Parpol
Berparas Perempuan
Moh Ilham A Hamudy ; Peneliti di BPP
Kementerian Dalam Negeri
|
REPUBLIKA,
29 September 2012
Demokrasi adalah sebuah proses inklusif. Oleh karena itu, dalam kehidupan
demokrasi yang sehat, semua perspektif dari berbagai kelompok kepentingan harus
dipertimbangkan secara saksama. Kepentingan dan pandangan kaum laki-laki,
perempuan, serta kelompok minoritas, merupakan bagian mutlak dari proses
pengambilan keputusan.
Kendati begitu, alih-alih dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan, keterwakilan kaum perempuan dalam institusi politik di Indonesia,
terutama partai politik (parpol), justru sangat minimal. Pelbagai tantangan dan
kendala mengadang para perempuan untuk masuk ke dalam parpol. Di antaranya
adalah kurangnya dukungan partai, keluarga, dan masih kentalnya iklim
perpolitikan yang menonjolkan unsur kelelakian (masculine model).
Kesetaraan gender belumlah tecermin dalam keterwakilan perempuan
dan laki-laki di bidang politik. Hingga saat ini partisipasi perempuan dalam
aktivitas kepartaian masih sangat rendah. Meskipun jumlah perempuan di DPR kita
mengalami peningkatan, yaitu dari 11,3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 18
persen pada Pemilu 2009.
Padahal, tugas menyamakan perwakilan laki-laki dan perempuan harus
dimulai dalam tubuh partai-partai politik. Namun, dalam konteks politik
Indonesia, karakter dan ciri parpol masih banyak menimbulkan kendala bagi
keterlibatan perempuan dalam dunia politik.
Secara umum, biasanya parpol yang berkuasa dan mapan akan mempertahankan
sikap konservatif terhadap perempuan dan tidak mau melihat, serta menyesuaikan
diri dengan arus perubahan radikal yang menggejolak di masyarakat.
Hanya parpol alternatif, dan biasanya parpol kecil, yang dinamis
mau memberikan peluang dan kesempatan lebih besar kepada perempuan. Selebihnya,
banyak parpol mengaku kekurangan sumber daya untuk menempatkan perempuan dalam
parpol. Alasan klasiknya, susah mencari kader perempuan yang mumpuni.
Melibatkan Perempuan
Sementara itu, hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak
asasi manusia (HAM). Dan, HAM sejatinya merupakan esensi dari kerangka
demokrasi.
Sehingga, melibatkan perempuan dan laki-laki dalam parpol menjadi syarat mutlak
bagi demokrasi. Apalagi, dalam teori politik, jelas tidak ada dikotomi
perempuan dan laki-laki. Meski kenyataannya, hak perempuan dalam berpolitik
acap dipolitisasi dan dimobilisasi atas nama demokrasi.
Jika ditelisik, akar persoalannya adalah parpol memang tidak mempunyai
political will dan prosedur perekrutan yang transparan untuk menempatkan
perempuan dalam parpol. Bukan semata-mata kekurangan kader perempuan yang
mumpuni. Gelagat parpol seperti ini agaknya terus saja menghalangi terpilihnya
perempuan menjadi pengurus parpol meskipun UU Parpol dan UU Pemilu terbaru
sudah mengakomodasinya, 30 persen keterwakilan perempuan.
Celakanya, kondisi ini semakin diperparah oleh keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang tempo hari resmi mencabut aturan yang mereka tetapkan
sendiri terkait syarat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Menurut KPU, parpol cukup memenuhi 30
persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat (4/9).
Pasal 4 Peraturan KPU No 8 Tahun 2012 mensyaratkan parpol calon
peserta Pemilu 2014, antara lain, harus menyertakan sekurang-kurangnya 30
persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Namun, setelah konsultasi KPU dengan pemerintah dan Komisi II
DPR, KPU malah mengubah aturannya sendiri.
Menurut KPU, ketentuan keterwakilan 30 persen perempuan dalam
kepengurusan parpol pada UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD hanya di tingkat pusat.
KPU cuma meminta kepada parpol yang tidak mampu memenuhi 30 persen keterwakilan
perempuan pada kepengurusan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk
memberikan penjelasan sebagai wujud akuntabilitas.
Padahal, mestinya KPU berani mengambil terobosan agar bisa
mewujudkan afirmasi kepengurusan perempuan dalam parpol, bukan malah takluk
dengan kepentingan parpol. Terlebih, belum ada sanksi tegas dikenakan kepada
parpol, yang hingga saat ini belum melaksanakan perintah UU Pemilu untuk
menambah komposisi perempuan sebanyak 30 persen, meski hanya di tingkat pusat.
Tindakan Afirmatif
Agar tidak terulang di kemudian hari, tindakan afirmatif
diperlukan terkait iklim parpol yang berbau maskulin. Aturan hukum tentang
parpol dan pemilu sudah saatnya berorientasi perempuan hingga ke tingkat provinsi
dan kabupaten/kota. Tujuannya, menyadarkan bahwa ada hak perempuan yang selama
ini terabaikan dan harus dikembalikan.
Dengan begitu, banyaknya keterwakilan perempuan dalam parpol
diharapkan akan memengaruhi kebijakan menjadi lebih pro terhadap perempuan.
Kebijakan-kebijakan politik pada akhirnya juga bisa dilihat dari perspektif
gender.
Sejauh ini, beberapa parpol memang sudah bersedia menggunakan
peraturan internal sebagai alat untuk menyertakan perempuan dalam struktur
partai.
PPP, misalnya, menetapkan 30 persen perempuan berada di dewan pimpinan pusat
dan daerah hingga ke tingkat kabupaten/kota.
Merujuk tulisan Joni Lovenduski (2005) dalam `Feminizing Politics', kalau kuota 30 persen keterwakilan perempuan
dalam parpol terpenuhi di semua tingkatan, minimal ada dua gejala yang dapat
ditimbulkan. Pertama, adanya kesungguhan perempuan untuk berupaya mau terjun ke
dunia politik, setidaknya mewakili nama parpol.
Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran perempuan
itu sendiri bahwa politik adalah domain kebijakan kenegaraan yang mengatur arah
dan tujuan negara. Sehingga, proses pengambilan kebijakan dapat dilakukan
secara politis oleh semua komponen bangsa termasuk perempuan.
Kedua, timbul kesadaran
masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada perempuan agar tidak saja memilih
dan dipilih, tetapi juga menjadi pengurus inti parpol. Pada akhirnya, ikhtiar
ini tentu akan lebih banyak memberikan peluang kepada perempuan berkiprah di
ranah politik. ●
Artikel ini dikirim ke tiga media sekaligus
BalasHapushttp://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2012/09/25/parpol-berparas-perempuan
http://www.fajar.co.id/read-20120925221222-parpol-berparas-perempuan