Selasa, 18 September 2012

Ambiguitas Pendidikan Karakter


Ambiguitas Pendidikan Karakter
Tri Marhaeni PA ;  Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SUARA MERDEKA, 18 September 2012


KETIKA saat ini sedang digalakkan materi pendidikan karakter di sekolah-sekolah secara nasional, pertanyaan yang kemudian selalu mengusik adalah, "Pendidikan karakter seperti apa yang harus diberikan kepada peserta didik?"

Pertanyaan itu selalu saya dapatkan dari tiap pelatihan untuk guru di berbagai daerah di berbagai provinsi. Mereka selalu bingung, dan mengatakan, "Bagaimana cara memberikan pendidikan karakter kepada peserta didik, apa materinya?"

Tentu saja, kalau dibaca sepintas, pertanyaan itu terasa lucu, mengingat guru mau mengajar tetapi dibuat bingung oleh materi. Namun kalau kita mau jujur dan berpikir jernih, justru pertanyaan itu patut ditangkap sebagai ungkapan keprihatinan mereka, sebagai ekspresi kebingungan yang mendalam.

Kemelemahan Karakter

Pendidikan karakter bukan sekadar rangkaian kalimat indah yang disusun dalam buku atau kurikulum melainkan harus merupakan formulasi yang dapat membangkitkan kesadaran akan pentingnya berjiwa luhur dan berbudi pekerti luhur. Tidak sekadar teori yang mudah disampaikan tetapi sulit dilaksanakan.
Ia harus merupakan "obat ampuh" untuk menyembuhkan kemerosotan moral, kemerosotan nilai-nilai dan budi pekerti luhur, terlebih pendidikan karakter juga harus dapat menyembuhkan "kerusakan perilaku" yang makin jauh dari nilai-nilai acuannya.

Kenyataan yang dihadapi guru sangatlah rumit. Banyak sisi yang saling bertentangan dan sangat ambigu. Di satu sisi guru merupakan agen perubahan yang seolah-olah "harus bertanggung jawab" terhadap pendidikan generasi muda, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Di sisi lain, guru dihadapkan pada kenyataan sosial yang memiriskan hati siapa saja yang melihat.

Bagaimana tidak miris jika berbagai perilaku kejahatan moral, dari korupsi, kolusi, nepotisme, hingga suap-menyuap justru dipertontonkan oleh para punggawa negeri ini. Berita koran, situs-situs, dan tayangan televisi menjadi sangat transparan, bahkan cenderung vulgar dalam mengekspose perilaku korupsi dan suap-menyuap, dan hal ini sangat mudah ditangkap oleh peserta didik, bahkan anak-anak sekalipun.

Padahal guru harus memberikan contoh karakter terpuji, nilai-nilai luhur, jiwa kepahlawanan, dan sikap rela berkorban; sementara secara sosial terjadi paradoks: terpapar beberapa kenyataan yang sangat berlawanan? Bagaimana guru menafsirkan realitas sosial itu? Bagaimana guru akan mengajarkan nilai-nilai luhur perilaku terpuji jika para elite politik, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat justru menampilkan sikap dan perilaku sebaliknya?

Sangat sulit untuk tidak menggeneralisasi tafsir sosial atas kenyataan amburadul yang dipertontonkan para elite. Peserta didik bisa skeptik, mencibir, dan berujung pada sikap apatis. Andai guru "menyuruh peserta didik untuk tutup mata dan tutup telinga", yang penting tetap menyampaikan ajaran pendidikan karakter yang sudah terangkai dengan indah sekalipun, toh siswa dapat mengakses berita dari berbagai sumber yang sudah mengglobal.

Jangan lupa, angkatan muda kita, anak-anak kita adalah generasi produk milenium dan produk gadget yang canggih sehingga mereka dengan mudah memperoleh akses informasi apa pun.

Jika hal itu yang terjadi maka peserta didik juga bakal dihadapkan pada ambiguitas dalam menyerap nilai-nilai pendidikan karakter yang diajarkan.

Lalu Bagaimana?

Pertanyaan itu acap kali muncul tiap saya memberikan pelatihan tentang budaya multikultur, nilai-nilai karakter bangsa, dan pelatihan lainnya untuk para guru. Terus terang saya merasa bingung karena saya juga merupakan bagian dari produk keambiguitasan masyarakat.

Dalam kecenderungan kebuntuan semacam itu, sering saya harus membeberkan kenyataan dan harapan yang sangat berbeda, memotivasi guru agar tetap mengajarkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik, sering hanya bisa menyarankan "marilah melakukan sesuatu yang besar dimulai dari hal kecil", sering hanya bisa menyarankan "mulailah dari diri sendiri, dan sekarang juga".

Kemampatan dan kebuntuan jalan bagaimana sebaiknya memengertikan pendidikan karakter kepada anak didik akhirnya hanya melahirkan ajakan dan motivasi kepada pendidik agar tetap bersemangat dan memberikan keteladanan utama. Karenanya saya yakin, dengan keteladanan perilaku luhur, tindakan yang luhur dan terpuji, generasi muda kita akan dengan gembira menyerap nilai-nilai luhur dalam pendidikan karakter. Dengan keteladanan akhirnya mereka merasa "butuh" berperilaku terpuji, bukan sekadar "harus" berperilaku terpuji.

1 komentar:

  1. Pendidikan karakter menjadi ambigu dalam praksis keseharian di sekolah karena gagasan besar atau konsep dasar tentang pendidikan karakter tidak dipahami dengan baik. Buku saya yang berjudul Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, terbitan Kanisius Yogyakarta 2012, mungkin bisa memberikan informasi pada Ibu tentang dimana letak ambiguitasnya, dan bagaimana kita bisa memahami pendidikan karakter secara lebih utuh dan menyeluruh. Pertanyaan dari para guru merefleksikan mental budaya kultur teknis, di mana guru terbiasa dengan SOP, dan SOP ini pun diredusir sekedar pada proses pengajaran di dalam kelas. Padahal, pendidikan karakter memiliki cakupan yang lebih luas daripada sekedar pengajaran di dalam kelas. Proses pengajaran di dalam kelas hanyalah salah satu dari tiga basis pendidikan yang mesti dikembangkan, yaitu berbasis kelas, kultur sekolah dan komunitas.
    Semoga informasi singkat ini berguna bagi pembaca.

    Salam pendidikan

    Doni Koeosoema A
    Penulis buku Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh (Kanisius, 2012).

    BalasHapus