Perempuan
Nelayan Terpinggirkan
Sri Multi Fatmawati ; Pegawai Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Perempuan dan Keluarga Berencana Kota
Semarang
|
SUARA
KARYA, 27 September 2012
Harus diakui, pemerintah memang belum mengakui
perempuan nelayan, terbukti dari kebijakan-kebijakan yang meminggirkan
perempuan. Sebut saja, soal kredit, hanya nelayan laki-laki yang leluasa
mengaksesnya. Meskipun Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Committee on the Elimination of
Discrimination Against Women (CEDAW), puluhan tahun lalu, namun efeknya
terhadap kaum perempuan, khususnya mereka yang bekerja sebagai nelayan hampir
tidak terdengar.
Perempuan nelayan sebagai salah satu komponen
masyarakat pesisir selama ini tidak banyak menyentuh perhatian kita, termasuk
dalam berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di wilayah pesisir. Isu-isu
peran mereka pun tidak banyak terdokumentasi dalam berbagai media.
Perempuan nelayan seolah hanya menjadi bayangan
dari nelayan yang dalam pikiran kita hanya kaum pria yang sebagian atau seluruh
hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin kencang untuk
memperoleh hasil tangkapan ikan. Kondisi demikian telah lama kita anggap
sebagai hal yang lumrah, karena dalam budaya kita perempuan dikonstruksikan
secara sosial maupun budaya untuk menjadi kanca
wingking yang hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga.
Keterbatasan ekonomi keluarga menuntut
perempuan nelayan termasuk anak-anak perempuan mereka bekerja di daerah pesisir.
Perempuan-perempuan tersebut, jika dilihat dari aspek ekonomi perikanan
sebenarnya menempati posisi yang sangat strategis.
Mereka adalah pedagang
pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar maupun pengolah hasil perikanan, yang
sangat menentukan berjalan atau tidaknya arus hasil perikanan dan kelautan dari
produsen ke konsumen.
Di beberapa wilayah pesisir bahkan perempuan
melakukan penangkapan ikan seperti yang banyak ditemukan dalam kegiatan
penangkapan kepiting di hutan bakau di Teluk Bintuni, Papua. Peran produktif
ini, bagi wanita nelayan bahkan sering mengalahkan peran reproduktif atau
domestiknya.
Pengembangan yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas manusia di wilayah pesisir seharusnya memperhatikan kondisi perempuan
maupun pria atau bersifat sensitif gender. Peran produktif perempuan nelayan
hanya dapat dioptimalisasikan apabila faktor penghambat yang melingkupinya
teridentifikasi dengan baik. Walaupun secara kuantitatif jumlah perempuan lebih
banyak dari pada pria, belum banyak rencana pembangunan yang benar-benar
mendasarkan pada kebutuhan kaum perempuan, padahal mereka bekerja pada dua
fungsi sekaligus, reproduktif dan produktif.
Program pembangunan pesisir ke depan diharapkan
dapat menyediakan pekerjaan kepada perempuan nelayan untuk memiliki peluang
yang sejajar dengan pria. Optimalisasi peran perempuan nelayan dapat dicapai
melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayan ke dalam kebijakan
nasional, provinsi, pemantauan maupun evaluasi pembangunan. Upaya ini tidaklah
mudah dilakukan jika tidak didukung kesadaran dan kepekaan para pengambil
kebjakan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang diikuti oleh
program-program yang dapat menjamin keterlibatan para perempuan.
Program penguatan peran perempuan dapat
dilakukan melalui kelembagaan usaha lewat usaha yang berbasis kelompok. Melalui
upaya ini para perempuan diharapkan memiliki posisi bargaining yang lebih baik terhadap pesaing umumnya kaum pria
dengan modal yang lebih besar. Upaya ini juga akan mempermudah akses perempuan
nelayan terhadap modal, pasar, informasi dan teknologi.
Identitas Hilang
Identitas perempuan nelayan telah dihilangkan
dan dianggap tidak ada karena nelayan selalu diidentikkan dengan laki-laki yang
mencari hasil-hasil kekayaan di laut lepas. Marginalisasi terhadap perempuan
nelayan, bahkan dimulai sejak identitas dirinya dan pengalaman hidupnya dalam
mengelola sumber-sumber kehidupan diabaikan.
Pengelolaan sumber-sumber
kehidupan di pesisir dan laut, bahkan telah menjauhkan pengalaman perempuan
nelayan sebagai sebuah pengetahuan. Perempuan nelayan bisa berdaulat, jika
sudah ada perubahan relasi sosial dan relasi gender yang adil.
Ketidaksetaraan gender yang ada di masyarakat,
membuat perempuan nelayan sukar meningkatkan kemampuan mereka untuk
berkontribusi dan mengembangkan potensinya secara maksimal. Akses terhadap
informasi, pemanfaatan sumber daya alam (SDA), pendidikan, fasilitas kredit,
hak untuk mengemukakan pendapat merupakan unsur-unsur yang perlu diperjuangkan
guna keluar dari ketidaksetaaraan gender.
Rendahnya pendidikan serta terbatasnya akses
perempuan nelayan terhadap sumber-sumber ekonomi, menyebabkan perempuan kurang
cepat tanggap terhadap perkembangan teknologi dibandingkan dengan laki-laki. Di
samping itu, mereka mengalami keterbatasan akses terhadap program pengembangan
usaha, informasi pasar, dan manajemen. Ketidaksetaraan gender dalam masyarakat
dan bertambahnya beban akibat dampak pembangunan, menjadikan perempuan sulit
keluar dari keterpurukan.
Peran aktif perempuan dalam proses pembangunan mempercepat
tercapainya tujuan penyejahteraan. Untuk merespon situasi hari ini, negara
perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan nelayan. Negara harus
mengakui, melindungi serta memproduksi kebijakan yang berpihak kepada penegakan
hak-hak perempuan nelayan. Hal ini secara praktis akan memperbaiki kehidupan
sekitar 2,7 juta keluarga nelayan di seluruh Indonesia. ●
Ibu Sri Multi Fatmawati, saya sependapat dengan tulisan ibu. Kebetulan saya tinggal di daerah pantai, di Lasem, Rembang, dan melihat bagaimana posisi nelayan perempuan tersisihkan. Perlu kebijakan dan pengarusutamaan gender dalam membangun dunia perikanan laut di negeri ini.
BalasHapus