Kamis, 27 September 2012

(Si)apa yang Salah?


(Si)apa yang Salah?
Yeremia Lalisang ; Manajer pada Program Magister Kajian Terorisme UI
REPUBLIKA, 26 September 2012


Pertanyaan ini sering kali memenuhi ruang publik dan opini di media setelah suatu rentetan serangan teror terjadi lagi. Kali ini, rendahnya kewaspadaan publik termasuk faktor yang disorot. Egoisme dan individualisme dinilai membuat masyarakat enggan peduli terhadap siapa yang tinggal di sebelah rumah atau bahkan apa yang terjadi di lingkungan sekitar.

Barker (2008) memaparkan bahwa tingkat kemampuan masyarakat bersikap reaktif terhadap gejala-gejala aksi teror dipengaruhi oleh aksi-aksi pemerintah sebagai otoritas politis dalam mengelola permasalahan terorisme. Kesimpulan ini diperoleh dari suatu perspektif yang memahami bahwa reproduksi insiden teror erat kaitannya dengan dinamika hubungan tiga aktor, yaitu kelompok teroris, publik, dan negara. Publik berdiri di tengah sebagai audiens.

Tidak hanya menonton, publik pun menilai dan mengkaji interaksi kelompok teroris dan pemerintah. Hasil penilaian tersebut kemudian digunakan untuk menentukan respons mereka terhadap situasi yang tengah dihadapi. Publik dapat memilih apakah `berpihak' pada kelompok teroris atau justru berdiri di belakang negara dan mendukung usahausaha menekan kemungkinan insiden teror lanjutan terjadi.

Mereka yang disebut memiliki keberpihakan kepada kelompok teroris bukan hanya para anggota kelompok dan individu di dalam jejaring. Berpihak bukan hanya berarti bersimpati pada ideologi dan perjuangan kelompok tersebut. Memihak teroris, ketimbang negara, juga dapat dimaknai sebagai sikap membuka peluang dan kesempatan bagi kelompok tersebut untuk beraksi, ketimbang mempersempit ruang gerak teroris.

Tingkat kewaspadaan masyarakat yang rendah terhadap lingkungan masing-masing tentu dapat dikelompokkan dalam keberpihakan. Hal tersebut menyediakan ruang bagi kelompok teroris sehingga leluasa menyusun rencana aksi dan serangan teroris. Sikap publik yang sedemikian lahir bukan tanpa pengaruh dari sikap aktor lain.

Pengelolaan Pascainsiden
Periode pascainsiden adalah momen penting. Pada periode tersebut, publik melakukan proses identifikasi kerawanan dari situasi yang tengah mereka hadapi. Kegagalan pemerintah memengaruhi proses tersebut berpotensi mencegah pembangunan sikap tanggap masyarakat terhadap gejala-gejala serangan teror. Akibatnya, publik justru `berpihak' pada kelompok teroris.

Proses identfikasi kerawanan oleh masyarakat secara signifikan juga dipengaruhi aktor lain. Gambaran mengenai terorisme secara aktif diciptakan oleh media terutama dalam periode pascaserangan teror. Opini ahli, liputan langsung, dan wawancara eksklusif menjadi sumbersumber informasi pemuas keingintahuan publik terkait apa yang terjadi.

Pemerintah tidak seharusnya membiarkan proses identifikasi kerawanan yang dilakukan masyarakat dipengaruhi paling utama oleh kemasan media terhadap aksi teror. Pejabat pemerintah harusnya tampil lebih dulu memberikan penerangan. Pemerintah harus memastikan publik mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap. Hal tersebut diperlukan agar publik dapat mendefinisikan respons yang tepat, menurut pemerintah, terhadap terorisme.

Pemerintah harus terlibat penuh memengaruhi proses identifikasi kerawanan yang dilakukan masyarakat terhadap lingkungannya dan diri sendiri. Hal ini dilakukan demi dinamika sosial-kemasyarakatan yang mendukung usahanya mengelola permasalahan terorisme. Dari perspektif Baker, kegagalan pemerintah memengaruhi opini dan respons publik tampak dengan apa yang kini diklaim sebagai sikap tidak peduli dan kewaspadaan yang rendah.

Berbagai hasil investigasi harus diungkap secara jelas dan gamblang. Perangkat negara tidak hanya harus bekerja, melainkan juga `terlihat' bekerja. Publik perlu menyaksikan bagaimana suatu insiden teror secara aktif dikelola dengan berbagai aksi-aksi perlindungan.

Pernyataan resmi harus ditujukan agar publik dapat dengan cermat mengkaji tingkat kerawanan situasi yang tengah dihadapi. Publik perlu tau apa perspektif, respons, dan apa yang dilakukan pemerintah. Informasi utama harus muncul dari para pejabat publik, bukan dari hasil suatu perdebatan tokoh-tokoh di televisi atau liputan-liputan eksklusif langsung dari tempat kejadian.

Keseimbangan Peran
Mengklaim bahwa publik harus dilibatkan dalam usaha menangani permasalahan-permasalahan yang muncul akibat terorisme harus dilakukan secara hati-hati. Jangan sampai klaim tersebut dilakukan untuk justru menenggelamkan isu lemahnya fungsi-fungsi negara dalam menangani terorisme.

Lebih lagi, sangat tidak diharapkan apabila klaim tersebut malah menghambat proses otokritik yang seharusnya dilakukan pemerintah terhadap penyelenggaraan fungsi-fungsi kontraterrorisme. Padahal, proses tersebut adalah suatu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah demi memantapkan usahausaha yang dilakukannya dalam menangani permasalahan terorisme.

Pemerintah harus tetap berada dalam garda terdepan. Performanya dalam menangani permasalahan dan mengelola insiden teror akan memengaruhi respons publik terhadap insiden tersebut. Aksi yang baik tentu akan mendapat reaksi yang positif. Titik tengah harus ditemukan dalam keseimbangan peran negara dan masyarakat. Menemukan titik itu lebih penting daripada mengumbar pernyataan-pernyataan tentang siapa atau apa yang salah. Keseimbangan peran pemerintah dan masyarakat diikuti dengan rencana penanganan jangka panjang yang komprehensif diharapkan dapat menjadi jawaban atas ancaman dan tantangan dari musuh kita bersama, kelompok teroris.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar