Pelajar dan
Brutalitas
Muh Khamdan ; Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum
dan HAM RI
|
REPUBLIKA,
27 September 2012
Tontonan
kekerasan kini seolah telah menjadi bahaya laten dalam masyarakat. Bahkan,
kekerasan tersebut justru diperankan oleh kalangan terdidik yang mestinya
menjadi agen pe rubahan masyarakat. Tawuran antara pelajar SMAN 70 Jakarta dan
SMAN 6 Jakarta seakan mengingatkan kejadian serupa pada tahun lalu dengan adanya
penganiayaan dan perampasan kamera wartawan.
Pada
dasarnya, kekerasan atau agresi merupakan perilaku sosial yang di butuhkan
manusia untuk bertahan hidup. Hal ini sebagaimana budaya yang terbangun dalam
masyarakat primitif yang bertahan hidup dengan melakukan perburuan binatang.
Dalam budaya ini, bagian psikologi manusia bukan hanya pada aspek
pembunuhannya, tetapi juga aspek kekejamannya. Setidaknya, pernyataan itu
sesuai dengan teori libido Freud bahwa jiwa manusia dipengaruhi kekuatan
seksual yang mendorongnya untuk agresif dan ingin berkuasa.
Namun,
fakta yang terjadi dalam “reinkarnasi” gerakan moral kalangan pelajar demikian
jelas merupakan bumerang dalam dunia pendidikan nasional. Program pendidikan
karakter melalui peningkatan pemahaman tentang demokrasi, moral keagamaan,
serta proses-proses kebangsaan ternyata belum efektif mengendalikan akumulasi
kefrustrasian anak bangsa yang terdidik. Peristiwa memalukan tersebut sudah
seharusnya me njadi momentum bersejarah agar institusi terkait lebih mawas diri.
Pendidikan
karakter sebagai model pengembalian atas posisi pendidikan akhlak dan budi
pekerti mendesak untuk diperkuat. Pendidikan akhlak dan budi pekerti sangat
berperan dalam membentuk karakter atau kepribadian seseorang, yang pada
gilirannya akan mampu mendukung karakter demokrasi maupun penyelenggaraan
sistem kenegaraan.
Karenanya,
program civic education sebagai bagian
dari pendidikan karakter harus diperkuat, yaitu pemahaman dasar tentang cara kerja
demokrasi dan hukum, pemahaman tentang konsepsi hukum dan HAM, penguatan
keterampilan partisipasi menyelesaikan konflik sosial, dan mengembangkan
kesadaran budaya demokrasi dan perdamaian.
Dengan
demikian, mendudukkan nilainilai Pancasila dalam dunia pendidikan perlu segera
dibangun secara sistematis karena telah mengalami keterpinggiran dari
masyarakat Indonesia. Imbasnya tentu dapat dilihat bahwa kalangan terdidik itu
sendiri yang merobohkan nilainilai kesantunan dan toleransi sebagai karakter
orisinal bangsa Indonesia melalui aksi kekerasan yang semakin merajalela.
Apalagi terjadi adanya proses penetrasi pemikiran sekaligus tindakan pragmatis
yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak merata
melalui kekuasaan dominan.
Hal
tersebut bukan hanya akan membuat masyarakat menjadi pihak tertindas, tetapi
juga akan menjadi aktor yang menghalalkan segala cara karena memahami bahwa
segala sesuatu harus diperoleh dengan kekuasaan. Tentu konsekuensi sosial yang
harus dihadapi adalah konflik yang tiada berujung karena masyarakat mudah diprovokasi
oleh pihak-pihak yang sengaja menginginkan instabilitas keamanan. Terlebih bagi
para pelajar yang mudah tersulut emosi akibat tekanan pendidikan yang
dialaminya.
Ketika
rata-rata tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat belum mendukung perjalanan
demokrasi yang modern, pemaksaan kebenaran secara sepihak akan menjadi tontonan
harian masyarakat. Dalam posisi demikian hukum yang berlaku harus tetap
ditegakkan. Para pelajar yang melakukan aksi tawuran, pada dasarnya merupakan
kalangan terdidik yang tentu menyadari bahwa aksi tawuran yang dilakukannya telah
mengganggu ketertiban umum sekaligus sebagai tindak kriminal manakala diiringi
adanya penganiayaan.
Mesti
diakui bahwa perjalanan pendidikan selama ini justru tidak memberikan
kesempatan terhadap peserta didik dan pendidik dalam berekspresi menempa jati
diri masa depan. Mereka dipaksa menjadi robot untuk menghapal segala rumus
bahkan menghapal semua materi pelajaran yang diujikan. Mulai dari sekolah
tingkat terendah sampai menengah atas, semangat berpikir pragmatis dan instan
menjelma menjadi budaya belajar generasi
saat ini.
Persoalan
pendidikan semacam itu berlanjut dengan tumbuhnya generasi yang tidak memiliki
nilai-nilai dasar seperti keteguhan dalam berprinsip, solidaritas sosial, dan
toleran terhadap perbedaan, karena semua diseragamkan da lam satuan sistem,
yaitu lulus dan tidak lulus, pintar dan bodoh, atau bermutu dan tidak bermutu.
Proses pendidikan hanya diukur berdasarkan skala kuantitatif.
Kecenderungan
pola pendidikan itu berimplementasi pada model pergaulan peserta didik yang
memasung sekat sosial masing-masing. Komunitas pandai akan bersama dengan
orang-orang yang pandai, begitupun peserta didik yang kurang kemampuan
intelektualnya akan disisihkan bersama orang-orang yang bodoh lainnya. Dampak
psikologis dari pilihan semacam itu adalah anak-anak yang mendendam untuk meruntuhkan
sekat sosial yang sengaja memarginalkannya.
Tidak
heran jika produk komunitas yang terpinggirkan tersebut akan senantiasa menghiasi
forum tawuran pelajar, pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain.
Bagi kalangan ini, pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena
kesadaran sosial kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar