Quo Vadis RUU
Mahkamah Agung
Romli Atmasasmita ; Wakil
Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
|
KOMPAS,
25 September 2012
Pasca-Reformasi, bandul
kekuasaan di antara ketiga pilar kekuasaan negara telah berpindah dari
eksekutif ke legislatif. Itulah kenyataan praktik ketatanegaraan yang tengah
berlangsung di Indonesia.
Kini, tampaknya, obsesi
kekuasaan legislatif merambah ke kekuasaan yudikatif, yaitu lewat inisiatif DPR
mengajukan RUU tentang Mahkamah Agung (RUU MA).
Maksud penyusun RUU MA baik,
yakni menyambut pemisahan kamar-kamar pada MA. Saat ini ada tujuh kamar dengan
hakim majelis spesialis: perdata, pidana, tata usaha negara, tata negara,
agama, militer, dan kamar pajak (Pasal 25). RUU MA juga untuk menyempurnakan
proses pengajuan banding, kasasi, dan peninjauan kembali dengan mematok batas
waktu sehingga diharapkan ada kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan.
Materi muatan RUU MA yang
terdiri atas 11 bab dan 103 pasal juga memuat ruang untuk memberikan koreksi
kepada MA dan badan peradilan di bawahnya. Baik yang bersifat administratif
maupun pidana, tetapi belum ada koreksi yang bersifat perdata.
Ketentuan korektif bersifat
pidana mungkin dianggap oleh penyusunnya suatu kemajuan. Namun, jika didalami
benar dan obyektif, langkah korektif pidana ini dapat berefek ganda. Pertama,
kinerja hakim akan semakin teliti dan benar. Kedua, juga ada kemungkinan
terjadi ”stagnasi” semangat kerja para hakim.
Bahkan, langkah korektif
pidana ini akan mendegradasi pemikiran para hakim. Mereka bisa sangat
legalistik dan menjadi sosok safety
player, bukan berdasarkan keyakinan dan demi untuk keadilan dalam membuat
putusan sebagaimana telah diatur dalam KUHAP (jika perkara pidana). Bunyi ketentuan
Bab VIII tentang Larangan, diperkuat ketentuan sanksi pidana dalam Bab IX,
sungguh memprihatinkan. Penyusun RUU MA tampaknya beranggapan: ketentuan
ancaman pidana— paling lama penjara 10 tahun dan atau/denda paling banyak Rp 10
miliar—merupakan solusi satu-satunya yang akan memberikan efek jera, baik
terhadap hakim bersangkutan maupun hakim lain.
Subyektivitas Penyusun
RUU
Hal lain, jika membaca
ketentuan larangan (Pasal 95), hampir dipastikan lima jenis perbuatan yang
dilarang tak mudah pembuktiannya. Bahkan, adanya ketentuan larangan tersebut
tumpang tindih dengan ketentuan pasal suap dan gratifikasi yang telah diatur UU
No 31/1999, yang diubah dengan UU No 20/2001.
Lima jenis perbuatan yang
dilarang dimaksud: (1) menggunakan jabatan dan atau kekuasaan untuk kepentingan
pribadi atau pihak lain atau keluarga yang punya hubungan pekerjaan,
partai/finansial atau punya nilai ekonomis; (2) merekayasa fakta- fakta hukum
dalam penanganan perkara; (3) menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk
melakukan penekanan secara fisik atau psikis; (4) meminta dan atau menerima
hadiah dan/atau keuntungan; serta (5) melarang keluarga meminta dan atau
menerima hadiah dan atau keuntungan sehubungan jabatannya serta bertindak
diskriminatif.
Kelima perbuatan yang dilarang
sungguh tak mudah menemukannya, bahkan membuktikannya, kecuali informasi atau
laporan yang bersifat anonim. Termasuk fitnah atas dasar kebencian atau kalah
perkara.
Larangan perbuatan juga
berlaku untuk hakim agung (Pasal 97). Hal yang dilarang: (1) membuat putusan
yang melanggar undang-undang; (2) membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan
kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara; (3) membuat putusan yang
tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas masyarakat, adat
istiadat, dan kebiasaan turun-temurun sehingga mengakibatkan pertikaian dan
keributan; (4) dilarang mengubah Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi
Yudisial secara sepihak dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.
Secara obyektif semua
ketentuan perbuatan yang dilarang itu mencerminkan subyektivitas penyusun RUU
MA. Alih-alih memperkuat kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas pengaruh
dari siapa pun, RUU MA telah membuat ”kuburan terhadap kekuasaan kehakiman”.
Ini justru di tengah-tengah kondisi masyarakat masa transisi yang masih
menampakkan sikap anomali tentang arah yang benar dan sikap yang dibenarkan
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Bahkan, RUU MA telah beri
ruang bagi politisi beropini terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang MA dalam
bentuk hasil pengawasan atas penyimpangan terhadap UU. Tampaknya penyusun RUU
MA hendak meningkatkannya dari sekadar ”rapat konsultasi” menjadi ”rapat kerja”
dengan MA. RUU MA menempatkan kekuasaan legislatif jadi lex supreme dengan karakter primus
interpares terhadap kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Quo vadis kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar