Tawuran dan
Pelajaran Agama
Mohamad Guntur Romli ; Pengamat Masalah
Sosial dan Keagamaan
|
MEDIA
INDONESIA, 29 September 2012
PERKARA
tawuran antarpelajar memang membuat pusing sekelilingnya. Jangankan yang kena
dampaknya langsung, seperti sekolah dan keluarga atau penjaja jajanan di
pinggir jalan, yang hanya membaca dan menonton beritanya cuma mampu geleng-geleng
tidak bisa berkomentar. Apa yang dibela dan apa yang hendak direbut dari
tawuran itu? Kalah dan menang dalam tawuran berakhir sia-sia. Menang masuk
penjara, kalah berkalang tanah. Hasil dari tawuran ialah hilangnya masa depan.
Apakah adik-adik yang sering terlibat tawuran tidak bisa memahami itu? Saya
berbaik sangka saja. Mereka paham dan menyadari. Akan tetapi, mengapa tawuran
masih sering terjadi? Itu pangkal kepusingan selama ini. Sudah tahu buruk, tapi
masih jadi fenomena.
Akhirnya
menyikapi tawuran yang memusingkan itu, banyak yang malas dan lepas tangan bahkan
ambil jalan pintas. Di sekolah saat ini lebih banyak pengajar daripada pendidik
atau guru. Mereka merasa tanggung jawab mereka hanyalah pelajaran yang diampu. Komite
sekolah merasa tanggung jawab mereka di area sekolah. Padahal, tawuran sering
terjadi di luar gerbang sekolah, bahkan lokasinya sudah jauh dari sekolah.
Kalau saja mereka tidak pakai baju seragam sekolah, mungkin sudah bisa dibilang
tawuran antarkampung yang lagi-lagi juga jadi fenomena.
Kalau
sudah di jalanan, keributan dan ketertiban jadi urusan polisi. Bagi polisi,
mereka masih di bawah umur. Akhirnya pelaku tawuran hanya ditegur, diancam,
dimarah-marahi, dijemur di lapangan yang malah membuat pelakunya semakin bangga
dan bisa unjuk diri untuk teman-temannya yang tak jarang menganggapnya sebagai
pahlawan dan jagoan di sekolahnya. Pelajar adalah generasi masa depan, disekolahkan
agar menjadi generasi yang terpelajar, berbudi luhur, dan jadi orang baik.
Namun tawuran menyebabkan kekecewaan.
Ada
dua sekolah yang selalu tawuran turun-temurun, katanya hampir tiap pekan. Meski
posko antitawuran dibangun polisi, posko itu hanya aktif kalau sedang
ramai-ramai disorot media. Setelah itu terkunci, berdebu, dan tidak ada
aktivitas apa pun.
Mungkin
karena saking pusingnya ada usulan baru: menambah pelajaran agama untuk
mencegah tawuran. Lagi-lagi itu bukan juga jaminan. Bukankah di seberang lain,
tak jarang ada tawuran yang membawa-bawa agama. Bahkan, kekerasan, pembunuhan,
dan terorisme kadang diatasnamakan ajaran Tuhan yang luhur. Menyadari hal itu,
pertanyaan yang patut diajukan untuk usulan ini, ajaran agama yang mana yang
hendak diajarkan kepada pelajar untuk mencegah tawuran?
Jangan
sampai misalnya ajaran agama yang ditanamkan hanya mengubah orientasi musuh,
dari ‘musuh sekolah’ menjadi `musuh agama'. Kita menemukan para pelaku bom
bunuh diri atau yang terlibat kekerasan ingin bertobat dari dunia lamanya yang
dianggap `hitam kelam'. Mereka ingin masuk surga melalu jalan pintas, ada
penyalahgunaan ajaran agama yang membentangkan pada mereka jalur pintas itu.
Kalau
agama yang diajarkan hanya ingin mempertebal keyakinan dan kesetiaan pada
pemeluk yang sama, tidak toleran, bahkan menyebut pemeluk yang beda agama
sebagai musuh, itu seperti menyelamatkan pelajar dari satu medan tawuran, tapi
menjerumuskannya pada medan tawuran yang lain.
Kita
tidak bisa menutup mata, kasus-kasus yang berkaitan dengan agama juga tidak
seluhur agama itu sendiri. Sampai-sampai, misalnya, pengadaan kitab suci
Alquran juga dikorupsi. Ada fenomena politisasi agama, tujuannya untuk kepentingan
kekuasaan dan keuntungan materi. Hal itu penting untuk disadari agar jangan
sampai ketika kita membawa usul agama ke pelajar, mereka malah mencemoohnya.
Mereka generasi yang melek informasi, bisa kritis bahkan sinis.
Kalaupun
agama yang hendak diajukan, saya berharap agama yang memiliki kepedulian pada
kemanusiaan dan sosial. Pola pendekatannya juga bukan lagi ceramah atau
menambah materi di dalam kelas. Kemasannya perlu mempertimbangkan selera
remaja. Misalnya melalui menonton bersama film-film yang menginspirasi dari
tokoh-tokoh agama yang berdampak pada perjuangan sosial.
Yang
diputar pun tidak melulu satu agama, perlu dari tokoh-tokoh lintas agama agar pelajar
juga memiliki pengetahuan dan watak yang toleran. Tokoh-tokoh seperti Martin
Luther King Jr, Gandhi untuk perjuangan antikekerasan, Muhammad Yunus yang
memiliki kepedulian pada ekonomi orang-orang miskin, ada film Imam and Pastor
yang menceritakan kerja sama pemuka Islam dan Kristen yang terlibat pemulihan
konflik antaragama di Nigeria setelah mereka bermusuhan. Atau film yang
mengisahkan dampak-dampak kekerasan dan narkoba pada anak-anak dan remaja
seperti City of God di Brasil.
Tawuran
bisa bersumber dari cara pandang yang belum dewasa dan tidak ada rasa tanggung
jawab. Hal itu bisa dilakukan kalau pelajar diajak berdiskusi, bukan hanya
dimarah-marahi, diancam, atau cuma dijemur. Membahas problem apa yang menjadi
persoalan mereka. Tak sedikit korban kekerasan dalam tawuran berubah menjadi
pelaku kekerasan karena mereka kebingungan memahami tekanan di sekelilingnya,
akhirnya pelampiasannya dengan kekerasan.
Itulah
yang disebut spiral kekerasan yang sebab-musababnya kait-mengait. Pelajar yang
menerima kekerasan dari teman sekolahnya, atau tetangga sekolahnya, dari guru,
dari orangtua dan lingkungannya. Akhirnya tercetak sosok yang penuh kecurigaan,
merasa terancam terus-menerus, ingin mengungkapkan perasaannya tapi tidak ada
yang peduli. Akhirnya pemberontakan itu melalui ekspresi emosional dan
kekerasan.
Hal
lain soal penyaluran energi. Yang gemar tawuran bisa dipastikan memiliki energi
yang melimpah, tapi tidak disalurkan pada kegiatan yang positif. Setelah
sekolah, banyak waktu menganggur. Mau ke mal mahal-mahal, mau main bola
lapangannya digusur mal, dan tidak ada kegiatan ekstrakurikuler.
Klub-klub olahraga, kesenian, dan beragam minat lainnya bisa
menjadi alternatif.
Kalaupun sampai di titik ekstrem, misalnya tidak ada keahlian, bisa disalurkan
menjadi relawan, misalnya menjadi pemadam kebakaran yang akhir-akhir ini
kewalahan akibat banyaknya kasus kebakaran. Itu hal yang mulia juga. Daripada menumpahkan darah dalam tawuran, lebih baik
menyumbangkan darah dalam kegiatan donor di PMI. Kegiatan-kegiatan alternatif
tersebut bisa dikemukakan daripada hanya menggampangkan persoalan dengan hanya
lari ke agama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar