya, Nabi tak mencerca dan mengutuk dengan garang.
Justru, yang perlu mendapatkan perhatian bahwa Muhammad senantiasa menanyakan
kesejahteraan umat di ujung ceramah pengajiannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar