(Si)apa yang
Salah?
Yeremia Lalisang ; Manajer pada Program Magister Kajian Terorisme UI
|
REPUBLIKA,
26 September 2012
Pertanyaan ini sering kali memenuhi ruang publik dan opini di
media setelah suatu rentetan serangan teror terjadi lagi. Kali ini, rendahnya
kewaspadaan publik termasuk faktor yang disorot. Egoisme dan individualisme
dinilai membuat masyarakat enggan peduli terhadap siapa yang tinggal di sebelah
rumah atau bahkan apa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Barker (2008) memaparkan bahwa tingkat kemampuan masyarakat
bersikap reaktif terhadap gejala-gejala aksi teror dipengaruhi oleh aksi-aksi
pemerintah sebagai otoritas politis dalam mengelola permasalahan terorisme.
Kesimpulan ini diperoleh dari suatu perspektif yang memahami bahwa reproduksi
insiden teror erat kaitannya dengan dinamika hubungan tiga aktor, yaitu
kelompok teroris, publik, dan negara. Publik berdiri di tengah sebagai audiens.
Tidak hanya menonton, publik pun menilai dan mengkaji interaksi
kelompok teroris dan pemerintah. Hasil penilaian tersebut kemudian digunakan
untuk menentukan respons mereka terhadap situasi yang tengah dihadapi. Publik
dapat memilih apakah `berpihak' pada kelompok teroris atau justru berdiri di
belakang negara dan mendukung usahausaha menekan kemungkinan insiden teror
lanjutan terjadi.
Mereka yang disebut memiliki keberpihakan kepada kelompok teroris
bukan hanya para anggota kelompok dan individu di dalam jejaring. Berpihak
bukan hanya berarti bersimpati pada ideologi dan perjuangan kelompok tersebut.
Memihak teroris, ketimbang negara, juga dapat dimaknai sebagai sikap membuka
peluang dan kesempatan bagi kelompok tersebut untuk beraksi, ketimbang
mempersempit ruang gerak teroris.
Tingkat kewaspadaan masyarakat yang rendah terhadap lingkungan
masing-masing tentu dapat dikelompokkan dalam keberpihakan. Hal tersebut
menyediakan ruang bagi kelompok teroris sehingga leluasa menyusun rencana aksi
dan serangan teroris. Sikap publik yang sedemikian lahir bukan tanpa pengaruh
dari sikap aktor lain.
Pengelolaan Pascainsiden
Periode pascainsiden adalah momen penting. Pada periode tersebut,
publik melakukan proses identifikasi kerawanan dari situasi yang tengah mereka
hadapi. Kegagalan pemerintah memengaruhi proses tersebut berpotensi mencegah
pembangunan sikap tanggap masyarakat terhadap gejala-gejala serangan teror. Akibatnya,
publik justru `berpihak' pada kelompok teroris.
Proses identfikasi kerawanan oleh masyarakat secara signifikan
juga dipengaruhi aktor lain. Gambaran mengenai terorisme secara aktif
diciptakan oleh media terutama dalam periode pascaserangan teror. Opini ahli,
liputan langsung, dan wawancara eksklusif menjadi sumbersumber informasi pemuas
keingintahuan publik terkait apa yang terjadi.
Pemerintah tidak seharusnya membiarkan proses identifikasi
kerawanan yang dilakukan masyarakat dipengaruhi paling utama oleh kemasan media
terhadap aksi teror. Pejabat pemerintah harusnya tampil lebih dulu memberikan
penerangan. Pemerintah harus memastikan publik mendapatkan informasi yang jelas
dan lengkap. Hal tersebut diperlukan agar publik dapat mendefinisikan respons
yang tepat, menurut pemerintah, terhadap terorisme.
Pemerintah harus terlibat penuh memengaruhi proses identifikasi
kerawanan yang dilakukan masyarakat terhadap lingkungannya dan diri sendiri.
Hal ini dilakukan demi dinamika sosial-kemasyarakatan yang mendukung usahanya
mengelola permasalahan terorisme. Dari perspektif Baker, kegagalan pemerintah
memengaruhi opini dan respons publik tampak dengan apa yang kini diklaim
sebagai sikap tidak peduli dan kewaspadaan yang rendah.
Berbagai hasil investigasi harus diungkap secara jelas dan
gamblang. Perangkat negara tidak hanya harus bekerja, melainkan juga `terlihat' bekerja.
Publik perlu menyaksikan bagaimana suatu insiden teror secara aktif dikelola
dengan berbagai aksi-aksi perlindungan.
Pernyataan resmi harus ditujukan agar publik dapat dengan cermat
mengkaji tingkat kerawanan situasi yang tengah dihadapi. Publik perlu tau apa
perspektif, respons, dan apa yang dilakukan pemerintah. Informasi utama harus
muncul dari para pejabat publik, bukan dari hasil suatu perdebatan tokoh-tokoh
di televisi atau liputan-liputan eksklusif langsung dari tempat kejadian.
Keseimbangan Peran
Mengklaim bahwa publik harus dilibatkan dalam usaha menangani
permasalahan-permasalahan yang muncul akibat terorisme harus dilakukan secara
hati-hati. Jangan sampai klaim tersebut dilakukan untuk justru menenggelamkan
isu lemahnya fungsi-fungsi negara dalam menangani terorisme.
Lebih lagi, sangat tidak diharapkan apabila klaim tersebut malah
menghambat proses otokritik yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap
penyelenggaraan fungsi-fungsi kontraterrorisme. Padahal, proses tersebut adalah
suatu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah demi memantapkan
usahausaha yang dilakukannya dalam menangani permasalahan terorisme.
Pemerintah harus tetap berada dalam garda terdepan. Performanya
dalam menangani permasalahan dan mengelola insiden teror akan memengaruhi
respons publik terhadap insiden tersebut. Aksi yang baik tentu akan mendapat
reaksi yang positif. Titik tengah harus ditemukan dalam keseimbangan peran negara dan
masyarakat. Menemukan titik itu lebih penting daripada mengumbar
pernyataan-pernyataan tentang siapa atau apa yang salah. Keseimbangan peran
pemerintah dan masyarakat diikuti dengan rencana penanganan jangka panjang yang
komprehensif diharapkan dapat menjadi jawaban atas ancaman dan tantangan dari
musuh kita bersama, kelompok teroris. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar