Belajar dari
Kearifan Subak
Etty Indriati ; Antropolog;
Dosen Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
29 September 2012
Setelah Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mengumumkan subak
dari Bali sebagai budaya warisan dunia akhir Juni lalu, pekan ini, penghargaan
itu resmi diserahkan. Subak menjadi warisan dunia kedelapan di Indonesia.
Tujuh lainnya adalah Taman
Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Candi Borobudur, Candi Prambanan,
Situs Sangiran, Taman Nasional Lorentz, dan hutan hujan tropis Sumatera yang
mencakup Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan.
Konvensi UNESCO 1972 tentang
warisan dunia terinspirasi dari penyelamatan monumen Abu Simbel dan candi
lainnya di Nubia yang terendam banjir Sungai Nil ketika bendungan Aswan
dibangun. Aksi penyelamatan candi pada 1960 menarik perhatian 50 negara dan
terkumpul donasi 80 juta dollar AS. Kini UNESCO telah menetapkan 962 warisan
dunia di 157 negara.
Irigasi persawahan
Subak adalah pengelolaan
irigasi persawahan secara komunal yang menjadi perekat sosial dan ketahanan
pangan. Kawasan warisan dunia 19.500 hektar itu meliputi lima kabupaten:
Buleleng, Tabanan, Gianyar, Badung, dan Bangli, termasuk Danau Batur dan Pura
Taman Ayun.
Sistem subak dan peran pura
di dalamnya mengingatkan pada Kerajaan Tiwanaku di Bolivia di ketinggian 4.500 meter
di atas muka laut. Kerajaan ini punah pada abad XI, meninggalkan candi batu
Kalasasaya dan sisa kanal-kanal pertanian. Sistem pertanian di dataran tinggi
Andes ini sekarang punah dan masyarakat Tiwanaku bergantung pada pengawetan
kentang dan daging sapi untuk pangannya.
Subak luar biasa karena
sudah dipraktikkan lebih dari 1.000 tahun dan masih lestari sampai hari ini.
Namun, tantangan yang dihadapinya dahsyat. Ada degradasi lingkungan karena
perubahan penggunaan lahan akibat turisme, peternakan, perhotelan, industri air
minum, dan pariwisata air terjun. Maka, hutan di Bali tinggal 22 persen dan
dari 400 sungai sumber air subak, 260 mengering. Irigasi 82.000 hektar sawah
subak terancam.
Sejak menjadi
warisan dunia, tamu jadi ramai sekali. Mereka berjalan berkeliling merusak
pematang sawah sehingga perlu segera koordinasi dari berbagai pihak yang
berwenang.
Lanskap budaya Bali ini
meruntuhkan terminologi the tragedy of
the common ahli ekonomi Garrett Hardin bahwa sumber daya alam selalu
dikontrol oleh segelintir orang dan akan dieksploitasi dalam era globalisasi
karena tiap individu apalagi yang memiliki perusahaan dapat meraup sumber daya
alam. Menurut Tim Harford di Financial
Times, betul bahwa sumber daya alam akan hancur akibat keserakahan dan
egoisme. Namun, Hardin lupa bahwa sumber daya alam dapat dikelola komunitas.
Subak adalah contohnya. Ekonom Elinor Ostrom, pemenang Nobel ekonomi tahun
2009, juga meneliti sumber daya yang dikelola komunitas nelayan lobster di
Main, juga irigasi di Spanyol.
Subak luar biasa karena
mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang memadukan teknologi dengan ritual
keagamaan dan tata sosial masyarakat. Stephen Lansing yang meneliti subak
menyimpulkan bahwa menanam varietas padi yang sama dan pembagian air melalui
kongregasi anggota subak merupakan cara untuk menghalau hama tikus, serangga,
dan penyakit.
Upaya Pelestarian
Pelestarian subak adalah
pelestarian air, ketahanan pangan, dan pelestarian kehidupan. Prediksi
akademisi, tahun 2050 dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di kota. Dalam
ekosistem, kota adalah konsumen dan desa sebagai produsen.
Sayang, desa penghasil
pangan semakin sedikit jumlahnya sehingga subak menjadi semakin penting untuk
dilestarikan meski tidak gampang mewujudkannya. Perlu aturan dan ketaatan agar
tidak ada perubahan fungsi lahan, ketegasan pengelolaan tata ruang, serta
penanganan sistem pertanian secara baik dan benar.
Sistem Nilai
Subak lebih dari sekadar
sistem irigasi. Ada juga sistem nilai, adat-istiadat, dan ritual yang menjaga
kelestarian air dan kehidupan. Perlu dialog ABCGM (akademisi, bisnis,
komunitas, pemerintah, dan media) agar petani mendapat keuntungan, misalnya
dengan mewujudkan wadah koperasi untuk kunjungan turis, mendapat bantuan dalam
pemasaran, dan branding beras organik
Bali.
Turis datang
jangan sampai hanya melihat sawah, tetapi ada pedoman buku saku tentang nilai
budaya di dalamnya. Perlu dipertimbangkan pula rute turis agar tidak
menginjak-injak pematang sawah dan merugikan petani, serta pembatasan jumlah
pengunjung. Makin menarik bila turis bisa memandang undak-undak sawah dari
balon udara seperti di Masai Mara Afrika.
Tanpa komunitas, nilai dan
budaya terkikis maknanya. Air ini oleh anggota subak dibagi dengan hukum adat awig-awig, air disucikan dengan ritual
di pura-pura, dan ada denda bagi mereka yang mencuri air. Dalam Subak, tata
kelola air irigasi sawah secara komunal merupakan manifestasi filosofi Tri Hita Karana yang menggambarkan
hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan),
alam (palemahan), dan orang (pawongan).
Sistem nilai budaya
mengelola sumber daya air secara komunal merupakan nilai penting untuk
diplomasi budaya. Diplomasi budaya bukan rumah fisik, ia cair mengalir sebagai
tata nilai, tradisi, dan seni unik yang berbeda dari negara lain.
Diplomasi budaya sebagai
bagian dari diplomasi publik menjadikan bangsa lain ingin mengenal dan belajar
tentang kita. Ketika subak ditetapkan sebagai warisan dunia, ia menjadi iklan
gratis terhadap 195 negara anggota UNESCO lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar