Gus Dur dan
Republik
Akhmad Sahal ; Wakil
Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
|
KOMPAS,
25 September 2012
Negara Indonesia, kita tahu,
berbentuk republik dan berasaskan Pancasila. Bukan negara Islam yang
berlandaskan syariah. Lantas, apa dasar syar’i-nya bahwa umat Islam di negeri
ini mesti loyal terhadapnya? Mengapa mereka mesti taat terhadap konstitusi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Pertanyaan di atas menjadi
relevan buat kita mengingat akhir-akhir ini muncul dua macam gejala yang
muaranya memosisikan NKRI seakan nasibnya sedang di ujung tanduk. Gejala
pertama, maraknya kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas atas nama
Islam. Kedua, adanya sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir
dan thoghut, serta wajib diganti
dengan negara syariah.
Untuk mengurai pokok
masalahnya, izinkan saya mengutip Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam
artikelnya, ”NU dan Negara Islam”, Gus Dur menolak ide negara Islam karena itu
memberangus heterogenitas Indonesia. Ia juga memaparkan sikap NU yang menerima
keabsahan NKRI bersandar pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1935 di
Banjarmasin bahwa kawasan Hindia Belanda wajib dipertahankan secara agama.
Alasannya, kaum Muslim bisa bebas menjalankan ajaran Islam. Atas dasar itulah
NU menyatakan komitmennya kepada republik kita, yang berdasarkan Pancasila dan
bukan Islam.
Hal yang menarik, Muktamar
NU 1935 tak langsung mengecap Hindia Belanda sebagai kawasan kafir (darul kufr). Rupanya ulama NU menyadari,
status hukum segala sesuatu tak bisa ditentukan hanya dengan semata-mata
memetik teks agama (nash) begitu
saja. Konteks (al-waqi’) juga mesti
diperhitungkan.
Kesadaran tentang konteks
inilah yang mesti diperhitungkan untuk menilai status hukum NKRI dari sudut
pandang syariah, dan kenapa kita wajib loyal kepadanya. Ini berarti, kita mesti
tahu dulu apa sejatinya makna kata ”republik” yang dilekatkan pada ”Indonesia”.
Sederhananya, republik
adalah tatanan politik di mana negara menjadi urusan publik. Publik di sini
jadi sumber legitimasi politik, tetapi sekaligus jadi tujuannya. Karena itu,
sistem republik sering kali dilawankan dengan monarki yang berbasis kekuasaan
personal sang raja. Juga dipertentangkan juga dengan negara jajahan yang
berbasis pada kuasa kolonial.
Republik adalah sistem yang
menjamin setiap warga terbebas dari dominasi, yang tak lain adalah kekuasaan
sewenang-wenang dari pihak luar diri sang warga tadi. Entah itu dominasi dari
individu yang lain, negara, atau kelompok masyarakat.
Dengan demikian,
pemerintahan republik—mengutip Hatta dalam Ke Arah Indonesia Merdeka
(1932)—”senantiasa takluk pada kemauan rakyat”. Artinya, aturan yang mengatur
rakyat ditentukan sendiri oleh mereka. Dalam republik, yang berlaku adalah
kedaulatan rakyat, yang didefinisikan oleh Hatta begini: ”Rakyat itu daulat
alias raja bagi dirinya sendiri. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan
kecil saja yang memutuskan nasib bangsa, melainkan rakyat sendiri.”
Komitmen Kebangsaan
Dengan kata lain, inti dari
republik adalah kemauan rakyat yang berkehendak untuk bebas dari dominasi apa
pun. Artinya, pemerintahan yang memimpin dan hukum yang mengatur mereka mesti
berdasarkan pada persetujuan, kesepakatan, atau perjanjian di antara mereka
sendiri. Secara kelembagaan, hal ini diwujudkan melalui demokrasi di mana
rakyat memerintah dirinya sendiri (self-rule).
Menurut paparan di atas,
anggapan bahwa NKRI adalah sistem kafir yang haram untuk ditaati dengan telak
bisa dirontokkan berdasarkan argumen berikut.
Pertama, sebagaimana
dinyatakan Gus Dur dalam artikelnya, NKRI
memang bukan negara Islam. Namun, tidak berarti hukum Islam tidak ditegakkan di
situ. Buktinya, masyarakat Muslim bisa dengan bebas menjalankan ajaran Islam
tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus Dur, ”Mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum Muslimin, tetapi
mendirikan masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam adalah sesuatu yang
wajib.”
Dengan kata lain, dalam
kerangka sistem republik, kaum Muslim tetap mendapatkan keleluasaan untuk
menerapkan syariah. Namun, penerapannya berlangsung secara sukarela dan atas
kesadaran sendiri, bukan melalui paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan
dengan prinsip republik yang anti terhadap dominasi dalam berbagai bentuknya.
Kedua, tuduhan NKRI identik
kekafiran mencerminkan kegagalan memahami hakikat tatanan republik, yakni
sebagai negara perjanjian atau kesepakatan antarpelbagai elemen bangsa demi
melawan dominasi dalam berbagai bentuknya.
Pada titik ini, ada baiknya
saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah tentang NKRI pada Juni lalu di
Bandung. Menurut Muhammadiyah, Indonesia yang berdasarkan Pancasila merupakan
negara perjanjian atau kesepakatan (darul
’ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), serta negara yang aman dan damai (darussalam). Keputusan tanwir itu
diperkuat pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahwa komitmen
terhadap Pancasila adalah manifestasi komitmen untuk menepati janji, sesuatu
yang diperintahkan dalam Islam.
Ketiga, taruhlah benar bahwa
NKRI adalah negara kafir. Lalu apa konsekuensinya bagi warga negara Indonesia
yang Muslim? Di Indonesia, kaum Muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh dan
bebas menjalankan agamanya. Ini berarti, NKRI bukanlah Darul Harbi yang mesti diubah menjadi Darul Islam.
Dari sudut pandang hukum
Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir yang
tidak memerangi umat Islam sesungguhnya terikat kontrak dengan negara itu.
Dengan begitu, jika ia melanggar konstitusi negara itu, apalagi berupaya
menggantinya dengan yang lain, ia sesungguhnya menjadi pengkhianat kontrak.
Ibnu Qudamah, ulama mazhab
Hanbali, menulis dalam Al Mughni: ”Muslim yang tinggal di negara kaum kafir
dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara itu karena
mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si
Muslim tak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang
dalam Islam.” Nabi bersabda: ”Al muslimun
’inda syuruthihim—kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka
sepakati.” Dan, kata Nabi: ”Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada
hari kiamat nanti anusnya akan ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya
akan ketahuan secara terbuka.”
Mungkin karena tahu akan
kerasnya kecaman Nabi terhadap pengkhianatan terhadap suatu kesepakatan (ghadr), maka Gus Dur tak henti-hentinya
menyerukan kaum Muslim Indonesia untuk memegang teguh komitmen mereka terhadap
NKRI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar