Surplus Beras
Berbasis Impor
Mochammad Maksum Machfoedz ; Guru
Besar Sosial Ekonomi Agroindustri,
FTP UGM
|
KOMPAS,
27 September 2012
Janji swasembada beras, gula, jagung,
kedelai, daging sapi, dan garam pada 2014 semakin mendekati tenggat yang
dijanjikan. Namun, justru krisis pangan yang kita hadapi.
Program swasembada sebenarnya sungguh
realistis dikaitkan dengan luas Indonesia yang 30 persennya adalah daratan
dengan panjang pantai 96.000 kilometer, terpanjang ketiga sejagat. Bagi pangan,
optimisme itu pun didukung ketersediaan sejumlah lahan yang bisa
dialihfungsikan dan ketersediaan 12 juta hektar lebih lahan tidak diusahakan.
Tak terbantahkan adanya potensi alam dan
optimisme publik sekaligus target Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika pada
2010 mencanangkan swasembada. Mendukung tekad Presiden, berpaculah para menteri
menurut tupoksi, berlomba menyusun peta jalan (road map) dan target, meski
dalam banyak hal irasional dan tanpa kekuatan politik.
Target Tanpa Kekuatan
Indah sekali target para menteri. Melalui
lembaga terkaitnya, garam harus swasembada 2014, sementara importasinya kini 65
persen. Swasembada gula harus terjadi 2014, dari posisi impor 40 persen tahun
2012. Demikian pula optimisme ompong dibangun bagai macan kertas untuk jagung,
daging sapi, dan kedelai.
Disebut ompong karena target yang didukung
potensi alam dan SDM ternyata tak pernah terjawab dengan rasionalitas peta
jalan, penargetan dan kegigihan politik para menteri. Tahun 2014 memang masih
beberapa waktu lagi. Namun, mudah untuk menilai bahwa pesimisme akan capaian
swasembada semakin menghantui. Indikasi kegagalan swasembada 2014, pada hari
ini teramat mudah dideteksi.
Beberapa kasus terkait komoditas strategis
seperti garam, gula dan kedelai nyaris memiliki kesamaan karakter krisis,
seperti (i) penargetan dan dukungan pembangunan yang tak rasional; (ii)
proteksi yang tidak memadai dihadapkan pada importasi komoditas yang
terproteksi berat di negeri asalnya; dan (iii) kebijakan pejabat teknis tanpa
komitmen keswasembadaan dan nyaris sempurna didikte para kroni, pemilik modal
importasi.
Fenomena krisis mudah ditangkap pada
pembebasan cukai kedelai dan importasi gula oleh PT Perusahaan Perdagangan
Indonesia, pergulaan nasional yang dikhianati sendiri, revitalisasi Bulog yang
berpotensi mengebiri pabrik gula nasional demi rente ekonomi, dan kecanggihan
importir garam yang tidak manusiawi bagi petani. Pertanyaan besarnya, apakah
krisis dimaksud juga melanda perberasan nasional dengan target surplus 10 juta
ton pada 2014?
Surplus Berbasis Importasi
Surplus 10 juta ton digelorakan. Aneka
skenario dibangun berikut rekaman kemajuan yang harus spektakuler meski target
tersebut berada antara rasional dan tidak.
Dalam peta jalan yang optimistik, dilaporkan
target produksi beras 2012 tercapai 97 persen, setara surplus 2 juta-3 juta
ton. Bulog mempertanyakan: kalau datanya benar, lima tahun terakhir memberikan
surplus 12 juta ton, tetapi harga ternyata tetap tinggi (Kompas, 22/9). Menurut
Menteri Pertanian, importasi tidak terkait dengan produksi, tetapi terkait
terbatasnya pengadaan oleh Bulog.
Polemik menahun yang termonitor ternyata tak
pernah usai. Publik menyaksikan betapa perdebatan tentang keandalan data
semakin krisis dan memprihatinkan dalam sofistikasi akademik dan informatika
dewasa ini.
Kalau tingginya harga dipakai sebagai
pembenar importasi Bulog, Menteri Pertanian berdalih produktif berbasis segala
insentif yang telah ditebar. Juga ditunjang penghargaan Presiden kepada 10
gubernur dan 130 bupati/wali kota, 18 Juli 2012, karena peningkatan produksi
berasnya 5 persen lebih.
Ironi makin menjadi-jadi. Optimisme surplus
yang dilaporkan dalam Konferensi Dewan Ketahanan Pangan, 18 Juli, disambut
keputusan importasi 1 juta ton di luar konferensi. Alasannya, harga tinggi dan
cadangan Bulog tidak aman. Dua bulan berselang, 18 September, dengan bangga
diberitakan MOU dengan Vietnam, yang mencatu RI 1,5 juta ton per tahun, 2013-2017.
Apa gerangan makna angka importasi ini?
Sungguh sulit dimengerti. Mendekati 2014,
swasembada beras sarat kontaminasi importasi. Hampir pasti bahwa surplus
politis 10 juta ton beras itu pun berbasis importasi.
Inilah ironi negeri agraris. Apa pun pilihannya,
dalam beras terdapat multidimensi urusan, meliputi hak asasi, kedaulatan,
keadilan dan spiritual, baru ekonomis. Teramat membahayakan ketika importasi
dimaknai sekadar urusan finansial belaka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar