Indonesia Baru
Perlu Negarawan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan
Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 28 September 2012
KITA bersyukur pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) DKI
Jakarta berjalan lancar. Banyak yang memuji itulah bukti kematangan demokrasi
kita. Pujian itu valid bila menyangkut pemilukada DKI. Banyak analis berpesan
agar pemilu kada di tempat-tempat lain mengacu pada pola Jakarta.
Di sisi lain, di samping puja-puji, banyak asumsi yang mengandung
harapan berlebihan. Misalnya ada yang menganggap yang terjadi di Jakarta
mencerminkan spirit Indonesia. Tentu kita menginginkan demikian, sebab itu
berarti sentimen SARA atau jenis primordial lain tidak berpengaruh pada pertimbangan
rasional rakyat Indonesia; masyarakatnya tidak gampang dimanipulasi
kepentingan-kepentingan politik dan nuraninya berbicara untuk kepentingan
seluruh kelas masyarakat demi perbaikan kehidupan di masa depan. Tentang itu,
kita patut merasa lega kalau memang demikian halnya.
Namun, asumsi-asumsi itu rasanya perlu kita uji mengingat 10 juta
warga Jakarta bukan sepenuhnya mewakili rakyat Indonesia yang berjumlah sekitar
25 kalinya, yang tinggal terpencar di wilayah yang luasnya sekitar 1,9 juta
km2. Kepekaan dan godaan-godaan politik penduduk Nusantara tentu tidak sama
dengan yang dialami warga DKI yang tinggal di wilayah kurang dari 7.000 km2
dengan lingkungan politik yang sangat berbeda.
Kematangan Berpolitik
Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari pemilu kada DKI ialah
perlunya pendidikan politik bagi bangsa ini demi kematangan berdemokrasi. Warga
Jakarta mendapat pembelajaran langsung dari lingkungannya. Pelajaran lain,
rakyat menghendaki pembaruan. Itu menjelaskan mengapa harus terjadi estafet
kepemimpinan. Fauzi `Foke' Bowo terpaksa melepas jabatannya sekalipun
pengalaman dan pendidikan formalnya di bidang tata kota sangat menjamin. Fakta
itu antara lain yang merapatkan barisan partai-partai politik besar untuk
mengusung Foke.
Mengenai pembelajaran politik bahwa warga Jakarta yang demikian
heterogen berhasil melaksanakan pemilu kada secara cerdas dalam suasana damai
antara lain merefl eksikan politik bukan barang asing bagi para pemilih Jakarta.
Perilaku lembaga-lembaga pemerintahan--eksekutif, legislatif, dan
yudikatif--ataupun organisasiorganisasi politik berbentuk partai dan lainnya,
yang jumlahnya puluhan dan berpusat di Jakarta, secara langsung mereka amati
dan tengarai. Pendalaman pengetahuan mereka tentang lingkungan politik semacam
itu terbantu oleh aliran deras informasi yang hari demi hari datang dari
berbagai sumber, baik melalui media maupun obrolan di warung-warung kopi.
Itulah pembelajaran secara wajar yang langsung menyentuh pribadi-pribadi yang
bersangkutan, tanpa suap dan paksaan.
Dari pembelajaran semacam itu, yang berkepentingan bisa belajar
mengenal siapa atau organisasi macam apa yang pantas menjadi anutan. Para
pemilih diam-diam mulai membanding-bandingkan dan melakukan perburuan untuk
menangkap negarawan yang memiliki komitmen mengadakan pembaruan. Suasana begini
hanya dimungkinkan kalau lingkungan mendukung. Jakarta memiliki lingkungan yang
mendukung para warga menentukan pilihan.
Sikap Kenegarawanan
Mampukah kita menemukan negarawan-negarawan untuk memimpin negeri
ini di masa depan? Kesan lamban menangani kalau bukan membiarkan
pelanggaran-pelanggaran hukum dan moral yang kita saksikan selama ini membuat
kita bertanya-tanya, mana sikap kenegarawanan kita? Itu mungkin terguncang oleh
perubahan politik-ekonomi global yang dahsyat, yang berpengaruh terhadap
kehidupan nasional dan bahkan membuat kita menafikan falsafah negara, membuat
banyak tokoh yang semula kita harapkan menjadi anutan terbukti belum
menunjukkan komitmen sepenuhnya. Simpang siur mengenai kebijakan ekonomi dan politik
yang sedang mencari bentuk kesepakatan menggambarkan fenomena itu.
Tentu diperlukan kerendahan hati untuk kesediaan bekerja sama demi
kemaslahatan bersama. Apa yang sebenarnya dicari kalau bukan kesejahteraan
rakyat banyak? Kesadaran itu sedang kita bangkitkan. Itu alasannya mengapa
kita, khususnya partai-partai politik, di masa depan perlu mencari
negarawan-negarawan; bukan sekadar pemburu kursi.
Dalam rangka pemilu kada DKI, seperti ‘pucuk dicinta ulam tiba’,
sikap kenegarawanan
itu sekilas tersirat pada akhir keramaian pemilihan, yakni
ketika Fauzi Bowo menyampaikan ucapan selamat kepada Joko Widodo, yang
ditimpali dengan permintaan maaf Jokowi karena ungkapan atau perkataan yang
kurang menyenangkan terhadap Foke selama kampanye. Lengkaplah skenario
keteladanan yang dipertontonkan Jakarta. Ungkapan-ungkapan dua tokoh itu
rasanya bukan mencerminkan menang-kalah antarpartai, tetapi ungkapan-ungkapan
tulus dari nurani dua mantan pesaing.
Sekalipun episode pemilu kada DKI
ibarat hanya berlangsung sepintas, yang sepintas itu mampu membangkitkan
harapan bahwa kita bisa membangun kesepakatan dengan jalan damai. Sentimen
SARA, misalnya, terbukti tidak laku untuk masyarakat yang matang politik. Maka,
jangan kita memainkan sentimen SARA--yang menyalahi falsafah bangsa--demi
kepentingan kelompok/pribadi. Jangan pula kita terlalu meyakini bahwa
partai-partai politik bisa menjadi tunggangan untuk menentukan kalah-menang.
Masyarakat yang cerdas akan memilih negarawan daripada kepiawaian taktik dan
strategi partai politik. Kecuali kalau partai-partai politik memang menjalankan
strategi mencari negarawan untuk kader-kader mereka demi demokrasi yang ideal
bagi bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar