Efisiensi
Lahan dan Produksi Pangan
Lepi T Tarmidi ; Guru
Besar Emeritus FEUI
|
KOMPAS,
29 September 2012
Permasalahan ekonomi sosial
menumpuk terus terutama karena pemerintahan yang salah urus. Padahal,
negara-negara berkembang lain, termasuk negara tetangga, semakin hari semakin
maju.
Dua hal mendasar yang salah
urus adalah tanah dan beras. Lahan pertanian kian hari kian menyusut, khususnya
sawah, sehingga produksi padi stagnan. Banyak sawah yang subur yang beralih
fungsi menjadi kawasan industri dan properti.
Di negara maju ada prinsip
dasar sebagai pedoman pemanfaatan lahan. Pertama, tanah yang subur hanya
dipakai untuk pertanian pangan. Kedua, tanah yang kurang subur untuk peternakan
dan tanaman keras. Ketiga, tanah yang disediakan untuk kawasan taman nasional.
Keempat, tanah tidak subur, misalnya kering, berbatu, dipakai untuk perumahan,
industri, dan mal.
Lahan perumahan dan industri
yang kurang bisa diperluas ke daerah pesisir dengan cara pengurukan sebagaimana
halnya di Belanda dan Singapura, bukan dengan pengalihan tanah persawahan yang
subur. Di Jepang, tidak mungkin lahan sawah dikonversi. Sawah harus
dipertahankan demi pangan.
Meskipun sudah sangat
terlambat, baru tahun 2009 Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 41 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Untuk menjaga ketahanan
pangan, UU ini harus dilaksanakan dengan tegas dan berani. Yang sudah telanjur
berubah fungsi memang sulit untuk dikembalikan, tetapi kita masih bisa menjaga
keberlangsungan lahan sawah yang masih tersisa.
Kebutuhan lahan memang
besar, antara lain untuk perumahan sehingga harga tanah menjadi mahal. Di
negara mana pun, mahalnya harga tanah disiasati dengan membangun rumah ke atas
sampai puluhan tingkat. Hanya di Indonesia orang membangun rumah ke samping
yang sangat memboroskan tanah.
Di samping perumahan
bertingkat tinggi, pengembang membangun fasilitas umum sekaligus infrastruktur
jalan menuju pusat-pusat perekonomian dan tempat kerja. Misalnya, membangun
jalur kereta baru. Areal perumahan ini tidak dibangun di tengah kota, tetapi di
pinggiran kota.
Yang terjadi sekarang adalah
hukum pasar. Siapa kuat dan berani bayar mahal, dia dapat barangnya. Maka,
tanah sawah yang paling subur pun dibeli dan dialihfungsikan. Padi pun kemudian
ditanam di lahan yang tidak subur sehingga hasil produksi padi tak mungkin
tinggi.
Solusi Instan
Karena sudah bertahun-tahun
Indonesia tidak bisa swasembada beras dan harus mengimpor beras dalam jumlah
besar, timbul kegamangan. Muncullah gagasan-gagasan instan yang tidak
dipikirkan secara matang, misalnya imbauan pemerintah agar rakyat mengurangi
konsumsi nasi.
Muncul pula gagasan
diversifikasi pangan. Apakah ada negara Asia lain yang ribut untuk diversifikasi
beras? Mereka tetap makan nasi dan orang China makan nasinya banyak. Saya
setuju dengan upaya diversifikasi pangan, tetapi bukan untuk menggantikan
beras, melainkan untuk menambah variasi makanan. Upaya menggantikan beras
dengan pangan lain akan gagal.
Kepanikan lain ditunjukkan
oleh Wali Kota Depok ketika mengeluarkan Peraturan Daerah tiap hari Selasa
penduduk Depok tidak makan nasi. Apakah pemikiran ini sudah dicoba oleh Pak
Wali Kota? Saya yang kerjanya di Depok jadi bingung bagaimana caranya mematuhi
peraturan Pak Wali Kota ini. Kalau makan nasi, pilihan jenis lauknya banyak
sekali. Kalau saya makan singkong, ubi, dan jagung sebagai makanan utama sampai
kenyang, lauknya apa? Mungkin bisa ikan asin, tetapi jelas tidak bisa dengan
sayur asem. Ini harus dilakukan tiga kali dalam sehari, padahal orang Indonesia
belum merasa makan kalau belum ketemu nasi dan sambal.
Sebenarnya diversifikasi
pangan juga sudah berjalan, hanya saja salah arah, yakni ke konsumsi makanan
berbasis gandum sehingga kita harus impor gandum dalam jumlah besar dan
menghabiskan banyak devisa, misalnya makanan berbasis mi, kue, roti, biskuit,
dan piza. Konsumsi ini sudah meluas ke desa-desa dan masyarakat golongan bawah.
Untuk menghadapi serbuan
ini, pemerintah kembali punya gagasan besar: memproduksi massal gandum tahun
2014 (Kompas, 14 Juni 2012). Mengapa kita tidak impor saja, meski jumlahnya
terus meningkat? Menurut teori perdagangan internasional, kita mengekspor
barang di mana kita memiliki keunggulan komparatif dan mengimpor barang di mana
kita tidak memiliki keunggulan komparatif.
Artinya setiap negara tidak
harus menghasilkan semua barang sendiri karena ini namanya otarki. Kita juga
tidak bikin sepatu, baju, dan roti sendiri. Ada pembagian kerja menurut siapa
yang paling efisien sehingga terjadilah win-win
solution.
Sepengetahuan saya, gandum
ditanam di daerah yang subtropis atau dingin. Kalaupun bisa tumbuh di
Indonesia, apakah hasilnya bisa bagus? Bukankah biasanya gandum ditanam di
tanah dataran luas, lalu kalau di Indonesia di mana tempatnya? Mampukah kita
menanam gandum yang kita butuhkan, padahal belum ada pengalaman?
Pada saat ini dan saya kira
juga untuk masa datang, produksi gandum dunia akan tetap melimpah dan harganya
juga murah. Ini pun bagus karena berarti satu bungkus mi instan bisa diperoleh
dengan harga lebih kurang Rp 1.800 per bungkus, demikian pula harga roti akan
terjangkau.
Produksi Beras
Kita harus melihat apa
kesalahannya sehingga Indonesia tidak bisa swasembada beras, padahal
negara-negara lain bisa dan bahkan bisa ekspor. China yang jumlah penduduknya
1,4 miliar, India yang 1,2 miliar, serta semua negara Asia Timur dan Tenggara
bisa, tetapi Indonesia tidak. Ada upaya diversifikasi pangan, tentu baik-baik
saja. Namun, janganlah ini dipaksakan karena kemungkinan meningkatkan produksi
beras masih terbuka.
Alasannya, petani kita sudah
mengenal budaya tanam padi selama berabad-abad sehingga sudah sangat ahli. Mengapa pula hal
ini harus ditinggalkan. Sangat sulit dan membutuhkan waktu lama untuk
mengajarkan rakyat makan pangan lain selain nasi.
Berikutnya adalah melarang
konversi lahan persawahan yang subur untuk keperluan lain, artinya UU yang
sudah ada perlu ditegakkan secara konsekuen dari menteri sampai kepala desa.
Produktivitas tanaman padi
kita juga masih relatif rendah dan masih sangat mungkin ditingkatkan, bahkan
hingga panen tiga kali setahun. Intensifkan penelitian di balai penelitian,
penyediaan bibit unggul, pupuk, dan pestisida murah. Optimalkan penanganan
pascapanen.
Pemerintah wajib membangun
dan memelihara saluran irigasi sehingga petani bisa tanam beberapa kali dalam
setahun di atas lahan yang sama. Sekarang ini banyak saluran irigasi yang rusak
dan tidak terpelihara.
Penyuluh pertanian perlu
diturunkan dan mendampingi petani di lapangan mengembangkan teknik-teknik
pemberantasan hama, bisa dengan pengasapan, burung hantu. Di Belanda ada
petugas ahli yang berprofesi sebagai penangkap tikus berkeliling ke seluruh
negeri.
Namun, yang lebih penting
lagi adalah harga beras yang pantas sehingga petani bergairah menanam padi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar