Anomali
Pertumbuhan Ekonomi
Joseph Henricus Gunawan ; Alumnus University of Southern Queensland
(USQ), Australia
|
MEDIA
INDONESIA, 26 September 2012
PADA
25 September di New York dalam forum Indonesia
Investments Day, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan pertemuan
khusus dengan sejumlah investor besar dan tokoh bisnis dunia seperti CEO IBM,
CEO Honeywell, CEO Cargill, dan CEO Millennium Challenge Corporation, sekaligus
menjelaskan pernyataan Presidential
Address mengenai kebangkitan Indonesia sebagai Asia’s New Economic Power House.
Sebelumnya,
pada 7-8 September lalu, pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) CEO
Summit 2012 dengan 21 negara anggota APEC telah diselenggarakan di Kampus Far Eastern Federal University,
Vladivostok, Russky Island, Rusia. SBY juga mempromosikan dan menarik investor
untuk menanamkan modal pada sektor infrastruktur melalui skema public private partnership. MP3EI 2025
menyebut berbagai jenis proyek infrastruktur yang hendak dibangun di Indonesia
memerlukan investasi sebesar US$500 miliar.
Meskipun
perekonomian nasional pada 2011 tumbuh 6,5% dan pada kuartal I 2012 menyentuh
6,3%, Indonesia masih harus menghadapi dan mengantisipasi dampak resesi ekonomi
global yang masih berlangsung lama. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahkan
memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangan global 2012 menjadi 2,5% dari target
awal 3,7% dan proyeksi pertumbuhan ekspor-impor global 2013 dipangkas menjadi
4,5% jika dibandingkan dengan prediksi sebelumnya sebesar 5,6% berdasarkan
asumsi pertumbuhan ekonomi dunia 2,1% pada 2012 dan 2,4% pada 2013 karena
prospek ekonomi dunia masih suram akibat krisis utang Eropa dan perlambatan
ekonomi Amerika Serikat (AS) serta China.
Gejolak
ekonomi di satu wilayah dunia dapat dengan cepat menyebar ke belahan dunia lain
dengan semakin saling terhubungnya perekonomian global dan dunia pun semakin
bergantung satu sama lain. Hampir semua negara dewasa ini merasakan imbas
krisis ekonomi global dengan adanya penurunan nilai ekspor sehingga tidak dapat
lagi dijadikan pegangan utama untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi.
Gagal Perbaiki Kesenjangan
Pemerintah
cenderung mendeklarasikan kehebata an pertumbuhan ekonomi yang didorong
konsumsi. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak menunjukkan
perbaikan dengan tidak meratanya perputaran kue pemb putaran kue pembangunan
ekonomi baik secara komposisi maupun prioritas. Kesenjangan, disparitas, dan
ketimpangan antara si kaya dan si miskin makin melebar mengingat konsumsi masih
tetap menjadi andalan. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang konsumsi masyarakat merupakan
suatu hal yang umum dan wajar terjadi di negara yang jumlah penduduknya sebesar
Indonesia dengan 237,56 juta jiwa.
Badan
Pusat Statistik (BPS) merinci indeks Gini di Indonesia pada 1999 berada di
angka 0,31 dan level 0,36 pada 2005. Pada 2009, koefisien Gini berada di level
0,37 dan 0,41 pada 2011 terbesar sepanjang sejarah. Data indeks Gini BPS mengungkapkan
kekuatan dan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 20% penduduk yang menyandang
predikat orang kaya, sedangkan jatah penduduk dengan kategori pendapatan
terendah dari tahun ke tahun semakin anjlok. Koefisien Gini yang diterbitkan
BPS memperlihatkan kesenjangan penghasilan tak kunjung membaik, makin timpang,
serta lebar. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpuruk.
Kesenjangan
pendapatan antara kelompok kaya dan miskin telah melebar. Asia Pacific Wealth Report 2012 yang dikeluarkan Capgemini membuktikan populasi jutawan
Indonesia bertambah dari 24 ribu orang (2009) menjadi 30 ribu orang (2010) dan
tercatat 32 ribu orang dengan keka yaan di atas US$1 juta pada 2011 (high net worth individual/HNWI). Itu
juga didukung World Ultra Wealth Report
2012-2013 yang melansir populasi orang superkaya (ultra-high net worth individual/UHNWI) di Indonesia dalam setahun
terakhir bertambah 35 orang menjadi 785 orang dengan kekayaan di atas US$30
juta atau setara Rp285 miliar. Ironisnya, total kekayaan 785 orang superkaya
pada 2012 bahkan menembus US$120 miliar atau naik sekitar 41,2% dari posisi
US$85 miliar pada 2011. Kenaikan angka yang fantastis itu merupakan yang
tertinggi di Asia.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi sejauh ini telah banyak
melahirkan orang-orang kaya.
Oleh
karena itu, sungguh menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah lebih suka
mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan masalah kesenjangan antara
kelompok masyarakat yang tergolong berpendapatan tinggi dan rendah? Tepatlah
seperti yang diingatkan Joseph Eugene Stiglitz, ekonom AS, profesor Columbia
University, dan pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2001, dalam bukunya yang berjudul
The Price of Inequality.
Joseph
Stiglitz mengkritik sangat keras dengan mengatakan harga sebuah ukuran
ketimpangan ekonomi itu sesungguhnya dapat meruntuhkan dan menghancurkan
pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi yang makin dalam itu bakal merugikan
perkembangan ekonomi, mengurangi kesempatan ekonomi masyarakat, mengancam
lembaga pemerintahan, dan membahayakan politik, bahkan menempatkan demokrasi
dalam risiko bahaya di masa depan.
Strategi
penanggulangan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan melalui pemerataan
pembangunan berkeadilan bertujuan untuk meningkatkan, memperluas, dan
mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Tolok ukur dan barometer
peningkatan kesejahteraan rakyat ialah penurunan tingkat kemiskinan, penurunan
tingkat pengangguran dengan meningkatkan pembangunan industri serta menciptakan
kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan rakyat per kapita.
Pemerintah harus mendorong keterlibatan dan
partisipasi berbagai unsur seluruh komponen bangsa yang memiliki potensi dalam
perbaikan dan perumusan strategi kebijakan yang berpihak kepada rakyat untuk
mengoptimalkan dan merealisasikan proyek-proyek pembangunan publik berkeadilan
kalau tidak mau dikatakan sebagai negara tertinggal. Konsistensi dan keseriusan
komitmen pemerintah harus terefleksikan dalam mengalokasikan anggaran untuk
memajukan, menyejahterakan rakyat, serta mencerdaskan kehidupan bangsa
sebagaimana termaktub dalam Preambul UUD 1945. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar