Perihal Boikot
Pajak
Masdar Farid Mas’udi ; Rois
Syuriah PBNU;
Wakil Ketua Umum Dewan
Masjid Indonesia
|
KOMPAS,
28 September 2012
Isu boikot pajak memanas. Puncaknya ketika
Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama pekan lalu, melalui Ketua Umum KH Said Aqil
Siroj mewacanakannya ke publik dan segera disambar oleh hampir semua media
nasional kita.
Tentu saja hal itu membikin gerah bahkan
cemas sejumlah pihak, terutama jajaran petinggi negara yang bertanggung jawab
langsung terhadap urusan pajak.
Kita tahu, wacana boikot pajak di negeri ini
sudah menyeruak, baik di media sosial maupun di obrolan warung-warung kopi.
Pasalnya, tidak lain karena semakin merajanya praktik korupsi dan kolusi yang
terus menggerogoti jaringan saraf kekuasaan dan birokrasi di negeri ini, mulai
dari pusat sampai di daerah, bahkan sampai ke pelosok pedesaan terpencil.
Di pihak lain, janji dan pekik Reformasi
untuk memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) justru sudah lama tak
terdengar. Tak seorang pun dari kalangan pejabat dan politisi kita yang masih
berminat melafazkannya. Padahal, di negeri yang penuh verbalisme ini, kebaikan
yang selalu di khotbah kan pun hanya sedikit yang dijalankan, apalagi yang
tidak lagi diperkatakan.
Dalam undang-undang kita, korupsi dinobatkan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Namun, apa buktinya? Hukuman atas koruptor tidak lebih berat dari
hukuman pencurian biasa. Alih-alih dapat hukuman tembak atau penjara setengah
abad seperti dikenakan di beberapa negara, di negeri ini korupsi rata-rata
hanya dipidana kurungan 3-4 tahun saja.
Sudah begitu, di dalam penjara koruptor dapat
fasilitas VIP luar biasa. Keluar penjara disambut para petinggi dan tokoh
masyarakat, layaknya pejuang yang baru kembali dari pengasingan. Pada saat yang
sama, uang miliaran rupiah hasil korupsinya tetap utuh, jadi jaminan hidup
mewah sekeluarga, sampai anak cucu.
Tiga Opsi
Semua kita tahu, obyek korupsi tidak lain
adalah uang pajak yang diperas dari keringat rakyat, dan atau dari kekayaan
alam yang juga adalah milik segenap rakyat. Atau jika sebagian dari utang,
akhirnya harus dibayar juga dengan pajak rakyat. Maka, apa yang janggal kalau
muncul ultimatum untuk boikot pajak?
Sesungguhnya di forum Munas NU berbagai opsi
telah ditelaah secara saksama. Opsi pertama, biarkan saja keadaan berjalan
seperti apa adanya: rakyat terus dikejar pajaknya dengan berbagai cara,
termasuk dengan ancaman pidana. Apakah mereka membayar dengan keterpaksaan dan
umpatan, tidaklah penting.
Pajak yang dibayarkan dengan suasana
kebatinan seperti ini pada dasarnya tidak ada bedanya dengan pemalakan. Dalam
pandangan agama atau moral apa pun, kehalalan dan keberkatan uang seperti ini
sangat diragukan, bahkan disangkal.
Tak mengherankan apabila di seputar uang
pajak muncul praktik-praktik yang secara moral pun bermasalah. Sebutlah kolusi
antara petugas pajak dan wajib pajak. Pajak yang seharusnya 100 persen masuk
kas negara akhirnya hanya separuhnya; sisanya ditilap berdua. Fenomena seperti
Gayus Tambunan sekadar contoh kecil yang terkuak. Setelah pajak masuk ke kas
negara, dalam proses pembelanjaannya pun terjadi penyelewengan yang tidak kalah
serius. Ia dikorup sejak dari tahap perencanaan anggaran sampai dengan tahap
eksekusinya di lapangan. Merasa tidak sendirian, para koruptor umumnya tetap
tampil tenang, tebar senyum ke kanan dan kiri, penuh percaya diri.
Bertolak dari ujaran pajak adalah hak dan
kepunyaan negara, orang-orang yang punya legalitas bertindak atas nama negara
pun merasa berhak menggunakan uang itu sesuka hatinya. Angka 60 persen lebih
anggaran negara habis untuk biaya rutin adalah salah satu bukti. Belum lagi
yang dijarah dari anggaran pembangunan infrastruktur dan lain-lain. Sementara
hanya sekitar 10 persen saja yang sampai ke rakyat, itulah sekadar obat penawar
agar mereka tak sampai membuat huru-hara.
Jengkel melihat fenomena kemungkaran yang
telah dipandang jamak lumrah inilah maka apa yang aneh apabila kemudian muncul
opsi kedua: boikot pajak!
Pilihan boikot pajak sama sekali bukan barang
baru. Sejak zaman baheula pada era feodal raja-raja di berbagai belahan bumi,
aksi serupa sering terjadi. Revolusi sosial menyeluruh, di Barat maupun Timur,
yang melahirkan negara demokrasi-modern menggantikan pola kekuasaan feodal nan
korup pun terlahir dari aksi politik yang bertumpu pada gerakan boikot pajak.
Tak pelak lagi boikot pajak adalah cara
sangat efektif menekan kekuasaan, terutama jika dilakukan serentak oleh segenap
rakyat pembayar pajak. Tidak usah boikot itu dilakukan oleh semua wajib pajak,
30 persen saja terutama para wajib pajak besar, maka denyut nadi dan mesin
negara bisa berhenti, dan chaos serta gelombang anarkis tak bisa dihindari.
Pertanyaannya, seberapa serius para kiai NU
mempertimbangkan opsi boikot pajak ini? Boleh dicatat, di kalangan ulama
pesantren ada adagium yang mengatakan: sittuna
sanatan tahta imamin jaair khairum minal faudla/enam puluh tahun di bawah
pemerintahan otoriter, masih lebih lumayan dibanding membiarkan negara
terjerembab dalam anarkisme total.
Oleh sebab itu, bisa ditebak bahwa opsi
boikot pajak secara massal dan menyeluruh tak pernah menjadi opsi yang secara
sadar akan diambil oleh siapa pun, termasuk oleh kiai-kiai yang sehari-hari
hidup bersama dan di tengah-tengah rakyat jelata yang sangat rentan dengan
guncangan.
Maka, yang dituntut oleh kiai-kiai NU kiranya
cukup jelas, sesuatu yang sangat masuk akal dan ada dalam kemampuan kita semua,
terutama para pejabat negara, yakni opsi ketiga: kelolalah uang pajak yang
dipungut dari keringat rakyat dan dari bumi Nusantara anugerah Allah untuk
kepentingan segenap rakyat dengan penuh rasa tanggung jawab.
Para pejabat negara dan aparat pemerintah
harus menyadari, mereka bukanlah pemilik uang pajak itu, yang boleh mereka
pakai sesuka hati. Dalam bahasa para kiai, para pejabat hanyalah amil (panitia,
pemegang amanat). Mereka hanyalah pihak yang diberi kewenangan memungut dan
mengelolanya, yang untuk itu mereka berhak mendapatkan bagian (1/8 atau 12,5
persen) dari pajak yang terkumpul. Sementara sasaran utama dari penggunaan
pajak adalah untuk kemaslahatan rakyat secara keseluruhan, terutama
pemberdayaan kaum fakir-miskin dan kaum duafa lain, tanpa membeda-bedakan agama
atau warna kulitnya.
Berubahlah Segera!
Perubahan ini harus segera, jangan lagi
ditunda-tunda. Para pejabat negara dan segenap pemegang amanat rakyat, mulai
dari tingkat pusat sampai ke tingkat paling bawah, harus bergegas menunjukkan
komitmen dan aksi nyata. Berperilakulah sebagai pelayan rakyat sekaligus
pelayan Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang!
Jika tidak, jika masih ditunda-tunda, tidak
ada satu kekuatan pun, termasuk NU, dapat menganulir fatwa dan aksi Sang Rakyat
untuk melakukan apa yang mereka ingin lakukan, dengan harga risiko yang pasti
bisa sangat mahal harganya.
Semoga
Allah SWT segera membimbing kita semua bangsa Indonesia, terutama para pemimpin
dan pejabatnya, ke arah yang diridai rakyat dan Dia Yang Mahakuasa, secepatnya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar